Apa Definisi Pacaran ? Bagaimana Hukumnya ?

Apa Definisi Pacaran ? Bagaimana Hukumnya ?

Oleh: Imam Gunawan

KULIAHALISLAM.COM - Pacaran ialah serangkaian hubungan antara 2 orang yaitu laki-laki dan perempuan agar mengenal lebih dekat satu sama lain. Akan tetapi, orang zaman sekarang salah dalam mengartikan pacaran itu seperti apa ? Pada awalnya kata “pacaran” memiliki konotasi yang baik, bukan suatu hal yang buruk misalnya bermesra-mesraan, berpelukan, bergandengan, dll.

Menurut Ustaz Adi Hidayat dalam ceramahnya. Kata “pacaran” sebenernya berasal dari ujung Sumatra sampai ujung Sumatra lagi. Ketika ada orang Melayu ingin dilamar maka calon suami akan mendekat rumah calon istrinya. Calon suami mendekat calon istrinya membuat pantun untuk menyatakan dirinya mencintai anaknya. 

Kalau pantun dan lamaran itu diterima, maka di bagian belakang calon mertua akan menangkapnya, kemudian anaknya (calon istri) akan diberikan ditangannya dengan daun pacar. Selama 40 hari ibunya mengkhususkan anaknya untuk bersiap agar menjadi istri calon suaminya. Dengan memberikan bimbingan menjadi istri yang baik serta berumah tangga. Maka dalam proses 40 hari itulah disebutkan proses namanya pacaran.

Kata “pacaran” yang sekarang memiliki konotasi yang buruk dalam pandangan banyak orang. Sehingga banyak orang yang menganggap pacaran itu tidak baik dan mestinya dijauhkan. Lalu bagaimana dengan hukum pacaran yang salah diartikan tersebut ?

Adapun pada masa sekarang pacaran lebih sering diartikan banyak orang yaitu berkhalwat atau bercampur antara laki-laki dengan perempuan. Adapun larangan berkhalwat didasarkan pada sebuah Hadis Nabi SAW:

وَلاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Janganlah seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita (tanpa disertai mahram-nya) karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan”. (HR Ahmad)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa bukan hanya kita dilarang untuk bercampur antara pria dan wanita saja, akan tetapi kita harus menjaga semuanya baik dari pandangan, pikiran, dan perbuatan yang kita lakukan. 

Karena jika tidak menjaga itu semua, niscaya kita akan tertipu oleh muslihat setan. Terlebih tidak bisa menjaga si wanita senantiasa kita akan mengikuti hawa nafsu kita dan mengarah pada fitnah dan godaan, tentunya hal tersebut akan merugikan kita semua. Nabi SAW juga bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Seorang laki-laki tidak boleh ber-khalwat dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahram-nya”. (HR Muslim)

Maka sudah jelas larangan akan hal ini, bukan hal yang mustahil jika tergoda oleh setan kita akan terjerumus pada perbuatan zina. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 32)

Dengan adanya pendekatan antara pria dan wanita, seperti hadis pertama bahwa yang menjadi pihak ketiga adalah setan. Maka sebagai seorang muslim haruslah waspada akan hal ini agar kita senantiasa terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.

Lantas bagaimana cara menjauhi perbuatan tersebut ?

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ * (رواه مسلم) 

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud RA berkata, Rasulullah SAW mengatakan kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya”. (HR Muslim)

Kemudian daripada itu, menikah adalah Sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda :

من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“. (HR Ibnu Majah)

Hadis tersebut tentunya sudah sangat jelas bagi kita semua. Dimana menikah yang termasuk Sunnah Rasulullah SAW menjadi suatu tolak ukur bagi kita umat muslim agar mau menikah, bukan hanya main-main baik itu berkhalwat, bermesra-mesraan, bergandengan, dll. 

Maka, daripada kita hanya berpacaran lebih baik menikahlah jika kita mampu baik dalam fisik maupun finansial, daripada harus berpacaran yang hanya berujung pada perbuatan dosa serta mengarah pada perbuatan zina.

Referensi :

  1. Sejarah pacaran yang sebenarnya awalnya baik, tapi sekarang ? | Ustadz Adi Hidayat L.c M.A. https://youtu.be/Ep5QJcl5qBk
  2. HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih sunan Ibnu Majah” (no. 173).

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال