Konsep Maujudat dalam Filsafat Yunani dan Islam

Konsep Maujudat dalam Filsafat Yunani dan Islam
Sumber Gambar Depositphotos.com

Maujudah berasal dari kata " Wujud" yang artinya ada, menjumpai atau menemui. Dalam filsafat dan ilmu kalam, Maujudat artinya adalah segala sesuatu yang benar-benar ada atau nyata di alam. Pembahasan tentang maujudat telah dilakukan para ahli filsafat Yunani kuno. Mereka berusaha menjelaskan hakikat dan asal mula maujudat.

Konsep Maujudat Dalam Filsafat Yunani

Menurut Thales (624-545 SM), maujudat adalah segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari air karena air bisa bersifat padat bila membeku, bersifat cair bila mencair dan menjadi gas bila menguap. Menurut Empedocles (490-430 SM), alam tercipta dari beberapa unsur dasar yang saling berkaitan yaitu api, udara, air, dan tanah.

Bagi Anaximander (610-547 SM), Maujudat berasal dari Apeiron ya itu sesuatu yang tak terbatas, merupakan asal dari segala sesuatu dan kepadanya pula segala sesuatu akan kembali. Anaxagoras (500-428 SM) berpendapat bahwa pada maujudat terdapat "Nus" sejenis tubuh halus yang murni dan menjadi asal segala sesuatu. Leucippus berpendapat bahwa Maujudat adalah segala sesuatu berasal dari atom atau sesuatu yang tak dapat dibagi.

Pandanga Filsafat Yunani itu berkembang menjadi salah satu aliran dalam filsafat yakni Materialisme (serba zat). Bagi aliran ini, segala keadaan dan kejadian berlangsung dari materi. Materi merupakan realitas, sifat, dan keadaan terakhir maujudat. Namun, ahli filsafat tersebut berbeda pandangan saat membahas tentang roh.

Menurut aliran Materialisme Dualistik, roh juga merupakan materi. Tetapi berbeda dengan materi tubuh, materi roh lebih halus dan mudah bergerak. Adapun Menurut kalian Materialisme Monostik, roh dari jasad. Karena itu, bila jasadnya rusak maka hilang pula aktivitasnya. 

Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Plato (427-347 SM), realitas fundamental maujudat adalah ide. Baginya, di belakang alam empiris yang dapat dilihat atau dirasakan terdapat alam ide, yaitu alam esensi yang nyata. Alam fenomena yang tampak ini merupakan penampakan lahir atau bayang-bayang dari alam ide tersebut.

Pandangan ini kemudian berkembang menjadi aliran idealisme atau spiritualisme. Bagi aliran ini, pengetahuan manusia tentang dunia roh lebih pasti dan lebih dalam daripada pengetahuan tentang dunia materi. Menurutnya, dunia materi penuh ketidakpastian. Segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indra tidak pasti demikian adanya. Di samping itu, Nilai suatu materi sering terkait dengan roh. Manusia tidak akan menjadi arti bila hanya tinggal jasad. Jasad merupakan bayangan dari roh.

Konsep Maujudat Dalam Pandangan Filsafat Islam

Pandangan filsuf Sufi tentang maujudat lebih dekat kepada aliran Idealisme. Menurut Syihabuddin As-Suhrawardi (548-587 H/1153-1191 M), Prinsip utama maujudat adalah Nur-i Qahir (Cahaya Mutlak) atau cahaya pertama. Cahaya ini tidak mempunyai penyebab lain di luar diri-Nya dan menjadi sumber segala cahaya. Cahaya-cahaya (Al-Anwar) pada tingkat kedua disebut cahaya abstrak yang berwujud intelek dan jiwa. Cahaya dalam tingkat ini sudah lemah sehingga mewujud sebagai materi. Materi ini menjadi eksistensi maujudat.

Menurut Ibnu Arabi (560-638 H /1165-1240 M) dalam pemikiran tasawufnya yang dikenal sebagai Wahdatul Wujud, di alam ini hanya ada satu wujud yaitu wujud Tuhan. Hanya Tuhan yang memiliki wujud Hakiki, yang lain hanya memiliki wujud nisbi dan keberadaannya bergantung pada wujud di luar dirinya (wujud Tuhan). Maujudat adalah penampakan lahir (Tajali) Tuhan. Karena itu, maujudat merupakan wujud Majasi (Kiasan) yang keberadaannya tergantung kepada wujud hakiki (Wujud Tuhan). 

Bagi filsuf muslim, realitas maujudat adalah akal. Tuhan adalah "Akal" yang merupakan asal maujudat. Al-Farabi memadukan teori Emanasi Plotinus dengan ajaran Islam. Menurut Al-Farabi, segala sesuatu terdiri dari materi dan bentuk. Materi tidak akan dapat diketahui esensinya kalau belum ada bentuknya. Karena itu, antara materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. 

Materi dan bentuk tidak akan ada kalau tidak ada esensi yang menjadi intinya. Dengan demikian, esensi, materi dan bentuk senantiasa tak terpisahkan. Esensi segala sesuatu ialah akal yang secara melimpah bersumber dari Tuhan. 

Selain Al-Farabi, ahli filsafat lainnya yang mengemukakan teori emanasi adalah Ibnu Sina. Bagi Ibnu Sina, wujud terdiri dari dua macam yang pertama adalah Wajib al-Wujud (Wujud yang Pasti) yaitu esensi yang pasti mempunyai wujud. Ada kalanya kepastian wujudnya itu disebabkan oleh dirinya sendiri dan ada kalanya disebabkan oleh sesuatu yang lain. 

Kedua, Mukmin al-Wujud (Wujud yang Mungkin) yaitu esensi yang dapat digambarkan keberadaannya dan tidak keberadaannya, Mungkin ia ada dan mungkin pula tidak ada. Baik Wajib al-Wujud dan Mukmin al-Wujud adalah akal. Tuhan sebagai Wajib al-Wujud adalah "Akal Murni" yang memancarkan akal-akal sehingga tercipta Maujudat  sebagai perwujudan akal tersebut.  

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال