Aliran-Aliran dalam Islam

KULIAHALISLAM.COM - Secara etimologi Islam berasal dari bahasa Arab yaitu salima dari bentuk asal aslama, yuslimu, islaman yang artinya yaitu selamat, menyerahkan diri, taat, patuh, damai dan sentosa. Islam merupakan sebuah keyakinan agama yang mempercayai adanya Tuhan yaitu Allah SWT.

Syarat menjadi Islam yaitu dengan mengucapkan bersyahadat yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah SWT. 

Sejarah Terbaginya Aliran dalam Islam

Sejarah terjadinya perpecahan dalam aliran-aliran dalam berawal sejak meninggalnya Rasulullah SAW. Wafatnya nabi Muhammad sebagai figur sentral umat Islam memunculkan sebuah persoalan yang berhak untuk menjadi khalifah atau pemimpin bagi umat Islam selanjutnya. Baik itu pemimpin negara maupun pemimpin umat Islam.

Nabi bukanlah kepemimpinan yang bisa di wariskan sehingga umat Islam harus menentukan pengganti kepemimpinan nabi Muhammad sebagai pemimpin negara dan pemimpin umat Islam (Amirul Mu’minin). 

Sejak itulah umat Islam terbagi menjadi dua kelompok yang pertama yaitu kelompok yang merawat keluarga Rasulullah (5-7) keluarga nabi. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok dari golongan sahabat yaitu Muhajirin dan Anshar yang menyelenggarakan musyawarah besar untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pengganti rasulullah. Umat Islam menghadapi beberapa persoalan setelah meninggalnya Rasulullah yang pertama yaitu;

Politik

Para tokoh sahabat mengadakan musyawarah sendiri (dari kaum Muhajirin dan Anshar) tanpa kehadiran ahlul bait (keluarga ndalem). Ahlul bait sedang berduka dan merawat jenazah Rasulullah. 

Keputusan akhir musyawarah para sahabat di Saqifah (tenda pertemuan) Bani Sa’ad mereka mengangkat Abu Bakar as Shiddiq sebagai amirul mukminin. Sedangkan Rasulullah tidak berwasiat secara syar’i dan sharih seperti biasa beliau ajarkan. 

Ada wasiat Ghodir Khum atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, yang hanya diakui oleh kalangan ahlul bait dan ada isyarat nabi Muhammad pada para sahabat atas peran Abu Bakar as Shiddiq, sebagai badal imam shalat, ketika sang Rasul sakit menjelang wafatnya. Inilah faktor psikopolitis yang selanjutnya bermuara pada terjadinya keretakan di kalangan umat Islam. Dan pada akhirnya “dunia Islam” terbelah menjadi dua; Syiah dan Ahli Sunnah (Syi’i dan Sunni).

Para pendukung ahlul bait, khususnya yang fanatik dengan sahabat Ali bin Abi Thalib mengklaim bahwa para sahabat telah Ghoshob (merampas) hak kepemimpinan Sayyidina Ali, begitu juga sebaliknya para pendukung keputusan musyawarah luar biasa para sahabat, khususnya yang fanatik (plus munafik), menuduh para pendukung ‘idiologi’ ahlul bait adalah sebagai pembohong. 

Padahal kedua terminologi ini bersifat destruktif (menghancurkan) ketsiqahan (kredibilitas) seorang periwayat hadis. Dan karena itu hadis di dunia Islam juga terbelah dua, hadis Syiah dan hadis Sunnah. Yang keduanya itu tidak ‘saling menyapa’.

Akidah atau Teologi

Persoalan teologi yang muncul dan timbul di dalam diskursus dan polemik umat Islam di zaman klasik (zaman tabi’in awal sd dua generasi di belakangnya) adalah puncak persoalan politik, yaitu terjadinya fitnatul kubro (terbunuhnya Amirul mukminin, Khalifah Utsman bin Affan), juga terjadinya beberapa peperangan diantara sesama muslim. 

Perang jamal (antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Siti Aisyah), perang Shiffin (antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan), Karbala dll yang melibatkan dan mengorbankan banyak pasukan muslimin. Polemik tentang bagaimana status hukum seorang muslim yang tidak berhukum dengan menggunakan hukum Allah (Al-Qur’an) ?

Bagaimana status hukum pembunuh sesama muslim ? Apakah dia masih mukmin, kafir atau fasiq? Bagaimana status Keislaman dan keimanan seseorang yang berdosa besar ? Para ulama’ dan zu’ama’ dari kalangan umat Islam, baik yang Syi’ah maupun yang sunnah memberikan argumentasi sesuai dengan keilmuan dan background psikologi, sosial, akademik dan keagamaan masing-masing. 

Para ulama’ yang tekstual tetapi tidak politis cenderung berpendapat, bahwa orang-orang yang beriman tetapi tidak berpegang pada hukum Allah, tidak bisa di sebut kafir, mereka mukmin yang fasiq. Mereka berdosa besar. 

Nasib mereka di akhirat kelak fii masyiatillah (terserah Allah) tidak di surga dan tidak di neraka. Senada dengan itu, orang-orang yang fatalistis (jabariyah), juga muncul, mereka berpendapat, bahwa kondisi apapun di dunia ini adalah berdasarkan kehendak mutlak Allah SWT, termasuk nasib manusia. Manusia hanyalah wayang dan Allah adalah dalangnya. Sebagai mana firman Allah SWT : 

وهللا خلقكم وما تعملون

“Dan Allah-lah yang telah menciptakan kalian dan perbuatan kalian”. (QS. As Shofat 96)

Sedangkan kaum Qadariyah yang cenderung rasional justru berpendapat sebaliknya. Bahwa kondisi apapun yang di alami oleh manusia adalah semata-mata karena ulah perbuatan manusia itu sendiri. Manusia, bebas dan mampu membuat nasibnya sendiri. Sebagai mana firman Allah SWT :

إن هللا ال يغري ما بقوم حىت يغريوا ما أبنفسهم

“Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, sampai mereka mau merubah nasibnya sendiri.” (QS. Ar Ro’d 11)

Mereka adalah kelompok minor elite dalam Islam yang terkenal dengan sebutan kaum muktazilah. Persoalan teologi yang terus berkembang sehingga melahirkan banyak aliran pemikiran yang muncul, baik di zaman klasik, seperti Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah. Maupun zaman pertengahan, seperti; Muktazilah, Asy’ariah, Maturidiah, Ahli Sunnah wal Jama’ah. Demikian juga di era modern dan kontemporer.

Fikih 

Para ulama’ fikih (hukum Islam), baik di kalangan Sunni, maupun Syiah secara garis besar terbelah menjadi tiga kelompok pemahaman, yakni; para ahlul hadis (tekstualis), ahlur ro’yi (rasionalis), dan ahlus sunnah (tekstualis-rasionalis). Demikian juga para ulama’ tasawuf (kerohanian dan kebatinan dalam Islam), juga terbedakan dalam tiga karakter, yakni; sunni, falsafi dan bathini. 

Para ulama’ yang konsen terhadap ajaran formal dan aturan-aturan hukum Allah, secara garis besar memiliki tiga sikap mental yang berbeda. 

Pertama, kelompok yang cenderung mengikuti pola kesufian Rasulullah SAW mereka berusaha menjauhi materialisme dan hedonisme tetapi secara aktif mereka mendakwahkan ajaran Islam, khususnya ajaran akhlak dan kerohaniannya. 

Mereka adalah para sufi Sunni, yang gerakannya sukses pertama kali (gerakan i’tizal dan zuhud atas prakarsa Hasan Basri. Yang selanjutnya diperkokoh oleh Abu Qasim Junaidi Al Baghdadi, juga oleh para tokoh Sufi sunni yang lain. 

Kedua, kelompok yang cenderung mengikuti pola kesufian para filosof dan ahli hikmah. Mereka lebih cenderung pada aktivitas berfilasaf dan berteori. Hikmah-hikmah kerohaniannya memenuhi glosarium dunia Islam. Mereka adalah para sufi falsafi, dengan tokoh legendarisnya yang bernama Ibnu Arabi. 

Sedangkan yang ketiga, adalah para sufi baathini. Mereka, para sufi baathini adalah orang-orang yang keasikan kebatinannya melampaui batas-batas etika dan estetika apapun, termasuk di dalamnya batasan syariat Islam. Kebatinan transkultural ini yang selanjutnya disebut sebagai aliran tasawuf mabuk dan dianggap sesat oleh para aktivis syariat Islam.

Penulis: Nurul Fadya (Mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya)

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال