Beribadah dengan Perspektif Tasawuf

KULIAHALISLAM.COM - Ibadah merupakan suatu hak yang dimiliki Allah untuk ditugaskan kepada seorang hamba dalam memiliki kesempatan meraih rida Allah, namun bagi orang-orang yang menolak beribadah kepada-Nya mereka termasuk orang-orang takabur atau sombong. 

Adapun orang-orang yang beribadah dengan menyekutukan serta menyembah selain Allah maka ia termasuk orang-orang yang musyrik.

Tasawuf merupakan perilaku tekun ibadah serta melepas sesuatu yang berhubungan apapun yang bersifat duniawi, hanya fokus untuk menghadap beribadah kepada Allah semata. Layak halnya seorang sufi, mereka selau berusaha menyucikan jiwa dan hatinya untuk merasa dekat dengan Allah.

Ibadah sebenarnya menjadi fokus dan tujuan utama atas kehadiran manusia di muka bumi ini, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya : 

{ وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ }

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku. [Surat Adz-Dzariyat: 56]

Tujuan orang tasawuf beramal ialah membebaskan jiwa daripada belenggu hawa nafsu, membersihkannya daripada akhlak yang keji, menjauhkannya dari pada sifat-sifat yang tercaci, sehingga kosonglah hati, tak berisi dengan satu apapun selain daripada Allah, hati seperti ini sudah berhias dengan zikir Allah (mengingat Allah). 

Besarnya hasrat dan kecintaan ibadah yang ingin diamalkan dalam tasawuf memang sangat luar biasa, karena mereka menyadari batapa manusia memerlukan Allah SWT. Sekecil apapun urusan dan kebutuhannya.

Berbicara masalah ibadah ada baiknya untuk memetakan ibadah itu sendiri. Pertama, ibadah yang berbentuk “personal-ritual”. Ibadah ini merupakan ibadah mahdhah yang sudah lazim dilaksanakan oleh setiap muslim. 

Mulai dari shalat 5 waktu (beserta sunnah rawatibnya), puasa Ramadhan (dan puasa sunnah), zakat (baik fitrah maupun mal), dan ibadah haji. Semuanya sudah diatur dalam syariat. 

Karenanya umat Islam tidak diperkenankan untuk melakukan ‘inovasi’ dalam hal ini. Tepatnya, lakukan saja sebagaimana adanya. 

Kedua, disebut sebagai ibadah “sosial-aktual”. Ibadah ini merupakan tanggung jawab sosial (social responsibility) seseorang. Tanggung jawab sosial ini sebagai konsekuensi syukur seorang hamba. 

Bentuknya adalah pengabdian sosial untuk memberikan manfaat kepada umat manusia dan alam semesta. Ibadah ini memang umum dan karenanya manusia diperbolehkan melakukan inovasi. 

Pasalnya, ibadah sosial haruslah aktual dan kontekstual. Sesuai dengan keadaan dan tepat guna. Sesuatu yang berguna bagi kelompok tertentu belum tentu berguna bagi kelompok yang lain. Disinilah letak urgensi dari aktualitas ibadah sosial.

Untuk membangun kedekatan kepada Allah, menurut para sufi dapat dilakukan dengan dua usaha: pertama dengan cara mulamazah. yaitu terus menerus berada dalam zikir kepada Allah, kedua dengan cara mukhlafah atau para sufi menyebutnya dengan safar yakni secara berkelanjutan dan konsisten menghindari segala sesuatu yang dapat melupakan Allah SWT.

Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap. Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka,

أنا لا أعبد ﷲ طمعا في جنتھ ولا خوفا من ناره

Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karenatakut neraka.

Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asas untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, dia merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi selainnya, seperti rasa takut (khouf), harap (roja), merendah (Dzul), tunduk (Khudhu’), doa dan lain-lain.  

Sebagian Salaf Berkata: 

Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq, dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ (harapan) semata maka dia adalah murjiah dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati.

Zindiq sebagai mana yang dalam Mu’jam al-Faaz al-Aqidah adalah suatu ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka yang menampakkan keIslaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat.

Dan Murji’ah merupakan kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan hilang keimanannya—yang pernah dia ikrarkan—walau tidak pernah beramal sama sekali.

Sedangkan Haruri adalah istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. 

Diantara keyakinan mereka adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu kelompok ini banyak berkumpul. 

Bila dipahami berbagai pengertian tentang ibadah yang ada, tentu perlu juga diketahui bahwa ibadah dapat dibedakan antara ibadah ‘ammah (umum) dan ibadah khassah (khusus). 

Dari pembagian itu, dari manapun sisi pengkajiannya, apakah Ibadah yang diartikan menurut asal bahasanya yang berarti segala usaha lahir dan batin yang sesuai perintah agama yang harus dituruti pemeluknya atau upacara yang berhubungan dengan agama. 

Oleh sebab itu pemahaman Islam, tentang ibadah mempunyai dua pengertian, yaitu: Ibadah dalam pengertian khusus, yaitu “lima rukun islam” yang wajib dilakukan oleh setiap muslim dengan beberapa pengecualian ada kondisi khusus yang waktu-waktunya terbatas. 

Ibadah dalam pengertian luas atau umum, yaitu segala perbuatan yang dilakukan seseorang dengan niat untuk mencari keridaan Allah, kapanpun dan sekecil apapun pekerjaan yang ia perbuat. Ingatan yang berterusan kepada Allah Ta’ala menjadikan sebuah kekuatan rohani, sehingga dzikir adalah salah satu kegiatan ibadah bagi kaum sufi.

Penulis: Muhaamad Ubaid Abdulaziz (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya)
Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال