Maksud Hadis Hasan - Shahih

Maksud Hadis Hasan dan Shahih

Oleh: Asfaq Danial

KULIAHALISLAM.COM - Kita pasti sering mendengar istilah hadits shahih. Secara umum, istilah ini merujuk pada hadits yang kuat dan dapat kita amalkan. Kita juga sering mendengar lawan dari hadits shahih, yakni hadits dla’if.

Jika hadits shahih disebut sebagai hadits yang kuat, maka sesuai asal namanya Hadits dla’if adalah hadits yang lemah. Dan jika hadits shahih hampir pasti dapat kita amalkan, maka sebaliknya hadits dla’if menuntut kehati-hatian kita sebelum mengamalkannya. 

Dan di antara keduanya terdapat satu kategori lagi yaitu hadits hasan. Hadits ini tidak memenuhi syarat untuk disebut hadits shahih, namun juga terlalu baik kualitasnya untuk dikatan hadits dla’if. Ketiga istilah ini, shahih, hasan, dan dla’if, tidak akan lepas jika kita kita membaca dan menilai kualitas suatu hadits.

Beberapa ulama’ ada yang menggabungkan istilah shahih dan hasan. Alih-alih bilang “ini adalah hadits shahih” atau “ini adalah hadits hasan”, justru dikatakan “ini hadis hasan-shahih”. Terdengar ganjil, karena shahih dan hasan merupakan kriteria yang berbeda. 

Apabila digabung terkadang menimbulkan salah sangka, apakah riwayat yang bersangkutan sudah memenuh syarat untuk dinilai shahih atau belum? Banyak ulama’ hadits memberi jawaban, salah satunya al-Imam Ibnu Hajar  al-Asqolani (773-852 H). 

Dalam bukunya, Syarah Nukhbat al-Fikri, ahli hadits yang kondang pada masanya ini memberi jawaban yang memuaskan terhadap persoalan istilah itu. Menurut ulama asal Mesir ini, istilah hasan-shahih dapat dianalisa dengan berbagai penjelasan sebagai berikut.

Pertama: apabila riwayat hadits tersebut hanya ada satu, maka istilah hasan-shahih berarti hadits tersebut shahih menurut satu kelompok dan hasan menurut kelompok yang lain. Hal ini sangat mungkin terjadi karena para ulama’ hadits tidak mempunyai standar yang sama persis untuk menilai kualitas suatu hadits. 

Satu hadits yang sama dapat dinilai hasan oleh satu ulama, dan shahih oleh ulama’ lainnya. Oleh sebab itu perbedaan pendapat antar ulama’ adalah hal yang tidak bisa dihindarkan, tak terkecuali dalam menilai status kualitas sebuah riwayat hadits.

Sebagai contoh, Imam al-Bukhari (194-256 H) mensyaratkan periwayat hadits harus pernah bertemu dengan gurunya minimal sekali, sementara Imam Muslim (204-261 H) hanya mensyaratkan bahwa antara seorang periwayat hadits dan gurunya harus hidup dalam satu kurun waktu.

Ibnu Hajar melanjutkan kesimpulannya dengan mengatakan jika pada istilah hasan-shahih di sana terdapat kata sambung auw (tetapi) yang dibuang. Sehingga, istilah lengkapnya menjadi hadits shahih atau hasan. dengan demikian jika sebuah hadits dinilai hasan-shahih, maka kualitas hadits ini ada dibawah hadits yang secara jelas dan lugas disebutkan sebagai hadits shahih.

Sedangkan kasus kedua terjadi apabila riwayatnya lebih dari satu. Dalam kondisi ini, maka istilah hasan-shahih memiliki arti bahwa riwayat hadits tersebut dinilai shahih dari satu jalur periwayatan, dan hasan jika dinilai dari jalur periwayatan lain. 

Hal ini juga sangat mungkin terjadi karena tiap jalur periwayatan kadang melalui nama-nama periwayat yang berbeda. Dan tiap-tiap nama juga mempunyai kualitas yang berbeda juga ketika dinilai oleh ulama’ sesuai kaidah jarh dan ta’dil. 

Untuk diketahui, kaidah jarh dan ta’dil adalah kaidah yang digunakan oleh ulama hadits untuk menilai apakah seorang perawi hadits itu kredibel dan dapat diterima haditsnya.

Jika seorang rawi punya sifat-sifat jelek seperti pelupa, maka ia terkena jarh yang dapat mengurangi kredibilasnya. Sebaliknya jika seorang perawi memiliki sifat baik, seperti hafalan yang kuat dan banyak, maka ia mendapatkan poin ta’dil.

Dalam kasus yang kedua ini Imam Ibnu Hajar menilai bahwa hadits hasan-shahih nilainya sama atau setara dengan hadits shahih. Alasannya, karena apabila riwayat suatu hadits sudah mencapai derajat shahih, maka tidak ada alasan untuk mengatakan hadits tersebut hadits hasan. 

Sedangkan untuk riwayat hadits yang berkualitast hasan, ia dapat terangkat nilainya menjadi shahih dengan dibatu oleh jalur periwayatan yang pertama.

Demikian penjelasan istilah hadits hasan-shahih menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ahli hadits terkemuka yang menulis berbagai kitab rujukan dalam bidang hadits seperti Fathul Bari syarah Shahih Bukhari dan Bulughul Maram. 

Kendati bukan merupakan penjelasan yang final, tapi setidaknya uraian yang diberikan Imam Ibnu Hajar termasuk singkat dan sangat memudahkan untuk dipahami. Semoga Allah SWT selalu memudahkan kita untuk belajar. Wallahu a’lam bish-showab.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال