Abu Yazid Al Bustami Sufi Pecipta Konsep Al- Ittihad dalam Tasawuf

Abu Yazid Al-Bustami lahir di Bistam, wafat di Iran tahun 261 H/874 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin Surusyan. Dikenal juga dengan nama Bayazid. Bayazid Al-Bustami merupakan seorang Sufi dan wali terkenal di Persia (Iran) pada abad ketiga hijriah. 

Ia lahir di Bistam, wilayah Qum di Persia Barat Laut. Tahun dan kelahirannya tidak diketahui. Dijelaskan bahwa ia berasal dari lingkungan keluarga terhormat dan terpelajar. Ayahnya bernama Isa bin Surusyan adalah pemuka masyarakat di Bistam sedangkan ibunya dikenal sebagai orang yang zuhud. Kakeknya sebelum masuk Islam penganut Majusi.


Pada mulanya Al-Bustami mempelajari fikih Mazhab Hanafi. Kemudian mendalami tasawuf terutama mengenai tauhid dan hakikat (at-tawahid wa al-haqa’iq) di samping pengetahuan tentang fana. Sebagian besar kehidupannya sebagai Sufi dan ahli ibadah dijalaninya di Bistam. Ia terpaksa meninggalkan kota kelahirannya dalam waktu yang lama untuk menghindari tekanan ulama teologi yang memusuhinya.

Al-Bustami tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan diungkapan mengenai pengalaman tasawufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab klasik seperti Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, Tabaqat as-Suffiyah (Tingkatan-tingkatan Sufi), Kasyf al-Mahjub (Menyingkap Tabir), Tazkirah al-Auliya (Peringatan Para Wali) dan al-Luma’ (Yang Cemerlang).


Sebagian dari ungkapannya dipertanyakan kebenarannya dan sebagian cerita mengenai kekeramatannya dianggap sebagai legenda. Di antara ungkapannya disebut oleh kalangan Sufi dengan istilah Satahat (ecstatic utterances) yaitu ucapan Sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (Kesatuan Dengan Allah) ucapan dan ungkapannya yang digolongkan satahat :

‘Maha suci aku (subhani), alangkah agung kebesaranku

Tiada ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku

Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu

Karena aku hanyalah hamba yang hina

Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa”

Yang kukehendaki dari Tuhan hanyalah Tuhan,

Manusia tobat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku tobat dari ucapanku,

Tiada Tuhan selain Allah karena aku mengucap dengan alat dan huruf,

Semenjak tiga puluh Tahun, Tuhan adalah cerminanku,

Sekarang aku mrenjadi cermin diriku karena aku sekarang bukan aku yang dulu,

Ucapanku “aku” dan “Tuhan” berarti meningkari Tauhid Tuhan,

Karena aku sama sekali tidak ada, maka Tuhan yang hak adalah cerminan diri-Nya,

Lihatlah, Tuhan adalah cerminan diriku dan Dia-lah yang berbicara melalui lidahku,

Sedang aku sudah fana.

Ucapan dan ungkapan Al-Bustami menimbulkan kontroversial di kalangan Ulama karena belum didengar dari Sufi sebelumnya. Mereka yang berpegang pada ajaran syariat secara Zahir menuduhnya telah kafir karena menyamakan dirinya dengan Allah. Sementara ada Ulama lain yang mentoleransi ucapan semacam itu dan menganggapnya hanya sebagai penyelewengan (Inhiraf) bukan kekafiran.

Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baka untuk mencapai Ittihad dengan Tuhan. Dengan fana, ia meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan sedangkan dengan baka, ia tetap bersama Tuhan. Ajaran fana dan baka terlihat dalam ucapan seperti ini

 “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup” atau “Ia membuat aku gila pada diriku sehinggga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya dan aku pun hidup, maka aku berkata lagi, gila pada diriku adalah fana dan gila pada-Mu adalah baka”. Al-Bustami juga berkata : “ Aku mimpi melihat Tuhan lalu bertanya : “Aku bermimpi melihat Tuhan lalu aku bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ?”. Tuhan menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah pada-Ku”.

Pengalaman kedekatan al-Bustami dengan Tuhan hingga mencapai Ittihad disampaikannya dalam ungkapan : 

Pada suatu ketika aku dinaikan kehadirat Tuhan. Lalu Tuhan berkata: ‘Abu Yazid, mahluk-mahluk-Ku sangat ingin memandangmu?’. Aku menjawab : ‘kekasihku, aku tak ingin melihat mereka’. Tetapi jika itu kehendak-Mu maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu, mereka akan berkata : “Kami telah melihat-Mu”. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada dihadapan mereka itu.”

Puncak pengalaman kesufian Al-Bustami dalam Ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut : “Tuhan berkata : “Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah mahluk-Ku”. Aku pun berkata : “aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.” Dalam Ittihad ini kelihatannya Tuhan berbicara melalui lidah Al-Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.

Meskipun Al-Bustami, pengalamannya sampai mencapai Ittihad dicapai dengan latihan berat. Ia berkata: 

Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi bagi diriku. Kulemparkan diriku dalam tungku riyadah (latihan). Kubakar dengan api Mujahadah (perjuangan). Kuletakan di atas alas penyesalan. Kupukul dengan martil pengutukan diri sehingga dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri. Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacam-macam ibadah dan ketakwaan. Setahun lamanya aku memandangi cermin diriku dengan penuh perhatian. Ternyata kulihat diriku  terlilit sabuk takabur, kecongkakan, ria, ketergantungan pada ketaatan dan membangga-banggakan amal. Aku lalu beramal selama lima tahun sampai sabuk itu terputus dan aku memeluk Islam kembali. Kupandangi para mahluk dan kulihat mereka semua mati sehingga aku bertakbir empat kali untuk mereka dan aku kembali dari jenazah mereka semua. Aku sampai pada Allah dengan pertolongan Allah sendiri tanpa perantaraan mahluk.

Mengenai Mujahadah, Al-Bustami berkata : “Saya berusaha dalam Mujahadah selama tiga puluh tahun. Tidak kudapati sesuatu yang amat berat bagiku selain ilmu pengetahuan dan mengikutinya. Seandainya perbedaan Ulama adalah rahmat kecuali dalam pengkonsentrasian diri pada Allah (Tajrid at-Tauhid).

Al-Bustami sekalipun telah mencapai fana, baka dan Ittihad, ia tetap melaksanakan syariat Islam. Pengamalan Tasawwuf tidak dibenarkan meninggalkan perintah Allah.

Al-Bustami berkata : “Anda melihat seseorang dikaruniahi keramat-keramat sehingga dapat terbang di udara, janganlah anda terperdaya olehnya sebelum melihat bagaimana ia melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah, menjaga ketentuan-ketentuan, dan melaksanakan syariat-Nya.

Tasawuf Al-Bustami kemudian dikembangkan murid-muridnya dengan membentuk satu aliran Tarekat Taifuriyah. Nama itu diambil dari nisbah Al-Bustami yaitu Taifur. Pengaruh Tarekat ini masih didapati di Maroko, Aljazair, Tunisia, Bangladesh, dan negara Muslim lainnya. Makam Al-Bustami berada di Kota Bistam. Pada tahun 713 H/1313 M, Sultan Mughal yakni Muhammad Khudabanda membangun makam Abu Yazid Al-Bustami.

Konsep Al-Ittihad dalam Ajaran Abu Yazid Al-Bustami

Prof. Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat dan Mistisme dalam Islam” menyebutukan konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid oleh Ulama Syariat dalam Islam dipandang sebagai hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Al-Hallaj dihukum mati karena pemahaman Al-Hulul. Oleh karena itu kaum Sufi menghindari menyebarkan konsep Ittihad, Hulum dan Tawhid. Penjelasan mengenai konsep tersebut lebih banyak kita jumpai dalam tulisan-tulisan orientalis.

Yang dimaskud dengan Ittihad adalah seorang Sufi telah merasa diri bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata “Hai Aku”. 

A.R Al-Badawi menyatakan bahwa dalam Ittihad yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud maka dalam Ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai atau antara Sufi dan Tuhan.

Dengan ‘fana, Abu Yazid al-Bustami meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Abu Yazid Al-Bustami mengucapkan “Subbhani, Subbhani” artinya Maha Suci Aku, Maha Suci Aku. Pada waktu yang lain ia menyatakan “ Yang ada dalam baju ini adalah Allah”. Paham Ittihad hampir sama dengan Al-Hulul dalam Wahdatul Wujud (Manunggaling Kaulagusti) sebagaimana yang pernah kami jelaskan sebelumnya.,

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال