Ulama Minangkabau dan Tradisi Intelektual : Buya Hamka, Ulama Minang Yang Multi Talenta

Ulama Minangkabau dan Tradisi Intelektual : Buya Hamka, Ulama Minang Yang Multi Talenta

Oleh: Andika Saputra, mahasiswa di UIN Imam Bonjol Padang dengan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

KULIAHALISLAM.COM - Bila di masa klasik saat kejayaan Islam kita mengenal sosok Jalaluddin Rumi sebagai seorang penyair besar yang telah banyak melahirkan syair di bidang sastra, atau mungkin juga Ibnu Tufail seorang penulis terkemuka dengan karya monumentalnya Hay Ibnu Zaqhon.

Maka di masa modern ini, dunia juga mengenal seorang ulama besar yang menguasai ragam keilmuan, bukan hanya sebagai ulama tetapi juga sebagai sastrawan, sejarawan, penyair, dan pujangga yang karyanya telah mendunia. Dia adalah intelektual muslim abad kontemporer, Bangsa Indonesia mengenalnya sebagai Buya Hamka.

Latar Belakang Buya Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang akrab dipanggil buya Hamka lahir di sungai Batang, Maninjau Sumatra Barat pada hari ahad, tanggal 13 Muharram 1326 H/17 Februari 1908 M. Buya lahir dari latar belakang keluarga yang taat beragama dan merupakan anak seorang ulama.

Ayahnya Haji Abdul Karim Amrullah merupakan tokoh agama yang pernah menuntut ilmu di Makkah dan  menjadi penggerak kebangkitan kaum muda pada zamannya. Ayahnya adalah Tokoh Muhammadiyah di Sumatra Barat. Maka daripada itu bisa dikatakan bahwa buya merupakan keturunan dari orang alim dan terpandang.

Di dalam bukunya yang berjudul kenang-kenangan hidup,  Hamka bercerita dari kecil ia sudah di didik dalam suasana kultural agama yang kuat. Dasar-dasar kegamaan itu ia peroleh langsung melalui ayahnya. 

Di saat ia menginjak usia 6 tahun bersama ayahnya Hamka kecil pindah ke Padang Panjang. Disana ia bersekolah selama 3 tahun, tetapi sebab kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah.  Hingga di usianya yang ke 10 tahun Ayahnya kemudian mendirikan Sumatera Thawalib, di tempat inilah dia mendalami keilmuan Islam dan bahasa arab.

Belajar Secara Otodidak

Kesadaran untuk belajar secara mandiri itu datang berkat masa kecil Hamka yang merasa terasingkan dari ayahnya, sebab ada pertikaian pola hidup yang berbeda antara beliau dan ayahnya. Melalui pengalaman itu pula kemudian membentuk kepribadiannya menjadi anak yang tangguh dan jenius. 

Penulis katakan begitu karna dua hal :
Pertama, kegemaran membaca Buya mulai tumbuh sejak peristiwa-peristiwa pahit di masa kecilnya, yang kemudian mendorongnya untuk banyak membaca buku-buku secara otodidak. Seperti buku-buku cerita, sejarah, artikel-artikel di surat kabar, kepahlawanan, dan Kitab-kitab berbahasa Arab.

Kedua, selain gemar membaca Hamka kecil juga memiliki daya khayal dengan cara banyak mendengar dan merekam dongeng, cerita sehari-hari yang sedang merebak di kalangan masyarakat.

Akan tetapi walau belajar secara mandiri ia juga tetap memiliki guru sebagai penuntun, tercatat bahwa ia pernah mengikuti pengajian agama di surau dan masjid yang diisi oleh Syekh- syekh terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M Surjopranoto dan Ki Bagus hadikusumo.  

Petualangan Intelektual Di Tanah Jawa

Pada tahun 1924  di usianya yang ke 16 tahun, dalam buku kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, dijelaskan ia meminta izin kepada sang ayah untuk bertualang ke tanah Jawa. Singkatnya, dia diizinkan untuk pergi dengan rasa kebanggaan oleh ayahnya melihat semangat yang ditunjukkan oleh Hamka. 

Berangkatlah Hamka ke Yogyakarta, di kota ini pula ia bertemu dengan pamannya Ja'far Amrullah yang kebetulan sedang belajar agama. Hamka saat dengan pamannya sering diajak untuk ikut bersama belajar agama, mulai pagi,petang maupun malam.

Dan di Yogyakarta inilah Hamka bersentuhan dengan pergerakan pergerakan Islam dan belajar agama kepada tokoh-tokoh pergerakan tersebut. 

Tercatat dalam sejarah guru-guru beliau dari tokoh-tokoh tersebut seperti HOS Cokroaminoto yang mengajar sosialisme dan Islam, Ki Bagus Hadikusumo mengajar penafsiran Al-qur'an, lalu ada Haji Fakhruddin, dan R.M. Suryopranoto.

Petualangan intelektual ke tanah suci terhitung hanya selama 1 tahun Buya Hamka merantau ke tanah Jawa. Selanjutnya dia kembali pulang kampung ke Maninjau dan mengadakan kegiatan dakwah di sana. 

Lalu pada tahun 1927 ia memutuskan untuk pergi berhaji ke Makkah dan menetap selama 5 atau 6 bulan saja. Saat di Makkah ia bekerja di sebuah percetakan kepunyaan Tuan Hamid Kurdi, mertua Syekh Ahmad Khatib .

Disana dia fokus mendalami bahasa arab dengan membaca kitab-kitab klasik, buku-buku  dan buletin berbahasa arab. Rencanaya dia ingin  tinggal lama di Makkah, akan tetapi setelah  bertemu dengan Haji Agus Salim yang saat itu menjadi seorang jurnalis, Haji Agus Salim memberi saran kepada Hamka untuk pulang ke Nusantara agar mengembangkan karirnya di sana. 

Mendengar saran tersebut Hamka akhirnya bertolak ke Medan dan bekerja menjadi sebagai penulis di Majalah Pelita Andalas.

Karya-Karya Buya Hamka

Dengan karya-karya yang ia lahirkan dan sumbangkan untuk Islam dan bangsa, ia dijuluki sebagai ulama multitalenta. Tidak salah bila julukan tersebut di berikan kepada Buya Hamka sebab karya-karya yang ia tulis tidak hanya menjurus kepada satu keilmuan tertentu saja. 

Penulis menemukan karya-karya yang telah diciptakan Buya Hamka meliputi ragam genre tulisan,yakni :

1.1001 soal-soal hidup
2. Ajahku: riwayat hidup Dr. H.Abd. Karim Amrullah dan perjuangan kaum agama di sumatera
3. Angkatan Baru
4. Antara Khayal dan fakta Tuanku Rao
5. Dari Hati ke Hati
6. Dari Lembah Cita-Cita
7. Dari Perbendaharaan Lama
8. Di dalam Lembah Kehidupan
9. Di Bawah Lindungan Ka'bah
10. Do'a-Do'a Rasulullah
11. Falsafah Hidup
12. Ghirah dan Tantangan Hidup
13. Islam dan Adat Minangkabau
14. Keadilan Ilahi
15. Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad
16. Sedjarah Umat Islam
17. Tafsir Al-Azhar
18. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk

Referensi :
1.Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid 1 dan Cet. III ; Jakarta: Bulan Bintang,1974
2. Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983
3. Yayasan Nurul Islam, kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال