Wara' Dalam Pandangan Tasawuf

KULIAHALISLAM.COM - Secara harfiah Wara’ adalah menjauhkan diri dari segala perbuatan yang mengandung dosa atau maksiat. Sedangkan menurut pandangan sufi wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik itu berupa makanan, pakaian, dan sebagainya. Kitab ad-Duraru as-Sunniyah menyebutkan bahwa al-wara’ adalah menghindari sikap atau perilaku yang mengandung syubhat sebab khawatir terjerumus pada perkara yang di haramkan.

Wara’ Dalam Pandangan Tasawuf
Ilustrasi Patung Sufi

Wara’ Menurut Junaid Al Baghdadi

Abu Harits Al-Muhasibi mendefinisikan bahwa wara’ adalah menjauhi perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT, melingkupi aspek emosi, jasmani dan perbuatan hati. Muhasabah menurutnya berkorelasi dengan sikap wara’ dimana adanya kepastian dalam hati, meninggalkan perbuatan yang menyimpang sehingga mengerti dengan jelas pada apa yang harus ditinggalkan dan yang harus dikerjakan sebagaimana perkataan Umar bin Khattab “warriû al-lisha walâ tara’̂ûhu” hindarilah pencuri dan jangan engkau mengikutinya (Al-Muhasibi, 1956, p. 42). 

Wara’ dalam pandangan Al-Junaid merupakan sikap kehatia-hatian (kewaspadaan) diri dari hal-hal yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT. Seseorang dikatakan wara’ yakni ketika dihadapkan pada suatu perkara, ia memperhatikan dan berhati-hati pada setiap hal yang kecil.

Jadi dapat di pahami bahwa wara’ adalah perilaku yang didasari agama, bertolak dari usaha untuk selalu mewaspadai pada segala pekara hingga yang kecil sekalipun. Kemudian memantapkan hati pada arah meninggalkan perkara ataupun meninggalkannya yang sekiranya dapat menyebabkan ia mendapat derajat yang tinggi di sisi-Nya.

Ajaran tasawuf Imam Junaid dipengaruh oleh kedua guru utamanya yaitu Sari as-Saqathi dan Abu Harits al-Muhasibi, keduanya merupakan seorang yang wara’ terhadap hal-hal yang duniawi, Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan pondasi utama dalam ajaran wara’. 

Dalam wara’ tidaklah diri seseorang terlepas dari sifat buruk namun bagaimana ia dapat menghidari dan mewaspadai hal tersebut, ia merupakan tangga awal dalam menapaki salik serta tameng bagi manusia agar tidak terjerumus pada melakukan hal yang dibenci Allah SWT. Inilah yang membedakan antara wara’ dan zuhud, dimana efek selanjutnya dari kematangan wara’ adalah zuhud itu sendiri 

Dalam ajaran tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi wara’ terletak dalam doktrin sahw yaitu kesadaran normalnya manusia Ketika proses pencarian pada Allah SWT hingga tiba pada fase fanâ’ yang berujung pada tauhid, hingga dikembalikan lagi pada kesadaran normalnya.

Agar menghindari terjerumusnya pada Hasrat duniawi beliau menekankan sikap wara’ kepada murid dan para sahabatnya. Selian itu tujuan lainnya adalah sebagai kontrol rahasia para pengamal tasawuf agar tidak tersebar luas pada khalayak umum yang berujung pada kekeliruan dalam memahami. 

Pemahaman dan pengamalan yang mendalam terhadap sikap wara’ dalam setiap sendi kehidupan dapat menjadi tameng bagi diri untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang agama. Memanglah sifat alamiah manusia sering lalai dan lupa, baik pada dirinya maupun sekitarnya, namun dengan mengamalkan wara’ dapat membentuk kebiasaan baru untuk tidak menjadikan gampang pada perilaku-perilaku yang dapat menjadi sebab jauhnya diri pada Allah SWT.

Macam-Macam Wara’

Menurut Qamar Kailani wara’ dibagi menjadi dua: 1. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan 2. Wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. 

Akitab A-Luma’ menjelaskan bahwa orang-orang wara’ di bagi menjadi 3 tingkatan yaitu: wara’ yang menjauhkan diri dari syubhat, wara’ menjauhkan diri dari keraguan di hati, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani. 

Tingkatan Wara’ 

1) Wara’ Awam

Imam Al-Junaid Berkata “Seandainya aku hidup seribu tahun, sungguh sebutir debu pun aku tidak akan mengurangi kewajibanku terhadap Allah SWT” hal ini berkaitan dengan ajaran gama tentang halal dan haram. Maksudnya ketika manusia dihadapkan dengan perkara yang haram seperti mencuri dan Tindakan yang merugikan orang lain maka wara’ akan memilih untuk menjauhinya. 

2) Wara’ Khawwas

Wara’ khawas dalam pandangan al-Muhasibi merupakan kehati-hatian terhadap bisikan hati, dorongan nafsu dan kesalahan persepsi akal (Al-Muhasibi, 1956, p. 41). Hal ini dipertegas oleh Imam Junaid dalam risalahnya mengenai korelasi tiga unsur tersebut dalam aspek wara’ yakni “Maka pakailah sekarang jubah wira’i, ambilah pakaian taqwa, berdirilah dihadapan Allah SWT dengan menjaga selalu penghambaanmu, selalu berhati-hati, selalu mempertimbangkan setiap perbuatan, bergegas melaksanakan kebaikan (hasil), benarnya dorongan pencarian, maka akan tercapai sir (rahasia) beserta hal itu didapatkan dengan selalu berdzikir dan kuatnya intelektual” (Al-Junaid A. Q., 1988, p. 15).

Akal harus terus diwaspadai karena acap kali akal salah dalam mempersepsikan sesuatu disebabkan ia tergoda akan kemewahan dunia dan penguasa, silau oleh emas, tipu daya dan keharamannya, sadar akan kekeliruan metode namun dilupakan akibat terlalu bersandar pada pengetahuan (Al-Junaid A. Q., 1988). Akal merupakan buah dari fikiran yang berfungsi menerima pengetahuan dari indra dan rasa, akibat dari ketidakwaspadaan seorang manusia dapat menjadikan akal menjadi tumpul dalam memahami. Efek yang akan ditimbulkan adalah liarnya akal tidak terkendali serta jatuh pada kepentingan duniawi saja. Oleh karenanya perlulah seorang manusia untuk memahami suatu hal dengan hati-hati dan kesadaran penuh (Al-Junaid A. Q., 1988). 

Seperti halnya akal, nafsu adalah potensi alamiah yang dimiliki manusia yang memiliki daya dorongan atau hasrat dalam diri manusia, nafsu adalah sesuatu yang menjadi pendorong atau pengaruh pada adanya sifat-sifat manusia yang terimplikasi pada akhlak dan perilaku seorang hamba tercela (Al-Qusyairi, 2003, p. 93). Agama tidak mengajarkan untuk melawan nafsu, melainkan mengontrolnya agar dorongan tersebut terarah pada hal yang baik, oleh karenanya Allah berfirman dalam al-Qur’an tentang nafsu al-muthmainnah. 

3) Wara’ Khawwasul Khawwas

Wara’ ini meruapakan tingkatan tersulit karna seseoraang mewaspadai dirinya agar tidak lalai dari Allah SWT, baik tiga daya yang dimiliki manusia yakni nafsu, akal dan hati hingga wujud fisik manusia. Dalam salah satu suratnya pada Amr Al-Makki, Al-Junaid mengingatkan pada sahabatnya serta dirinya agar menjaga diri untuk tidak lalai dari Allah SWT, sehingga dapat menyebabkan Ia menjauh dari diri mereka (Al-Junaid A. Q., 1988, p. 8). Hal ini menunjukkan bahwasanya orang yang mencapai maqam tauhid tidak akan lepas dari rintangan kelalaian, acap kali diri manusia lalai dalam mengingat-Nya namun harus cepat-cepat kembali, keinsyafan yang dilakukan harus selalu diupayakan agar tidak terjebak pada kelalaian darinya. Selain menjaga dari kelalaian, salik hendaknya menjaga hati dari terpautnya hati pada sesuatu selain Allah SWT, ia berkata:

قال الجنيد : ال تكن عبدالله حقا ، وأنت لشيء سواه مسترقا

“Tidaklah engkau akan menjadi sebenar-benarnya hamba, sedangkan engkau (hatimu) masih terpaut pada sesuatu selain-Nya” (Al-Hakim, 2005)


Penulis: Nurul Fadia (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)

Editor: Robby Karman


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال