Stigma Pakaian dan Representasi Kesalehan

Stigma Pakaian dan Representasi Kesalehan

Oleh: Mega Ocktaviyah, Alumni Universitas Gadjah Mada tahun 2021

KULIAHALISLAM.COM - Seringkali seseorang memberikan stigma baik atau buruk kepada orang lain hanya karena pakaian yang dia kenakan, tetapi setelah kenal lebih dalam kemudian bergumam "ternyata dia tidak sebaik yang kupikirkan diawal.”

Kesalehan dan pakaian adalah dua hal yang berkaitan tetapi memiliki makna yang berbeda. Dalam ajaran agama Islam sendiri terdapat banyak aspek untuk mengkategorikan apakah seseorang itu saleh atau tidak. 

Allah SWT telah menyebutkan beberapa kriteria orang saleh pada QS. Ali Imran 113-114 “Mereka itu tidak sama. Di antara ahli kitab itu, ada golongan yang berlaku lurus, mereka membacakan ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah di hari penghabisan. Mereka menyeru yang makruf dan mencegah yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang saleh.”

Saya pernah membaca sekilas cerita terkait ilmu firasat yang dimiliki imam Syafi'i dimana beliau dapat mengetahui kondisi seseorang hanya dari anggota tubuhnya, salah satunya sorotan mata. 

Imam Syafi’i pernah menyebutkan bahwa seseorang yang tidak pandai mengenali sorotan mata maka akan sulit memahami orang lain. Tentu saja hal ini bisa dipelajari tetapi cukup sulit dilakukan oleh awam, sedangkan kita tahu betul kemasyhuran imam Syafi’i sebagai orang cerdas dan imam besar umat Islam.

Di lingkungan masyarakat pun sering terdengar asumsi bahwa baik atau buruknya seseorang dapat dinilai melalui pakaian apa yang mereka kenakan. Akan tetapi setelah kenal lebih dalam justru antara pakaian dan perilakunya sangat bertolak belakang. 

Akibat perbedaan ekspektasi dan realita tersebut, beberapa orang kemudian justru merasa lebih baik dengan beranggapan tidak munafik karena menyembunyikan cela di balik pakaian. Pada banyak kasus pula seringkali ditemukan akhwat dengan pakaian syar'i — sesuai syariat islam — tetapi pacaran, padahal jelas dalam QS. Al-Isra ayat 32 terkait perintah menjauhi apapun yang mendekatkan kepada zina, termasuk pacaran.

Pada suatu lingkungan tempat saudara saya bekerja, terdapat salah seorang kolega yang dikenal sebagai perempuan dengan menggunakan pakaian syar’i tapi dicap sebagai perebut laki orang. Saya pribadi pernah memiliki teman yang mendadak berpakaian syar'i, tetapi beberapa hari selanjutnya dikeluarkan dari sekolah karena hamil di luar nikah. 

Di sisi lain, sering pula ditemukan seorang dengan pakaian tidak sesuai syariat tetapi suka menolong orang lain dan senantiasa menjaga salatnya. Tentu tak semua orang berpakaian syar'i berperilaku bertolak belakang dengan ajaran Islam, saya pribadi memiliki teman dengan pakaian syar'i dan juga berperilaku baik.

Al-Quran sendiri telah menyebutkan pada QS. An-Nuur ayat 31 “Dan hendaklah mereka (perempuan beriman) menutupkan kain kerudung ke dadanya.” Ayat ini menjelaskan bahwa pakaian syar’i — menutup kain kerudung ke dada, tidak menunjukkan lekuk tubuh, dan lainnya — merupakan salah satu kewajiban sesuai ketentuan Islam atas perintah Allah swt. Adapun terkait perilaku penggunanya yang masih tidak sesuai syariat Islam, merupakan hal lain di luar konteks.

Setiap manusia tentu masih memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau buruk karena akal serta hawa dan nafsu yang dimilikinya. Hal ini juga mengindikasikan untuk tidak berekspektasi tinggi terhadap siapapun, kecuali Allah swt. QS. Al-Insyirah ayat 8 menyebutkan "dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” Penting juga untuk menilai suatu hal dari apa yang dibicarakan, bukan siapa yang membicarakan.

Saya pernah mendengar kalimat indah dari salah seorang teman yakni jika melihat orang lain yang lebih muda umurnya maka hendaknya kita menganggap orang tersebut beruntung karena memiliki dosa yang lebih sedikit, kemudian berasumsi kepada orang yang lebih tua bahwa mereka juga beruntung karena memiliki amal yang lebih banyak. Pada kalimat tersebut menjelaskan bahwa pentingnya untuk tidak merasa diri sendiri lebih baik dan merendahkan orang lain.

Adapun dalam QS. Az-Zalzalah ayat 7-8 bahwa  Allah SWT. akan menghitung amal walaupun sebesar biji zarah. Meskipun banyak orang yang sudah mengetahui keburukan suatu hal tetapi tetap melakukannya, hendaknya kita tetap positive thinking bahwa setidaknya orang tersebut sudah tahu ilmunya dan bisa jadi akan segera mengamalkan. 

Disisi lain, banyak pula orang yang sudah berpakaian syar’i, bahkan cadar, tetapi masih melakukan perbuatan yang dilarang syariat, hendaknya kita juga positive thinking bahwa mungkin mereka sudah ngaji tapi belum sampai bab pacaran, atau setidaknya mereka sudah mengenakan pakaian sesuai syariat islam yang mana belum dilakukan oleh sebagian yang lain.

Islam sendiri telah menentukan pakaian menurut syariatnya, tetapi hal ini kembali kepada pilihan individu tersebut. Siapapun dapat mengarahkan tetapi tentu bukan memaksa karena Allah SWT adalah satu-satunya pemberi hidayah. Pada sejarah Islam pun terdapat kisah dimana Nabi Ibrahim AS sangat menginginkan ayahnya untuk memeluk Islam, tetapi Ayahnya tersebut tetap meninggal dalam keadaan kafir. 

Akan tetapi, sebagai umat muslim tentu juga harus berusaha untuk menemukan hidayah tersebut. Ustaz Zaidul Akbar menjelaskan bahwa hidayah itu dicari bukan ditunggu, kemudian Allah swt akan memberikan hidayah tersebut. Dalam QS. Ar-Ra’d pun disebutkan bahwa Allah swt. Tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut berusaha untuk merubahnya.

Wallahu'alam bishawab.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال