Pandangan Tasawuf Imam Junaid Al Baghdadi

KULIAHALISLAM.COM - Al Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandî al-Baghdadi al-Syafi'i, atau lebih dikenal dengan Al-Junaid al-Baghdadî, lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Imam Syafi'i, dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad.

Imam Junaid belajar ilmu tasawuf untuk pertama kalinya kepada seorang sufi terkenal yaitu Surri As-Saqti yang mana beliau ini merupakan saudara kandung dari ibunya Imam Junaid. Pada saat berusia 7 tahun, ia sudah dikenal akan pengetahuan dan wawasannya yang luas. 

Ketika berusia 20 tahun Imam Junaid mulai belajar hadis dan fiqih pada Abu Tsawr, daya nalar yang kritis serta analisa yang tajam ketika mengulas berbagai masalah-masalah yang diajukan gurunya ini sering kali membuat Abu Tsawr takjub bersama dengan rekan-rekannya. Hingga pada tujuan akhirnya nanti Imam Junaid diharapkan mampu menjadi seorang ahli hukum terkemuka.

Tasawuf bagi al-Junaid adalah usaha untuk memurnikan hati, menghindari semua godaan dunia dan selalu berupaya untuk mengingat Allah serta mengikuti Rasul. Junaid senantiasa mendasarkan ajaran tasawufnya kepada Alqur’an dan Sunnah Rasulullah, mewujudkan keseimbangan antara lahir dan batin, antara hakikat dan syariat serta antara ilmu dan amal saleh. 

Baginya, ajaran tasawuf yang tidak berdasarkan kepada Alqur’an dan Sunnah adalah tercela dan tidak boleh diikuti. Itu terlihat pada masa Junaid ditemukan para sufi yang bertingkah laku tidak mengikuti syariat karena ia menganggap dirinya sebagai seorang sufi yang telah mencapai maqam tertinggi dan tidak memerlukan lagi syariat. 

Junaid mengatakan bahwa seseorang yang mencuri dan berbuat zina lebih baik dari pada seseorang yang berbuat demikian dan ia berpandangan bahwa seseorang sufi haruslah berpegang teguh kepada ajaran Islam yaitu Alqur’an dan Sunnah dari permulaan sampai kepada tingkat tertinggi. Jangan sampai ketika ia telah menuju maqam tertinggi ia meninggalkan syariat Islam.

Imam Al-junaid merupakan seorang sufi yang menekankan penyesuaian antara praktik dan doktrin dengan kaidah syariat. Artinya praktik tasawuf harus selaras dengan ajaran Islam yaitu Alqur’an dan Sunnah. Tasawuf menurut imam al-Junaid harus bersumber dari Alqur’an dan Sunnah. Dalam pandangannya tasawuf adalah berakhlak yang baik dan meninggalkan perbuatan tercela.

Imam al-Junaid dalam tauhid lebih sering mengambil definisi negatif, beliau mengutip kalimat Abu Bakar as-Siddiq;

Maha suci Allah Zat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan ketidak mampuan mengenal-Nya.

Maksudnya cara kita untuk mengenal Allah dengan cara mengakui bahwa kita tidak akan mampu mengenal-Nya. Jadi caramu untuk kenal Allah adalah dengan cara Akuilah bahwa kamu sendiri tidak akan mampu dengan kemampuanmu untuk mengenal Allah. 

Mengapa demikian, karena Allah tidak memiliki tandingan baik secara konsep maupun gambaran manusia, oleh karena itu kalimat tauhid menafikan semua hal kecuali Allah, pikiran, gagasan, dan bayangan kita tentang Allah.

Menurut imam al-Junaid semuanya harus dinafikan karena hanya Allah yang ada dan itu tidak terjangkau oleh akal manusia gaya berpikir seperti ini dan studi agama disebut teologi negatif, jadi menegaskan sesuatu dengan cara menegaskan. 

Memahami Allah dari menegaskan total apapun, artinya semua hal ditidakan, dengan begitu manusia dapat mengenal Allah. Maha suci Allah yang menjadikan jalan untuk mengenalnya melalui ketidakmampuan mengenalnya Pada Qur’an Surah al-A’raf ayat 172 yang artinya: 

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.

Ayat ini menjelaskan bahwa sebelum manusia dilahirkan ke dunia ia telah bersaksi dan berjanji bahwa Allah adalah Tuhannya, imam al-Junaid menyebut ini sebagai mitsaq. Cerita hidup manusia di dunia adalah cerita mewujudkan perjanjian kepada Allah. 

Maka manusia di dunia seharusnya memenuhi janjinya untuk bersaksi bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan. Oleh karena itu jika seseorang hidup tidak di jalan Allah, otomatis dia telah mengingkari janjinya kepada Allah.

Fana adalah kondisi ketika seorang sufi begitu terpesona dengan Allah dan karena itu ia kehilangan kesadaran atas dirinya. Pada tahapan ini hanya Allah yang ada didalam pikirannya, jadi dalam kesehariannya seorang sufi akan senantiasa mengadakan Allah di hatinya. 

Fana berkaitan erat dengan baqa’. Baqa’ ialah kesadaran yang telah menetap dalam Allah atau yang ada hanyalah kesadaran keberadaan Tuhan. 

Menurut Imam al-Junaid, fana’ memiliki tahapan-tahapan, yaitu berusaha sekeras mungkin mengekang keinginan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan karena Allah, sirnanya hasrat untuk memburu kenikmatan duniawi demi Allah SWT, dan sirnanya diri dan hidup dalam kesadaran Allah. (Baqa’)

Bagi imam al-Junaid zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang mengikutinya. Zuhud bukan meninggalkan dunia. Manusia boleh memiliki harta namun tidak mencintainya. Zuhud tidak meninggalkan harta kekayaan tapi juga tidak tamak dalam mengejarnya apalagi menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Zuhud ialah saat seseorang memperoleh rezeki, ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih membutuhkan. Seorang yang berzuhud senantiasa mewaspadai bahaya yang timbul akibat salah menggunakan harta, karena mememegang harta kekayaan ibarat memegang bara api yang bisa membakar dirinya sendiri.

Ucapan terkenal imam al-Junaid tentang zuhud adalah, seorang sufi tidak seharusnya berdiam diri di masjid dan berdzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya, orang tersebut menggantungkan dirinya hanya pada pemberian orang lain.

Dengan kita mempelajari tasawuf yang diajarkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi, kita dapat mengambil suatu pelajaran tentang disiplin ilmu tasawuf dan memungkinkan kita untuk menjalankan praktik-praktik tasawuf yang diajarkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi. 

Secara tidak langsung, kita juga dapat membersihkan diri kita dari hal-hal duniawi dan memperdalam keimanan kita kepada Allah SWT.  

Penulis: Zidane Febrian (Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya)
Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال