Ahmad Rasyid Sutan Mansur Bintang Barat Muhammadiyah dari Sumatra

Ahmad Rasyid Sutan Mansur lahir di Maninjau, Sumatra Barat 27 Rabiulawal 1313 H/15 Desember 1895 M dan wafat di Jakarta 25 Maret 1985. Ahmad Rasyid Sutan Mansur merupakan Ulama dan tokoh Muhammadiyah yang besar peranannya dalam menyebarkan gerakan Muhammadiyah di daerah.

Minangkabau dan Sumatra umumnya. Ia lebih dikenal dengan nama A.R Sutan Mansur. Pendidikan agama pada masa kecil diperolehnya secara tradisional dalam lingkungan keluarga. Pada tahun 1902, ia belajar di Tweeede Class School (Sekolah Kelas Dua) di Maninjau sampai tahun 1909.

Atas rekomendasi Controlleur Maninjau, ia diberi peluang untuk melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukit Tinggi. Tetapi karena bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Mesir, ia kemudia berguru kepada H. Abdul Karim Amrullah (wafat 1945 M) ayahanda HAMKA di Sungai Batang, Maninjau.

 Ketika H. Abdul Karim Amrullah ke Padang, ia ikut serta dan menjadi menantunya. Setelah ia menikah, iamendapat gelar Sutan Mansur.

Ketika perkumpulan Sumatera Thawalib berdiri tahun 1918 di Padangpanjang, ia sudah dipandang layak menjadi guru. Sumatra Thawalib mengutusnya untuk menjadi guru di Kuala Simpang, Aceh selama dua tahun. Pada tahun 1920, ia pindah ke Pekalongan. Cita-citanya untuk belajar ke Mesir tidak tercapai. Pada tahun 1922, ia bertemu dengan K.H Ahmad Dahlan yang datang ke Pekalongan untuk menandakan Tablig Muhammadiyah.

Ia sangat terkesan dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menguraikan persoalan agama dan keperibadiannya yang lembut, tenang dan penuh wibawa. Dari KH Ahmad Dahlan, Sutan Mansur mengetahui banyak informasi tentang Muhammadiyah. Ia memutuskan menjadi anggota Muhammadiyah dan berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH A.R Fakhruddin dan KH Mas Mansur. Dari mereka itulah, ia mengenal Islam tidak hanya aspek hukumnya tapi juga aspek sosial kemasyarakatan, kesehatan dan ekonomi.

Sejak tahun 1923, ia aktif menjadi guru dan mubalig Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari berbagai macam kalangan seperti bangsawan Jawa antara lain R.Ranuwihardjo, R. Tjitrosoewarno dan R. Oesman Poedjooetomo. Pada tahun 1925, ia kembali ke Maninjau sebagai Mubalig besar Muhammadiyah untuk Sumatra.

Sebelum Sultan Mansur pulang ke Maninjau, pikiran-pikiran Muhammadiyah sudah mulai disebarkan oleh Syekh Haji Abdul Karim Amrullah. Beberapa cabang Muhammadiyah telah berdiri, di Maninjau dan Padangpanjang. Syekh H. Abdul Karim Amrullah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk berkiprah mengembangkan Muhammadiyah. Penyebaran gerakan ini oleh Sutan Mansur semakin pesat setelah mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat dan para alim ulama kaum muda terutama dari mertuanya sendiri.

Sebagai mubaligh tingkat pusat Muhammadiyah tahun 1926 hingga 1929, ia ditugaskan mengadakan tabligh ke keliling Medan, Aceh, Kalimantan, Mentawai dan beberapa bagian Sumatera Tengah serta Sumatera Selatan. Ia juga melatih pemuda-pemudi dalam lembaga Kulliyatul Mubaligin yang didirikan oleh pemuda-pemuda Muhammadiyah untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah.

Metode yang digunakannya dalam latihan itu adalah Mujadalah (kelompok diskusi). Muridnya antara lain adalah Duski Samad (adiknya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis Tafsir Al-Qur'an), Zein Jambek, HAMKA, Fatimah Latif, Fatimah Jalil, Jawanis (Ibunda H Tarmizi Taher, Menteri Agama RI). Kongres ke-19 Muhammadiyah pada tahun 1930 diadakan di Minangkabau.

Pada kongres itu diputuskan perlunya adanya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap wilayah karesidenan. Berdasarkan konferensi daerah di Payakumbuh pada tahun 1931, Sutan Mansur diangkat menjadi konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat sampai tahun 1944 . Atas usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera sepakat mengangkat Sutan Mansur sebagai Imam Muhammadiyah Sumatra. 

Pada kongres Muhammadiyah ke-31 di Purwokerto tahun 1953, ia terpilih sebagai Ketua Pusat Pimpinan Muhammadiyah. Tiga tahun kemudian Pada kongres ke-33 Muhammadiyah di Palembang, Ia terpilih kembali sebagai ketua pimpinan pusat Muhammadiyah. Pada kongres ke 34 di Yogyakarta tahun 1959, ia tak dapat hadir. Pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta ia diangkat menjadi Penasihat Pimpinan pusat Muhammadiyah sampai tahun 1980.

Selama dua periode masa kepemimpinannya, ia berhasil merumuskan Khittah (perjuangan) Muhammadiyah yang mencakup usaha-usaha dalam menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, mempetinggikan akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh rasa tanggung jawab, memberikan contoh kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya dan membentuk kader.

Buku-buku yang ditulisnya antara lain " Pokok-Pokok Pergerakan Muhammadiyah, Penerangan Azas Muhammadiyah, Hidup di Tengah Kawan dan Lawan, Tauhid, Roh Islam, dan Roh Jihad". Buku-buku ini sampai sekarang masih dijadikan pegangan bagi anggota Muhammadiyah. Tema pokok yang sering diketengahkan dalam bukunya berkisar pada soal iman dan Jihad.

Iman kepada rukun iman yang enam merupakan syarat pokok untuk melaksanakan jihad. Jihad adalah segala perbuatan yang dilakukan sepenuh hati untuk menegakkan kebenaran. Jihad dengan senjata hanya dilakukan dalam keadaan darurat. Jihad yang sesungguhnya dilakukan dalam tiga tahap, pertama mensucikan roh jiwa dan mengisinya dengan keimanan yang dapat menghubungkannya dengan Tuhan. Kedua, dari jiwa yang suci akan timbul kekuatan dinamis. Ketiga, dari kekuatan dinamis timbul perbuatan yang nyata yang didasarkan pada Ilmu Al yaqin dan Haqq al yaqin

Dalam bidang fiqih Ia dikenal sangat toleran. Ia tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah hukum agama yang tidak pokok. Hasil keputusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itupun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Jika Ada pendapat yang lebih kuat, hasil putusan Tarjih bisa ditinjau kembali. Karena itu menurutnya hasil putusan Tarjih tidak mengikat anggota Muhammadiyah.

Sikapnya ini terjamin pula pada buku-buku tulisan yang lebih menekankan kepada penekanan aqidah dan Jihad dalam arti yang seluas-luasnya. Kalau KH Mas Mansur dipandang sebagai Bintang Timur Muhammadiyah, maka Ahmad Rasyid Sutan Mansur dipandang sebagai bintang baratnya Muhammadiyah. 

Ia juga dipandang sebagai salah satu dari tujuh tokoh utama Muhammadiyah dari generasi pertama. Keenam tokoh lainnya adalah KH Ahmad Dahlan, KH. A.R Fakhruddin, KH Ibrahim, KH Abdul Mu'thi dari Madiun, KH Mukhtar Bukhari dari Solo, dan KH Mas Mansur dari Surabaya.

Sumber : Enskilopedia Islam

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال