Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah Khadijah

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah Khadijah 

Sayyidah Khadijah adalah seorang wanita yang sudah mengalami manis pahitnya berumah tangga. Ia pernah menikah dua kali dengan dua orang pria terpandang dalam masyarakat yaitu ‘Atiq bin ‘Aid bin ‘Abdullah Al-Makhzumiy dan Abu’ Halah Hindun bin Zararah At-Tamimiy. 

Dalam kegiatan mengemudikan perniagaan ia banyak memperkerjakan laki-laki. Akan tetapi di antara mereka semua dalam pandangan Khadijah tidak ada seseorang pun yang memiliki sifat-sifat dan perangai mulia seperti Muhammad SAW.

Dalam waktu yang cukup lama Sayyidah Khadijah tercekam pikiran dan perasaanya oleh harapan untuk dapat hidup berdampingan dengan seorang pemuda yang anggun dan berbudi, seorang pemuda Bani Hasyim yang menjadi buah bibir masyarakat. 

Hati Khadijah RA terbenam dalam asmara, ia sadar telah jatuh cinta kepada Nabi Muhammad SAW tetapi apakah cinta yang meronta di dalam dadanya itu akan mendapat sambutan?

Jika cintanya mendapat sambutan, bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap dirinya? Bukankah ia sudah dikenal sebagai seorang janda yang tidak berniat membangun rumah tangga lagi karena kepahitan pernikahan masa lalu? 

Beberapa kali sudah Khadijah RA menolak lamaran sejumlah pria tepandang dari kalangan masyarakatnya, apa yang akan dikatakan para tokoh yang pernah melamarnya?

Sayyidah Khadijah kadang-kadang merasa malu kepada dirinya sendiri, karena ia menyadari usianya sebanding dengan usia Sayyidah Aminah binti Wahab (bibi Muhammad SAW). Ia membayangkan seandainya Aminah masih hidup tentunya sebaya dengan dirinya. 

Lebih-lebih lagi ia telah memiliki dua orang anak dari suaminya terdahulu. Kadang-kadang Khadijah RA merasa putus asa lalu berkata dalam hati “Apa gunanya pohon asmara yang tidak dapat diharapkan buahnya?”

Dalam suasana keresahan dan kebingungan melanda pikiran Sayyidah Khadijah, datanglah sahabat wanitanya bernama Nafisah binti Munayyah. Nafisah bukan sekedar teman biasa namun sudah dianggap Khadijah sebagai saudarinya sendiri. 

Karena itu tidak ada soal pribadi yang harus dirahasiakan Khadijah RA kepadanya. Kini tahulah sudah Nafisah apa yang bergejolak di dalam hati Khadijah RA, Nafisah rela menjembatani hubungan yang hendak dibangun Khadijah RA dengan Muhammad SAW.

Nafisah menemui Muhammad SAW, Nafsisah bertanya pada beliau mengapa beliau lebih suka menyendiri, bukankah lebih baik dan lebih tentram kalau beliau berumah tangga, hidup didampingi seorang istri yang akan menghilangkan rasa kesepiannya ? 

Nabi Muhammad SAW berkata: “Dengan siapa aku dapat beristri?”. Belum selesai beliau mengucapkan kata-katanya, Nafisah cepat-cepat melanjutkan pertanyaan: “Jika anda dikendaki oleh seorang wanita rupawan, hartawan dan bangsawan, apakah anda bersedia menerimanya ?”.

Mendengar pertanyaan itu, Nabi Muhammad SAW mengerti siapa yang dimaksud Nafisah. Tanpa memperpanjang percakapan lagi, Nafisah segera meminta diri meninggalkan tempat dan meninggalkan Nabi Muhammad SAW seorang diri dengan segala gejolak pikiran dan perasaannya. 

Beliau sudah sering mendengar berita bahwa Khadijah RA sudah sering menolak lamaran tokoh-tokoh terkemuka dan kaya. Pada mulanya beliau agak terpengaruh pikirannya oleh apa yang dikatakan Nafisah, tetapi pada akhirnya beliau sanggup mengendalikannya dan terserah pada kenyataan nanti. 

Beliau segera menuju Ka’bah dan berthawaf sebagaimana yang sudah biasa dilakukan. Di tengah jalan beliau disapa oleh seorang perempuan tua yang oleh masyarakat Makkah dikenal sebagai tokoh peramal. 

Perempuan tua itu berkata pada Muhammad SAW: “Hai Muhammad, Anda tampaknya baru saja melamar Khadijah?. Beliau menjawab: “Tidak”. Perempuan tua itu segera melanjutkan kata-katanya: “Mengapa ? Demi Allah, di kalangan Quraisy tidak ada perempuan sepadan (sekufu’) denganmu walau Khadijah sekalipun.”

Muhammad SAW tidak menghiraukan apa yang dikatakan perempuan tua itu. Beliau hanya tersenyum lalu tersenyum lalu terus berjalan menuju Ka’bah. Beberapa minggu setelah bertemu dengan Nafisah, beliau menerima undangan dari Khadijah untuk datang kerumahnya bersama dua orang pamannya yaitu Abu Thalib semoga Allah meridainya dan Hamzah semoga Allah meridainya.

Di rumah Khadijah RA sudah menunggu beberapa orang dari kaum kerabatnya. Segala sesuatu tampak dipersiapkan rupa untuk menerima kedatangan tamu penting. 

Abu Thalib berkata “Muhammad adalah seorang pemuda yang tidak ada tolak bandingnya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan dan kecerdasan. 

Meskipun ia bukan orang kaya namun kekayaan itu dapat lenyap, karena setiap titipan pasti akan diminta kembali. Ia mempunyai keinginan terhadap Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya”.

Paman Khadijah RA yang bernama ‘Amr bin Asad bin ‘Abdul-‘Uzza bin Qushaiy yang dalam pertemuan itu bertindak selaku wali menyahut setelah membenarkan apa yang dikatakan oleh Abu Thalib dan memuji-muji Muhammad SAW, ia berkata “Kunikahkan Khadijah dengan Muhammad atas dasar maskawin bernilai dua puluh barkah”. 

Menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Az-Zuhriy yang menikahkan Khadijah ketika itu adalah ayahnya sendiri. Usai Ijab kabul, pernikahan diselenggarakan walimah (pesta pernikahan) dengan menyembelih beberapa ekor unta dan kambing, dihadiri oleh sahabat dan kerabat kedua pengantin. 

Di antara mereka ternyata hadir Sayyidah Halimah As-Sa’diyyah dari daerah permukiman Bani Sa’ad yang cukup jauh dari Makkah. Sayyidah Halimah datang untuk menyaksikan pernikahan Muhammad SAW sebagai anak susuannya waktu masih bayi. 

Ketika pulang ke daerah asalnya, Sayyidah Halimah dibekali sejumlah bekal makanan dan empat puluh kepala kambing oleh Khadijah RA sebagai tanda terimakasih atas jasa-jasanya mengasuh suami tercinta di masa kanak-kanak.

Lima belas tahun sudah sejak pernikahan Khadijah RA dengan Muhammad SAW. Selama itu kehidupan dua orang suami istri sangat harmonis, tidak pernah terjadi soal-soal yang menggangu pikiran dan perasaan kedua belah pihak. 

Hubungan yang dijalin dengan cinta dan kasih sayang itu bukan hanya menjadi teladan bagi semua rumah tangga di Mekkah, melainkan juga dibicarakan oleh sejarah sepanjang zaman. 

Nikmat kebahagian yang dikaruniakan Allah itu dimahkotai dengan kelahiran dua orang putra dan empat orang putri, mereka adalah Al-Qasim, ‘Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah az-zahra semoga Allah senantiasa meridai mereka semua. 

Suratan takdir yang telah dikehendaki Allah tak terelakan, betapa pedih dua orang suami-istri yang bahagia itu karena dua orang putranya wafat dalam usia kanak-kanak.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال