Halalbihalal: Tradisi Merawat Keharmonisan di Indonesia

(Sumber Gambar: Fitrah)

KULIAHALISLAM.COM - Hari Raya Idul Fitri ialah hari raya kaum muslimin yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawal (sesudah berakhirnya Ramadan). Di Indonesia Idul Fitri dilakukan satu kali dalam satu tahun. 

Kegiatan yang dilakukan sebelum hari raya Idul Fitri tersebut hanyalah berpuasa, tidak ada perayaan lain untuk menyambut Idul Fitri. Dalam agama Islam perayaan Idul Fitri, dilaksanakan secara berulang di setiap tahunnya dengan semangat kegembiraan, kebahagiaan, keceriaan dan senyum canda yang baru.(Hannan Hoesin Bahannan Dkk, hlm 211).

Momentum Idul Fitri

Idul Fitri memiliki nilai sosial yaitu berkumpulnya sanak saudara sambil bersilaturahim terhadap lingkungan sekitar, serta memiliki nilai ekonomis, yaitu membeli baju baru, dan perlengkapan untuk menyambut dan memeriahkan hari raya ini.

Perayaan hari raya Idul Fitri yang menjadi tradisi umat Islam dilaksanakan dalam kurun waktu setahun sekali setelah melaksanakan puasa Ramadhan. Akan tetapi untuk menempuh perayaan tersebut, umat Islam terlebih dahulu menjalankan ibadah puasa yang ditetapkan rukun dan syarat yang telah ditetapkan dengan penuh keikhlasan maka ia telah terbebas dari tanggungannya serta tidak ada orang lain yang mempunyai alasan untuk menghukumnya. (Ihyaul Ulumuddin, 2010).

Perayaan keagamaan memang selalu menjadi moment yang sangat di nanti-nanti oleh umat di masing-masing agama tersebut. Perayaan keagamaan tersebut di sambut sangat antusias oleh seluruh manusia, tidak terkecuali Indonesia. Nuansa penyambutan hari raya besar umat Islam yakni Idul Fitri sangat terasa di Indonesia.

Dimana pada hari raya ini semua keluarga besar berkumpul dan menjalin silaturahim kembali, tradisi balik kampung atau mudik sering sekali menjadi kebiasaan keluarga yang jauh kembali ke kampung halaman. Fenomena mudik ini memiliki cerita tersendiri. Tidak hanya mudik, ada satu lagi Fenomena dihari raya ini yaitu membagi-bagikan Tunjangan Hari Raya (THR), yaitu amplop-amplop yang berisikan uang lalu dibagikan kepada saudara-saudara lainnya.

Tradisi Halalbihalal

Penduduk di negara Indonesia merupakan mayoritas umat Islam di dunia. Tidak mengherankan jika di Indonesia muncul beraneka ragam tradisi keagamaan yang tidak ditemukan di negara Islam lainnya. Di antara tradisi tersebut seperti kenduri (selamatan), tahlilan, fidaan, qasidah, shalawatan, termasuk juga halalbihalal.

Halalbihalal merupakan suatu tradisi yang unik dan merupakan ciri khas yang tidak dimiliki umat Islam selain di Indonesia. Acara halalbihalal ini dilakukan pada bulan syawal setelah hari raya ‘Idul fitri. Meskipun praktik pelaksanaan halalbihalal berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain, namun pada intinya sama-sama memanfaatkan momentum hari raya ‘Idul fitri untuk menjalin silaturahim dan sikap saling maaf memaafkan dengan dikemas berupa acara seremonial.

Di dalam al-Qur’an dan hadis tidak disebutkan secara eksplisit tentang istilah halalbihalal. Hal ini bukan berarti halalbihalal termasuk ajaran Islam yang ilegal. Dalam penamaan istilah halalbihalal memang tidak ada dasar yang jelas. Akan tetapi, nilai nilai ajaran dan praktik dalam halalbihalal memiliki dasar hukum yang kuat dalam al Qur’an dan hadis.

Halalbihalal ialah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal, yang di tengahnya terdapat satu huruf (kata penghubung) yaitu ba’ (baca/bi).  Sedangkan istilah halalbihalal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki makna hal maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, yang biasa diadakan dalam sebuah tempat oleh sekelompok orang. Sedangkan makna ber-halalbihalal artinya bermaaf-maafan pada waktu lebaran.

Dengan demikian dalam halalbihalal berarti terdapat unsur silaturahim. Namun, makna halalbihalal bisa menjadi luas jika dianalisis dengan berbagai macam aspek dan sudut pandang. M. Quraish Shihab memberi catatan, bahwa tujuan halalbihalal adalah menciptakan keharmonisan antar sesama.

Pandangan Para Mufassir

Kata halal dalam perspektif hukum artinya kebalikan atau antonim dari perkara haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Jika demikian, maka halal bihalal dapat berarti perbuatan yang menjadikan sikap seseorang terhadap orang lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf. (M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), h. 240).  

Lebih jauh, hukum Islam memiliki panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Empat hukum yang pertama termasuk kategori halal (boleh dilakukan). Namun untuk hukum makruh meskipun perkara halal, tetapi dianjurkan untuk ditinggalkan. Contohnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud sebagai berikut; Nabi bersabda “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah pemutusan hubungan suami istri (thalaq/cerai)”.

Terkait dengan hadis ini, apabila halalbihalal diartikan dalam konteks hukum, maka tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antar sesama. Bahkan, mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya sebagaimana yang dijelaskan Nabi dalam hadis tentang thalaq tersebut. Oleh sebab itu, sebaiknya kata halal pada konteks halalbihalal tidak dipahami dalam konteks hukum. (Tradisi Halal Bihalal dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, Eko Zulfikar , Jurnal Studi Al-Qur’an 2018, hal 29-30).

Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram, sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman siksa. Jikalau halalbihalal diartikan dalam konteks hukum, hal itu tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antar sesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat menimbulkan pengertian Allah SWT kepada pelakunya. Seperti sabda Rasulullah SAW: “halal yang paling dibenci Allah SWT adalah pemutusan hubungan suami istri”. Karena itu sebaiknya kata halal dalam kontek halalbihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.

***

Menurut Quraish Shihab, istilah halalbihalal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Dengan demikian, halalbihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.

Namun, tinjauan hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan halalbihalal itu sendiri yang merupakan untuk mengharmoniskan hubungan. Karena dalam bagian halal terdapat hukum makruh, tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti menceraikan isteri yang justru lepas dari tujuan mengharmoniskan hubungan. Sedangkan pada tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”.

Bahkan jika langsung dikaitkan dengan kata dzanbin; halla min dzanbin, akan berarti “mengampuni kesalahan”. Jika demikian, ber-halalbihalal akan menjadi suatu aktivitas yang mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya. Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya halalbihalal. (M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: 497-498).

Kesimpulan

Kata majemuk ini tampaknya memang hanya ada di Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halalbihalal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”.

Halalbihalal merupakan suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan solat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halalbihalal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.

Oleh sebab itu, makna filosofis Halalbihalal berdasarkan tadi dengan analisa pertama adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan, atau dengan analisis kedua adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال