Nashiruddin Thusi Penyelamat Khazanah Intelektual Islam dari Bangsa Mongol

KULIAHALISLAM.COM - Ketika Hulagu Khan, sang penakluk Mongol pada tahun 1256 Masehi berhasil menaklukkan benteng Alamut yang megah dan kokoh di tengah pegunungan Kaukasus yang dipertahankan oleh Hasan Ibnu Sabha dan para pengikutnya kaum Assassin.

Dari tawanan yang dilantai dan niscaya di hadapan Hulagu Khan terdapat seorang pria setengah baya yang memberi kesan kepada Hulagu karena kepastian lidahnya dan intelegensinya yang luar biasa, apalagi ia adalah Astrolog ulung yang bisa meramal nasib maka Hulagu mengambilnya sebagai penasihat selama hidupnya dan pengawas tanah-tanah wakaf, orang tersebut namanya adalah Thusi.

Thusi nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad Ibn Muhammad Al Hasan Nashir Al Din Al Thuai Al Muhaqqiq lahir pada 18 Februari 1201 M/597 H di Thus sebuah kota di Khurasan tempat ia menerima pendidikannya yang pertama dari Muhammad Ibnu Hasan. 

Gurunya yang lainnya adalah Mahdar Farid Al Din Damad dalam bidang fikih, Ushul Fikih, hikmah dan ilmu kalam dan Muhammad Hasib dalam bidang Matematika di Naishapur.

Kemudian ia pergi ke Baghdad untuk belajar pengobatan dan filsafat pada Qutb Al Din dan Matematika pada Kamal Al Din Ibn Yunus sedang fikih pada Salim ibn Badran. 

Keterkenalan sebagai sarjana berpengetahuan luas tersiar ke berbagai wilayah Persia, lalu ia diculik oleh Nashir Al Din Abd Al Rahman Ibn Ali Mansur, Gubernur kaum Ismaili di kota Kohistan yang mengutusnya ke Alamut. Thusi berada di Alamut sampai ditaklukan Hulagu.

Thusi dikenal sebagai ahli matematika, astronomi, optik geografi, farmakologi, filsafat musik dan mineralogi terkemuka setelah invasi Mongol. 

Pada tahun usia 60 tahun, tepatnya pada tahun 657 H/1259 M setahun sesudah penaklukan Baghdad, Ia berhasil membujuk Hulagu untuk membangun Hulagu Khan untuk membangun observatorium yang kemudian menjadi terkenal di bawah pimpinan Al Thusi di Maraghah, Azarbaijan.

Observatorium ini merupakan pusat terbesar ketiga penelitian hasta dan astronomi di Timur setelah Dar Al Hikmah ghibah dan yang didirikan oleh Al Makmun Al Rasyid pada pertama abad IX dan Baith Al-Hikmah di Kairo yang didirikan oleh Al Hakam dari Daulah Fatimiyah. 

Observatorium yang peninggalannya sampai saat ini masih ada dan dilengkapi dengan peralatan terbaik seperti peta bola langit dan perpustakaan yang menurut Ibn Syakir memiliki buku lebih dari 400.000 yang dikumpulkan oleh pasukan Mongol dari Suriah, Irak dan Persia di samping didukung oleh staff astronomi yang terkemuka pada abad itu.

Ia juga tetap mempertahankan pengaruhnya di Istana Mongol hingga masa Abaka sampai ia wafat pada 26 Juni 1274 Masehi. Salah satu bukti kejeniusannya ialah mengkritik Ptolemeus yang dikenal dengan Thuai Couple (Pasangan Thuai). Kejeniusannya juga tergambar dari tulisan yang banyak dalam berbagai hal termasuk doktrin Ismailiah ketika ia berdinas pada kaum tersebut.

Sosok Thusi memberikan gambaran bahwa kehancuran politik tidak berarti secara otomatis memusnahkan kehidupan intelektual. Apa yang dialami dunia Islam pada masa disintegrasi yang ditandai dengan kehancuran Baghdad dan berakhirnya Daulah Abbasiyah, ternyata Thusi mampu memanfaatkan kekejaman Mongol untuk menyelamatkan Khazanah pemikiran muslim.

Dengan demikian kebangkitan kembali atau perkembangan ilmu-ilmu dan filsafat di penghujung abad 7 Hijriyah berpusat di sekitar pribadi Thusi sehingga berbagai gelar diberikan kepadanya. Orang Persia menyebutnya Ustadz Al Basyar (Guru Manusia), Ivanov menjulukinya “Kamus Hidup”, Bar-Hebraeus menganggapnya orang berpengetahuan luas dan Afnan menyebutnya komentator mahir terhadap karya Ibnu Sina.

Sebenarnya bukan saja Imam Al Ghazali melakukan serangan terhadap filsuf, Fakhruddin Al Razi juga melakukan yang sama tetapi tidak begitu dikenal padahal kritik Razi tersebut mempunyai akibat lebih lanjut dilihat dari segi teknis filosofis ketimbang serangan Imam Al Ghazali.

Kritik Imam Al Ghazali dan Al-Razi tersebut disambut oleh Thusi yang berusaha menegakkan kembali aliran Ibnu Sina dengan menulis ulasan atas kitab Al Isyarat wa Al Tanbihat yang ditulis oleh Ibnu Sina.

Usahanya ini yang memberikan pengaruh dan bertahanan lama ketimbang karya Ibnu Rusyd dengan kitab Tahafut al-Tahafut. Karl Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya Thusi, sementara Ivanov mengatakan bahwa karya Thusi ada 150 judul.

Pemikiran Filsafat Thusi

Thusi membagi Metafisika atas dua bagian. Pertama, ilmu ketuhanan (Ilm-i Ilahi) yang mencakup persoalan ketuhanan, akal, jiwa dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut seperti kenabian kepemimpinan spiritual dan hari pengadilan. 

Filsafat pertama (Falsafah-i Ula) meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian atau kemungkinan, esensi dan eksistensi, dan kekekalan dan ketidakkekalan.

Bagi Thusi, Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat bukannya dibuktikan. Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya termasuk membuktikan eksistensi-Nya.

Mengenai penciptaan, Thusi menulis dalam Tashawwurat Bab II tentang turunnya semua benda dunia dari Sebab Yang Awal. Ia menjelaskan menjelaskan hal ini dalam 8 soal namun disini hanya akan dibatasi dua soal.

Soal : beberapa orang berpendirian bahwa sumber eksistensi adalah satu, yang lain mengatakan dua yang lain tiga dan yang lain lagi empat. Bagaimana pendapat anda tentang ini ?

Jawab : pendapat saya ialah sumber eksistensi adalah satu yaitu kehendak Allah Maha Tinggi yang disebut Kalam. Makhluk pertama yang tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut tanpa perantara apapun ialah akal. Semua makhluk lain terjadi dari kehendak Ilahi itu dengan berbagai perantaraan. Jadi, jiwa tercipta melalui akal dan alam kata benda lahir melalui jiwa.

Soal : sebagian orang berkata bahwa tindakan penciptaan yang terbit dari kehendak Khalik Maha Tinggi tanpa satu perantara dan tidak pada saat tertentu harus dibayangkan seperti cahaya yang memancar dari lampu. Tapi sebagian berkata, cahaya memancar dari lampu secara otomatis yakni tanpa kehendak. Dan jika hal ini juga diterima dengan perumpamaan itu, ia tidak membuktikan eksistensi pencipta ataupun tindakan pencipta. Apa kata Anda tentang hal ini ?

Jawab : apa yang dikatakan tentang tindakan kreatif dari kehendak Al Khalik perumpamaan cahaya lampu hanya satu metafor, suatu pernyataan kiasan yang diterapkan manusia ataupun Tuhan dengan maksud agar orang lantas mengerti dan menyadari perilaku kehendak Ilahi itu dari perumpamaan tadi dalam hal ini bukanlah supaya mereka menerima perumpamaan itu dalam realitasnya persis sama dengan yang dibandingkan. 

Sifat-sifat yang dikenankan orang kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, seperti eksistensi absolut, keesaan, kesederhanaan zat, spontanitas, pengetahuan, kekuasaan dan sebagainya dalam gaya yang serupa seperti mengatakan bahwa Tuhan adalah cahaya murni atau kemurahan hati, kedermawanan, kebajikan yang dalam hati luas adalah sebagai eksistensi 18.000 dunia dan dalam arti sempit ialah sebab dari kesempurnaan tabiat dunia dunia tersebut. 

Pluralitas dualitas dan fakta bahwa semua sifat demikian seperti eksistensi mutlak, keesaan, kesederhanaan substansi, dikenankan kepada-Nya secara terpisah, ini tidak berarti bahwa semua ini tidak menyatu dengan Dia. Dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat yang diciptakan merujuk hanya kepada makhluk tidak kepada Allah. Jadi, spontanitas atau otomatisme yang telah anda sebutkan itu tidak bisa diterapkan untuk dunia nyata bagaimanapun ia akan berlaku dalam hal ini.

Moral dalam Pandangan Thusi

Nasir Al Din ‘Abd Al Rahman, Gubernur Ismailiah dari Quhistan memerintahkan Thusi menterjemahkan Kitab al-Thaharah dari bahasa Arab ke bahasa Persia. Namun Thusi lihat Karya Ibnu Miskwaih tersebut terbatas pada penggambaran disiplin moral; hal yang berhubungan dengan rumah tangga dan politik tidak disinggung dalam buku tersebut padahal keduanya merupakan aspek yang sangat penting dari filsafat praktis karena itu tidak dapat diabaikan.

Jadi, Thusi memasukkan persoalan rumah tangga dan politik dalam karyanya Ibnu Maskawih dengan menyetir pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina. Bukunya Thusi berjudul Akhlaq-i-Nasiri klasifikasikan pengetahuan ke dalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan spekulasi dibagi pula dalam metafisika dan teologi serta matematika, ilmu-ilmu alam termasuk elemen, ilmu-ilmu transportasi, meteorologi, Botani, zoologi.

Menurutnya, bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan moral utama yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh pendapat ini berbeda dengan konsepsi yang diajukan oleh Aristoteles yang bebas dari unsur-unsur angkasa. 

Thusi mendukung pemikiran Plato sebagai dikembangkan oleh Ibnu Miskawih bahwa kebaikan-kebaikan mengacu kepada kebijaksanaan keberanian, kesederhanaan dan keadilan yang berasal dari tiga kekuatan jiwa yakni akal, kemarahan dan hasrat.

Sumber : Dr. Hasyimsyah Nasution, M.Adalam karyanya Filsafat Islam. 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال