Buya Syafi'i Ma'arif: Keniscayaan Kebebasan Berpikir dalam Muhammadiyah

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

"Intellectualism means pluralism. Lack of pluralism means decadence.' (Murad W. Hofmann)¹

Pendahuluan

SENGAJA saya kutip Hofmann untuk menunjukkan bahwa pluralisme menjadi pra-syarat bagi subur dan berkembangnya gerakan intelektual di mana pun di muka bumi, siapapun pelakunya. Melemahnya gerakan intelektual di dunia Muslim sejak sekitar lima-enam abad yang lalu, karena pra-syarat itu tidak lagi dipelihara, bahkan sampai batas-batas yang jauh telah ditindas, baik karena alasan agama yang difahami secara salah dan sempit, maupun karena alasan politik kekuasaan dalam upaya mengebiri kebebasan berfikir yang menjadi pilar utama bagi intelektualisme. Dengan pernyataan singkat ini, mari kita coba melihat Muhammadiyah dalam kaitannya dengan prospek intelektualisme Islam di Indonesia, sebuah rekonstruksi yang tidak mudah dilakukan. Muhammadiyah memang sejak awal tidak dirancang sebagai gerakan intelektual, tetapi perkembangan zaman setelah menempuh perjalanan satu abad jelas mengharuskannya menyusun strategi ke arah itu.

Muhammadiyah: Amal Mendahului Kegiatan Intelektual

Sekalipun dalam AD (Anggaran Dasar) pertama Muhammadiyah tahun 1912/1330 sudah dijumpai istilah "menyebarkan pengajaran" agama Islam kepada penduduk bumiputera, pesannya lebih bersifat praksis, bukan intelektual. Tetapi karena dalam artikel 3d sudah terbaca: "menerbitkan serta membantu terbitnya kitab-kitab, kitab sebaran, kitab khutbah, surat kabar, semuanya yang muat perkara ilmu agama Islam, ilmu ketertiban cara Islam," Muhammadiyah pada masa dini itu sebenarnya via penerbitan telah mulai meneruskan embrio intelektualisme itu, sekalipun tentu masih dalam lingkup terbatas di ranah yang bercorak serba Islam. Ini tidak mengherankan karena para pendiri Muhammadiyah umumnya adalah para kiyai produk pendidikan tradisional, tetapi telah pandai membaca tanda-tanda zaman yang sedang berubah.

Kemudian pergaulan mereka yang intens dengan tokoh-tokoh intelektual Budi Utomo yang berlatar belakang pendidikan modern/Barat semakin memicu para kiyai itu untuk melakukan terobosan, demi "sebuah Islam yang berkemajuan," sebuah ungkapan antisipatif yang cukup populer di kalangan Muhammadiyah. Ahmad Dahlan sendiri adalah salah seorang anggota BU pada tahun 1909. BU-lah yang membantu Ahmad Dahlan dalam proses persiapan pembentukan Muhammadiyah.

Dengan demikian, wawasan intelektual telah mulai merasuk ke tubuh Muhammadiyah berkat pergaulannya dengan tokoh-tokoh BU yang kental dengan filosofi Jawa plus pendidikan Barat itu. Bahkan belajar berpidato di muka umum orang-orang Muhammadiyah banyak belajar dengan mengikuti kegiatan BU yang modern secara organisatoris itu."

Dalam pengajian-pengajian Muhammadiyah, fakta historis ini jarang sekali diungkap, mungkin karena wawasan sejarah kita sangatlah terbatas, padahal semuanya itu dapat memperluas wawasan kebangsaan dan kemanusiaan kita. Ahmad Dahlan sangat menghargai kegiatan-kegiatan intelektualisme. Dahlan juga terlibat dalam Sarekat Islam, bahkan pernah menjabat sebagai penasehat urusan agama pada tahun 1915.5 Fakta ini sekaligus menjelaskan kepada kita bahwa radius pergaulan Ahmad Dahlan dan para pengikutnya yang mula-mula itu cukup luas dan tanpa rasa gamang untuk terus belajar dengan siapa pun. Maka tidak mengherankan daya tarik Muhammadiyah semakin dirasakan oleh berbagai kalangan, bahkan H. Agus Salim, tokoh intelektual SI, tercatat se bagai anggota Muhammadiyah No. 206 tertanggal 1 September 1920. Jika seorang Salim yang cerdas dan berfikir politis itu tertarik juga dengan gerakan Muham madiyah, itu menandakan ada sesuatu pemikiran mendasar tentang Islam yang sedang ditawarkan oleh para kiyai yang umumnya tidak mendapatkan pendidikan Barat itu.

Dalam perjalanannya selama satu abad, Muhammadiyah masih lebih dikenal sebagai gerakan amal yang ekspansif di bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang-bidang sosial kemanusiaan lainnya. Semuanya ini dilakukannya tanpa rasa letih karena dorongan iman sebagai sumber energi dan stamina yang tidak pernah kering. Karena kegiatan amal terlihat lebih menonjol dari kegiatan intelektual, maka tidaklah mengherankan benar karya-karya yang bercorak pemikiran mendasar dan mendalam belum banyak terbaca dalam dokumen resmi Muhamma diyah. Bahkan perkataan intelektual atau intelektualisme, sepanjang bacaan saya, tidak dijumpai dalam dokumen resmi itu. Adapun beberapa tokoh puncaknya dapat dikategorikan sebagai intelektual yang telah melahirkan beberapa karya tulis penting pada masanya memang cukup didukung fakta, sekalipun mereka belum tentu lahir dari rahim pendidikan Muhammadiyah.

Pada Muktamar Aceh tahun 1995, Majelis Tarjih diberi bobot tambahan dengan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan harapan agar geliat intelektualisme akan semakin terasa dalam tubuh Muhammadiyah. Pemilihan Prof. M. Amin Abdullah sebagai ketua Majelis Tarjih pasca Muktamar Aceh bertujuan agar majelis ini semakin menampakkan wajah intelektual nya. Salah satu karya Majelis Tarjih periode ini ialah terbitnya buku Tafsir Tematik Al-Quran yang pernah diprotes oleh sementara pihak. Sepuluh tahun kemudian dalam Muktamar Malang tahun 2005, atribut pengembangan pemikiran Islam diganti dengan tajdid, atau lengkapnya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Perubahan ini tentu dilatarbelakangi oleh kekhawatiran sementara orang jangan-jangan istilah "Pengembangan Pemikiran Islam" akan membuka pintu pluralisme pemikiran yang dapat menggoncangkan kejiwaan warga Persyarikatan yang beragam tingkat keilmuan dan wawasannya. Bagi saya kekhawatiran semacam ini tidak punya alasan yang kuat karena ditegakkan di atas fondasi yang rapuh, terlalu dicari-cari. Pertanyaannya adalah: mengapa semangat tajdid yang telah melekat dengan kepribadian Muhammadiyah harus dihadapkan kepada tembok artifisial yang tidak perlu? "Sebuah sarang di atas dahan yang rapuh tak 'kan tahan lama," kata seorang penyair.

Dengan ledakan intelektualisme di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah belakangan ini, tembok artifisial itu, cepat atau lambat, pasti akan roboh. Tuntutan zaman yang bergulir dengan sangat cepat, berkat teknologi informasi, tidak memungkinkan lagi Muhammadiyah mengurung diri dalam dunianya sendiri yang serba puritan. Sebenarnya tidak ada yang perlu dicemaskan tentang kemungkinan adanya perbedaan pemikiran yang berkembang dalam Muhammadiyah, betapa pun tajamnya, selama ia masih tetap berada dalam bingkai iman dan amal saleh.

Ini penting saya kemukakan. Perjalanan Muhammadiyah selama satu abad dengan bukti amal salehnya yang spektakuler sudah menjadi fakta keras dalam sejarah modern Indonesia. Sekarang Muhammadiyah tidak hanya berkiprah di kawasan perkotaan, di desa-desa jauh yang terpencil sosok amal saleh itu telah dirasakan oleh masyarakat luas. Tetapi untuk ke depan dalam rangka memasuki abad ke-2 pelaksanaan misinya, agar juga diperhitungkan oleh kalangan elit terdidik metropolitan, maka tidak ada pilihan lain, kecuali bila pusat-pusat pendidikan tinggi Muhammadiyah mampu memproduksi barisan intelektual yang disegani karena karya-karya dan buah pemikirannya yang kaya, menantang, dan orisinal. Untuk melangkah ke jurusan ini, kultur pluralisme harus difahami dan ditempatkan secara benar dengan menenggang perbedaan-perbedaan pendapat sebagai akibat logis dari sebuah gerakan intelektual. Pendapat Muhammad Marmaduke Pickthall yang pernah dilontarkan pada tahun 1927 masih cukup relevan untuk dikutip di sini:

"Di mata sejarah, toleransi agama merupakan bukti kultur tertinggi di kalangan suatu bangsa. Barulah setelah bangsa-bangsa Barat melepaskan dirinya dari hukum agamanya, sehingga mereka menjadi toleran. Dan hanyalah setelah umat Islam menjauh dari hukum agamanya, mereka menolak untuk toleran, dan bukti-bukti lain dari kultur tertinggi. Sebelum kedatangan Islam, to leransi tidak pernah disampaikan sebagai bagian pokok dari agama.

Perbandingan yang dibuat Pickthall cukup menyentak: Barat menjadi lebih toleran setelah meninggalkan ajaran agamanya, sedangkan umat Islam menjadi tak to leran setelah menjauhi ketentuan agamanya. Dalam se buah seminar internasional di Jogjakarta, saya pernah me ngatakan bahwa Al-Quran ternyata lebih toleran dari umat Islam. Artinya dalam kaitannya dengan hubungan sosial antar sesama manusia, Al-Quran telah memberikan patokan yang sangat jelas mengenai kultur toleransi, bahkan terhadap mereka yang tidak beriman sekalipun, selama masing-masing pihak saling menghormati dan saling menghargai.

Bagi saya, jika Muhammadiyah juga berhasil menampilkan dirinya sebagai gerakan pemikiran yang menjadi bagian dari amal saleh, sumbangannya untuk Indonesia ke depan akan lebih bermakna, sebab titik lemah kita selama ini terletak pada kurangnya perhatian terhadap kegiatan yang bersifat intelektual ini. Rintisan Tafsir Tematik di atas sayang sekali tidak lagi dilanjutkan oleh Majelis Tarjih pada periode berikutnya. Sebagai salah seorang yang turut mengusulkan penambahan tugas Majelis Tarjih dengan pengembangan pemikiran Islam, saya berharap bahwa rintisan yang telah dimulai itu dilanjutkan dengan tema-tema penting lain, sebab sekali penafsiran ulang terhadap teks-teks suci terhenti, akibatnya bisa sangat fatal. Agama akan kehilangan relevansinya untuk mengawal perubahan sosial yang hanya mengenal satu formula: terus bergerak tanpa kenal kata henti! Dina mika sosial ini tidak mungkin dibendung. Yang perlu dilakukan ialah kawalan terhadap arus perubahan itu agar tidak melenceng dari koridor kenabian. Di ranah inilah kerja ijtihad itu menemukan tantangan nyata yang perlu diberi jawaban. Sampai kapan? Sampai rapuh nya dunia ini?

Apakah kerja intelektual itu tidak akan semakin memperberat tanggung jawab Muhammadiyah? Me mang tidak diragukan lagi, beban pasti bertambah berat, tetapi apakah ada solusi lain untuk merealisasikan pesan rahmatan li al-'alamin dalam seluruh dimensi kehidupan manusia tanpa tafsiran ulang terhadap teks-teks suci? Tanpa kerja ijtihad intelektual dalam membaca ulang ketentuan agama, ungkapan "al-isläm sbâlib li kulli zaman wa makan" akan tetaplah tergantung di awan tinggi, sementara penganutnya dibiarkan terkapar di bumi tanpa acuan yang jelas, semata-mata karena takut berfikir merdeka. Kerja tajdid hanyalah mungkin dilakukan jika pela kunya adalah manusia-manusia berani berfikir bebas tetapi tetap dikawal dalam bingkai iman.

Muhammadiyah dan masa depan intelektualisme Islam di Indonesia. Dari paparan di atas rasanya sudah cukup jelas bah wa potensi Muhammadiyah dengan perguruan tingginya yang semakin berkembang cukup besar untuk melakukan kerja-kerja intelektual strategis bagi kepentingan masa depan bangsa ini. Jika tugas ini tidak segera diambil, maka boleh jadi Muhammadiyah sebagai institusi akan menjadi penonton yang pasif, sebab gelombang besar intelektualisme Islam di Indonesia tidak mungkin dibendung lagi oleh kekuatan apa pun. Saya perkirakan dalam tempo lima sampai 10 tahun yang akan datang, pemikir pemikir Muslim itu diharapkan akan melahirkan karya karya penting di ranah intelektual, boleh jadi sebagai koreksi terhadap hasil pemikiran para pendahulunya, sesuatu yang telah dimulai sebenarnya.

Jika para pendahulu itu selama bertahun-tahun disibukkan oleh isu negara Islam yang berujung dengan kegagalan, maka kaum intelektual yang datang belakangan mengalihkan perhatian mereka kepada penggalian pesan pesan Al-Quran yang menyangkut masalah keadilan, prinsip egalitarian, demokrasi, pluralisme, hubungan lintas iman, hak-hak asasi manusia, dan posisi perempuan dalam Islam. Muhammadiyah secara resmi belum punya pemikiran utuh dan komprehensif mengenai isu isu besar ini. Tetapi dengan hadirnya beberapa PTM ternama, langkah ke arah lahirnya pemikiran fundamen tal tentang masalah-masalah mendesak tidak terlalu sulit dilakukan dengan syarat ada kemauan dan langkah nyata untuk itu.

Kita ambil salah satu contoh saja tentang kepemimpinan perempuan dalam kehidupan kenegaraan, kita belum punya bingkai konsep baku yang secara iman ia benar dan secara ilmu dapat dipertanggungjawabkan. Posisi perempuan di dunia Arab dan di Asia Selatan yang begitu tertindas atas nama agama adalah di antara cacat peradaban Islam yang tidak bisa dibiarkan terus berlangsung lebih lama. Praktik semacam ini adalah sebuah kezaliman sejarah karena wacana keagamaan terlalu didominasi kaum laki-laki, sekalipun sekarang telah bermunculan pemikir-pemikir Muslimah yang berani mengatakan se suatu yang tertimbun sekian abad di bawah debu sejarah.

Lalu apa yang perlu dilakukan Muhammadiyah dalam mengantisipasi ledakan intelektualisme Islam di Indonesia? Saya menyarankan ada dua langkah yang dapat ditempuh. Pertama, pimpinan Muhammadiyah pada semua jenjang harus membuka diri seluas-luasnya terhadap merebaknya pemikiran-pemikiran segar, dan mungkin kontroversial, dari kalangan intelektual mudanya. Jika ledakan itu disikapi dengan pendekatan negatif dan ancaman, saya khawatir mereka akan menyempal, sesuatu yang sangat merugikan kita semua dalam tahap memasuki abad ke-2 usia Muhammadiyah. Pergulatan pemikiran Islam di awal abad ke-21 ini sungguh luar biasa kayanya, tetapi tidak kurang kontroversialnya. Sebagai sumber elementer penting untuk mengikuti pergulatan itu, bisa misalnya dibaca karya Abdou Filali-Ansary, asli dalam bahasa Perancis. Di bagian akhir Filali menulis:

"Bagi kaum Muslim jalan keluar dari dilema ini terlihat ada pada etik yang disadari dan dicoba disampaikan oleh para pemikir seperti 'Ali 'Abd al-Râziq, Fazlur Rahman, Marshall G.S. Hodgson, Mahmoud Mohamed Taha, Jacques Berque, Mohamed Talbi dan Abdel-majid Charfi. Bukan napas mistik, melainkan sebuah nalar ta jam yang menangkap dan mengenali jangkar historis dari sebuah etika yang benar-benar universal dalam Islam."11 pesan

Ketika kita takut menghadapi kontroversi dalam pemikiran, pada saat itulah sebenarnya kita sedang menggali kuburan masa depan intelektualisme Islam sebagai bagian dari kegiatan peradaban yang tidak mungkin dihalangi dengan dalih apa pun.

Saran kedua, pimpinan dan warga Muhammadiyah harus membiasakan diri mengakses sumber-sumber pemikiran Muslim yang sangat kaya, baik yang klasik maupun yang kontemporer dengan teknik yang sangat mudah, hanya dengan sebuah klik tentang pokoh masalah pada Google, semuanya akan terbongkar. Dengan cara ini, kesenjangan pemikiran antara sesama kita akan dapat dipertautkan. Sikap saling curiga dengan demikian akan dapat dikurangi, jika mungkin dihalau jauh-jauh

Penutup

Tidak ada jalan lain untuk bersikap setia kepada gagasan "Islam yang berkemajuan," kecuali kita semua mau belajar dan membuka diri selebar-lebarnya, selebar kehidupan itu sendiri. Di luar itu adalah jalan buntu yang sumpek yang telah menempatkan dunia Islam pada posisi tanpa wibawa dan martabat selama sekian abad.

Muhammadiyah tentu tidak akan memperpanjang kultur kebuntuan itu, karena berlawanan dengan gagasan semula gerakan Islam yang diprakarsai oleh Ahmad Dahlan dan sahabat-sahabatnya di awal abad ke-20 di lingkungan kultur Jawa yang pekat.[]

*)Catatan Redaksi: Artikel diatas pernah dimuat dalam Buku Menggugat Modernitas Muhammadiyah, Refleksi Satu Abad Perjalanan Muhammadiyah. Oleh: Ahmad Syafi'i Ma'arif, hlm 130-140. Artikel diterbitkan kembali untuk mengenang karya dan pemikirannya.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال