Sejarah Kemajuan dan Perkembangan Islam di Kesultanan Bima

Istana Kesultanan Bima atau Museum Asi Mbjo di Kota Bima

Kesultanan Bima merupakan kerajaan Islam yang terletak di Pulau Sumbawa bagian timur yang wilayah kekusaannya di sebelah timur sampai ke Pulau Flores, Pulau Timor, Pulau Solor, Pulau Sumba dan Pulau Sawu, di sebelah Barat mencakup Dompu sampai ke perbatasan Kerajaan Sumbawa, di sebelah selatan sampai ke Samudera Hindia dan sebelah utara sampai Laut Flores.

Kini Bima menjadi salah satu daerah Kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang wilayahnya sebelah Barat berbatasan dengan Dompu, sebelah Timur dengan Selat Sape, sebelah Utara dengan Laut Flores dan sebelah Selatan dengan Samudera Hindia.

Peralihan Bima dari bentuk Kerajaan menjadi bentuk Kesultanan dimulai tahun 1620 ketika Raja La’kai yang bergelar Ruma Ma Bata Wadu, yang setelah masuk Islam berubah namanya menjadi Abdul Kahir, diangkat menjadi Sultan pertama. Bentuk kesultanan berakhir pada tahun 1951, ketika Sultan terakhir wafat yaitu Sultan Muhammad Salahuddin. Bima dinyatakan sebagai daerah Swatantra.

Peroses peralihan Bima menjadi bentuk Kesultanan tidak dapat dilepaskan dari peranan Islam yang dianut oleh Raja (Sangaji) dan masyarakat Bima (Dou Mbojo) pada waktu itu, karena pemerintahan kesultanan pada hakikatnya adalah pemerimtahan yang berdasarkan Islam.

Islam masuk ke Bima dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi sekitar tahun 1540-1550 M, ketika Mubalig Islam mulai menyiarkan agama Islam di Pulau Sumbawa. Dalam gelombang pertama ini, Islam dibawa masuk ke Pulau Sumbawa oleh para Ulama dan pedagang dari Demak yang pada waktu itu menjadi pusat penyiaran Islam setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.

Walaupun Islam sudah dapat diterima oleh penduduk pesisir Pulau Sumbawa, namun cahaya Islam belum bersinar secara luas sebagai runtuhnya Demak sebagai pusat penyiarannya. Gelombang kedua terjadi pada tahun 1028 H (1620 M). Menurut keterangan Bo (Catatan Lama Istana Bima), Islam dibawa oleh pedagang dan Mubalig dari Sulawesi yang terdiri dari orang Bugis, Luwu, Tallo dan Bone. Mereka membawa surat khusus dari Raja Bone kepada Raja Bima yang memberitakan bahwa Kerajaan Goa Tallo, Luwu dan Bome sudah masuk Islam dan menyerukan kepada Raja Bima untuk masuk Islam.

Kedatangan utusan ini telah membukakan hati para pembesar kerajaan Bima seperti La Ka’i  La Mbila, Bumi Jara dan Manuru untuk masuk Islam. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Rabiul awal tahun 1030 H (1619 M) dan keempatnya mengubah nama sesuai dengan  nama Islam. La Ka’i menjadi Abdul Kahir, La Mbila menjadi Jalaluddin, Bumi Jara Mbjo di Sape menjadi Awaluddin dan Manuru Bata menjadi Sirajuddin. Keempat orang inilah pada akhirnya membawa pengaruh yang sangat besar bagi kemajuan dan penyiaran Islam di Bima.

Sultan-sultan yang memerintah Kesultanan Bima sejak tahun 1620 sampai 1951 secara berturut-turut adalah Abdul Kahir, Abdul Khair Sirajuddin, Nuruddin Abu Bakar Syah, Jamaluddin, Hasanuddin, Alauddin Muhammad Syah, Abdul Kadim, Abdul Hamid, Ismail, Abdullah, Abdul Aziz, Ibrahim dan Muhammad Salahuddin. Para Sultan tersebut telah berjasa mengembangkan Islam di Bima, bahkan menjadikan Islam di samping sebagai adat, juga sebagai asas dalam kehidupan sosial, budaya dan politik dalam pemerintahan Kesultanan Bima.

Sultan Abdul Kahir, bergelar Ruma Ma Bata Wadu, memerintah selama lebih kurang 29 tahun (1611-1640 M). Dengan bantuan Ruma Bicara (Perdana Menteri) La Mbila dan kedua gurunya, Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro, Sultan Abdul Kahir telah membuka babak baru bagi perkembangan dan penyebaran Islam di Bima dan meletakan dasar yang kokoh bagi Kesultanan Bima dengan mewujudkan kembali semangat persatuan dan kesatuan yang sudah rapuh akibat kemelut intren Istana.

Ia bekerja keras menyebarluaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok Desa bahkan telah mengucapkan janji untuk memengang teguh ajaran yang diberikan gurunya. Lembaga adat disesuaikannya dengan ajaran Islam dan para Ulama diberi pernanan besar dalam pemerintahan.

Sultan Abdul Khair Sirajuddin, putra Abdul Kahir yang digelari Mantau Mantau Uma Jati oleh orang Bima dan I Ambela oleh orang Makassar  telah memerintah selama 42 tahun (1640-1682). Ia telah menciptakan ide-ide baru dalam memajukan agama dan politik di Kesultanan Bima. Dengan bantuan para Ulama, ia berusaha mengembangkan syiar Islam dengan mengadakan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad Shalallalu alaihi wasallam dan memperingati hari masuknya Islam dan berdirinya Kesultanan Bima dengan berbagai rangkaian acara. Pada masanya, Bima menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia bagian Timur setelah Makassar.

Ia membentuk Syara Hukum (Lembaga Hukum Agama) dalam struktur pemerintahan di samping Lembaga Syara Dana Mbojo yang terdiri atas Majlis Lengkap dan Majlis Hadat dan Syara Tua yang sudah ada sebelumnya. Syara Dana Mbojo dipimpin Ruma Bicara, Syara Tua dipimpin Sultan dan Syra Hukum dipimipin Qadi.

Sultan Abdul Khair Sirajuddin mengatur sistem pemerintahan. Ia mempunyai kedudukan yang amat menentukan sebagai mandataris rakyat yang sekaligus pengayom dan pelindung (Bima : Hawo ro Nihu) yang harus mengutamakan kepentingan rakyat. Setiap pejabat pemerintah mulai dari tingkat tertinggi sampai terendah harus memenuhi syarat-syarat : Taqwallah (Bertaqwa), berkata benar, amanah, tablig (menyampaikan amanah), cerdik, dan pintar.

Sultan Abdul Khair Sirajuddin adalah seorang negarawan yang mempunyai pandangan yang jauh ke depan dan bekerja keras untuk memajukan Islam sehingga rakyat Bima mencintai dan taat terhadap ajaran Islam.

Sultan Nuruddin Abubakar Syah, putra Abdul Khair digelari Ruma Ma Waa Paju Monca, memerintah selama lebih kurang lima tahun. Usaha yang dilakukannya ialah memperkuat peranan Hukum Islam dalam Majlis Syara Dana Mbojo, mengirimkan pejabat-pejabat Kesultanan ke Sumba dan Manggarai sebagai wakil Sultan dan sebagai juru dakwah untuk menyiarkan Islam.

Di lingkungan Istana, diangkat seorang Mufti yang bertugas memberi Fatwa dalam masalah agama dan mendidik keluarga Sultan. Pada masa ini Bima banyak dikunjungi oleh Ulama dan Mubalig dari Arab, Malaka, Sumatera, Banten dan Sulawesi. Mufti, Wazir, Imam dan Qadi memainkan peranan besar dalam mendampingi Sultan menjalankan pemerintahan.

Sultan Hasanuddin, bergelar Ma Waa Bou yang ketika berusia 7 tahun dinobatkan menjadi Sultan, telah melakukan berbagai usaha dalam meningkatkan kegiatan-kegiatan dakwah di daerah-daerah yang rakyatnya masih banyak yang belum menerima Islam, di samping meningkatkan kesetiakawanan dengan orang-orang Makassar dan mengadakan kunjungan silaturahmi dan kekeluargaan ke Makassar.

Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Syah (memerintah 1731-1742 M), Sultan Abdul Kadim (memerintah selama 22 tahun), Sultan Abdul Hamid, Sultan Abdul Aziz (memerintah 1868-1881) tidak banyak menonjol usaha-usaha yang dilakukan dalam bidang keagamaan. Mereka hanya mementingkan usaha-usaha perbaikan bidang ekonomi, keamanan dan politik. Hal ini terjadi karena adanya campur tangan Hindia Belanda dalam pemerintahan.

Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (memerintah 1881-1915), terdapat perjanjian dengan Hindia Belanda yang mempersulit kedudukan Sultan.

Karena dianggap membahayakan, Syara Hukum yang selama ini berlaku dalam pemerintahan diganti dan dirombak oleh Belanda pada tahun 1906. Sejak itu Lembaga ini tidak dianggap sebagai Majelis Hadat. Karena itu, muncullah kebencian rakyat yang menimbulkan berbagai perlawanan terhadap Belanda.

Beberapa lama kemudian, Sultan Ibrahim menghidupkan kembali Syara Hukum dengan nama Majlis Syariah dan memanfaatkannya untuk mengembangkan pendidikan agama. Syara Hukum tidak lagi berfungis sebagai Majlis Hadat tetapi berfungsi menangani masalah agama.

Dengan bantuan para ulama, Sultan meningkatkan kegiatan pendidikan agama di desa-desa dan meningkatkan kemakmuran masjid dengan memberikan dana khusus. Dengan biaya 3.500 Ringgit, Sultan mendirikan rumah wakaf di Mekah yang dijadikan asrama bagi para jamaah haji Bima selama berada di tanah suci.

Kepada para pelajar yang menuntut ilmu di negara-negara Arab seperti Mekkah Madinah Mesir dan Irak diberi beasiswa. Sultan menyiapkan dana khusus yang bersumber dari dana Ngaji (tanah/sawah untuk kegiatan mencari ilmu) dan dana Pajakai (tanah/sawah milik Sultan).

Kegiatan dan usaha ini dikembangkan oleh putranya yaitu Sultan Muhammad Salahuddin yang memerintah selama 36 tahun. Sultan sangat menjunjung tinggi agama Islam. Pada masa pemerintahannya berkembang agama Islam terutama di bidang pendidikan agama, sangat pesat karena bantuan Ruma Bicara Abdul Hamid. Iya juga mempunyai pengetahuan agama Islam yang mendalam.

Karena perhatiannya terhadap agama Islam sangat besar sekali, Sultan Muhammad Salahuddin digelari rakyatnya Ma Kakidi Agama (Yang menegakan dan menjunjung tinggi agama).

Kecintaan Sultan Muhammad Salahuddin terhadap agama telah ditanamkan ayahnya sejak kecil. Sejak usia 9 tahun ia telah memperoleh pendidikan agama dan pelajaran agama dari beberapa ulama terkenal diantaranya ialah H Hasan Betawi dan Syekh Abdul Wahab (Imam Masjidil Haram, Mekkah).

Sultan  bersama Ruma Bicara Abdul Hamid mempunyai perhatian yang besar dalam mengembangkan Islam. Keduanya mampu menulis banyak kitab-kitab agama. Diantara karya tulis Sultan Muhammad Salahuddin adalah Kitab Nurul-Mubin yang dicetak oleh Percetakan Syamsiah Solo dengan cetakan terakhir tahun 1942. Ruma Bicara menulis Kitab Muqaddimah Muktadim yang diterbitkan Percetakan Volks Drukerij Makassar.

Pengadaan sarana dan prasarana ibadah ditingkatkan. Masjid Kesultanan Bima dan Masjid Raya di Raba di bangun. Teks Khotbah Jumat yang tadinya bahasa Arab diganti menjadi bahasa daerah. Di setiap kecematan didirikan Masjid Jami.

Untuk meningkatkan pendidikan, tahun 1931 di wilayah ini didirikan sekolah agama pertama dengan nama Madrasah Darul Tarbiyah di Raba dan Madrasah Darul Ulum di kota Bima. Kemudian didirikan juga HIS pada tahun 1921 dan Kopschool untuk sekolah kejuruaan bagi para wanita dan juga didirikan banyak sekolah agama dan Madrasah di desa-desa.

Sultan juga mendatangkan Ulama dan guru dari luar diantaranya pada tahun 1931 didatangkan Muhammad Sasanan dari Minang yang dibuang Belanda ke Makassar, Syekh Husain Syehab dari Jakarta yang merupakan penganut Madzhab Syafi’i, dan Muhammad Said yang merupakan guru agama berjiwa nasionalis. Adapun guru yang mengajar di sekolah umum berasal dari orang Belanda.

Tujuan utama pendidikan saat itu meningkatkan kecerdasan dan mencetak kader militan yang berani menghadapi kolonial Belanda.

Sultan Muhammad Salahuddin ikut membantu memeperlancar berdirinya organisasi Serakat Islam cabang Bima tahun 1920, Muhammadiyah cabang Bima tahun 1937, Nahdatul Ulama cabang Bima, lahirnya PERPI (Persatuan Penuntut Ilmu) tahun 1938 dan lahirnya Majelis Syura Umat Islam (MASYUMI) tahun 1950. Sultan juga memperakarsai berdirinya organisasi lokal yang bernama Persatuan Islam Bima (PIB) tanggal 3 November 1938.

Untuk memperkuat kembali peranan Islam di Kesultanan Bima, mulai 4 Mei 1947, Sultan memfungsikan kembali Syara Hukum sebagai Majlis Hadat dalam pemerintahan dan diubah menjadi Badan Hukum Syara yang dipimpin seorang Qadi dan seorang Imam.

Setelah memerintah selama 36 tahun, Sultan Muhammad Salahuddin wafat pada tanggal 11 Juli 1951 setelah dirawat di Rumah Sakit Cikini, Jakarta. Ia dimakamkan di Pemakaman Karet, Tanah Abang, Jakarta. (Sumber : Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru, Milik Negara).

 

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال