Pedoman Lengkap dan Ringkas: Pengelolaan Zakat Fitrah Berdasarkan Syariat Islam dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat

Definsi Zakat Menurut Para Ulama

Zakat menurut istilah bahasa artinya membersihkan dan mengembangkan. Prof. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat zakat menurut lughah (bahasa) berarti kesuburan, kesucian (thaharah), dan tazkiyah tathhier (mensucikan). 

Abu Muhammad Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa “lafaz zakat diambil dari kata zakah yang berarti nama kesuburan dan penambahan.”

Secara terminologi, Abul Hasan Al-Wahidi mengatakan bahwa: “Zakat itu mensucikan harta dan memperbaikinya, serta menyuburkannya.” Zakat itu merupakan suatu sebab yang diharapkan mendatangkan kesuburan atau menyuburkan pahala. 

Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi berkata: “Zakat itu nama pengembilan tertentu dari harta yang tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu”. Imam Asy-Syaukani berpendapat: Zakat adalah memberi suatu bahagian dari harta yang sudah sampai.

Prof. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa: suatu hal yang penting diperhatikan yaitu tuduhan sebagaian orientalis yang menyatakan bahwa kalimat zakat diambil dari bahasa Yahudi atau Aramy.

Memang orang-orang orientalis selalu berusaha menyelewengkan pengertian-pengertian Islam dan perkataan-perkataan yang dipergunakan Islam kepada tujuan-tujuan yang membawa kepada kerendahan Islam. 

Oleh karenanya janganlah mudah seseorang membaca buku-buku orientalis terpukau dengan uraian mereka itu. Di dalam Ensiklopedia Islam banyak mereka berbuat penyelewengan-penyelewangan itu.

Kalimat Zakat dalam Alqur’an disebutkan  sebanyak 30 kali. Delapan kali diantaranya terdapat dalam surah-surah Madaniyah. Kalimat zakah dalam Alqur’an disebutkan diantaranya adalah:

1. Alquran Surah Al-Baqarah ayat 110

      وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ   

wa aqīmuṣ-ṣalāta wa ātuz-zakāh, wa mā tuqaddimụ li`anfusikum min khairin tajidụhu 'indallāh, innallāha bimā ta'malụna baṣīr

“Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 110).

2. Alquran Surah Az-Zariat ayat 19

وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ

wa fī amwālihim ḥaqqul lis-sā`ili wal-maḥrụm

"Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta."

3. Alquran Surah At-Taubah 103

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ 

Khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahhiruhum watuzakkiihim bihaa washalli ‘alaihim inna shalaataka sakanun lahum wallahu samii’un ‘aliimun

"Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah: 103)

4. Alquran Surat At-Taubah ayat 34

yā ayyuhallażīna āmanū inna kaṡīram minal-aḥbāri war-ruhbāni laya`kulụna amwālan-nāsi bil-bāṭili wa yaṣuddụna 'an sabīlillāh, wallażīna yaknizụnaż-żahaba wal-fiḍḍata wa lā yunfiqụnahā fī sabīlillāhi fa basyir-hum bi'ażābin alīm

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih." (QS. At-Taubah: 34) 

Zakat Rukun Islam Ketiga

Nabi Muhammad SAW telah menegaskan di Madinah bahwa zakat itu wajib serta telah menjelaskan kedudukannya dalam Islam, yaitu bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam yang utama, dipujinya orang yang melaksanakan dan diancamnya orang yang tidak melaksanakannya dengan berbagai upaya dan cara. 

Berikut hadis Nabi Muhammad SAW tentang zakat

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {الزَّكَاةُ قِنْطَرَةُ الْإسْلَامِ}.

Nabi SAW bersabda, “Zakat itu jembatannya Islam.” Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ath-Thabarani dari sahabat Abu Ad-Darda’ RA dan diriwayatkan juga oleh imam Al-Baihaqi dari sahabat Ibnu Umar RA.

Di dalam beberapa hadis lain Rasulullah mengancam orang-orang yang tidak membayar zakat dengan hukuman yang berat di akhirat agar yang lalai tersentak dan sifat kikir tergerak untuk berkorban. 

Kemudian dengan cara memberikan pujian dan mempertakut-takuti, Nabi menggiring manusia agar secara sukarela melaksanakan kewajiban zakat tersebut. Tetapi apabila juga tidak mau membayarkan zakat maka digiring Nabi lah ia secara paksa dengan cambuk hukum dan senjata penguasa agar melaksanakan kewajiban tersebut. 

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa yang mempunyai emas dan perak tetapi dia tidak membayar zakatnya, maka di hari kiamat akan dibuatkan untuknya setrika api yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya.”

"Setiap kali setrika itu dingin, dipanaskan kembali lalu disetrikakan pula padanya setiap hari, yang lamanya setara dengan lima puluh tahun di dunia, hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalan keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka'."(HR Muslim). 

Hadis di atas memberikan faedah bahwa orang yang enggan membayar zakat akan diazab selama lima puluh ribu tahun. Jika ia seorang muslim, ia akan masuk surga setelah itu. Sedang jika kafir, ia akan kekal di neraka bersama para penghuninya. (Faisal bin Abdul Aziz Ali Mubärak, Tatrizu Riyadis Şälihina, Juz 2).

Jenis-Jenis Zakat Berdasarkan Syariat Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat

A. Zakat Harta (Mal)

Prof. Dr Yusuf Al Qaradhawi dalam tesis Doktornya yang berjudul Fiqhuz Zakat di Universitas Al Azhar menyatakan Alquran tidak memberi ketegasan tentang kekayaan wajib zakat dan syarat-syarat apa yang mesti dipenuhi, serta tidak menjelaskan berapa besar yang dizakatkan. 

Persoalan itu diserahkan pada Sunnah Nabi.  Hal itu karena Rasulullah SAW adalah yang bertanggungjawab menjelaskan Alquran dengan ucapan, ketetapan beliau dan beliau pula yang lebih paham tentang maksud dan firman Allah.

Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan terdapat beberapa jenis kekayaan yang disebutkan dan diperingatkan Alquran untuk dikeluarkan zakatnya sebagai hak Allah :

1. Emas dan Perak, dalam firman-Nya : Orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah, sampaikanlah kepada mereka berita gembira tentang azab yang azab yang sangat pedih (QS. 16 :44).

2. Tanaman dan buah-buahan yang dinyatakan oleh Allah: “Makanlah sebagian buahnya bila berbuah dan bayarlah hak tanaman itu waktu menanamnya" (QS. 9 : 34).

3. Usaha, misalnya usaha dagang, firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah yang baik-baik dari penghasilan mu" (QS. 6 :141).

4. Barang-barang tambang yang dikeluarkan dari perut bumi. Allah berfirman: Sebagian di antara yang Kami keluarkan untuk kalian dari perut bumi (QS. 2 : 276).

Selain yang disebutkan itu, Qur’an hanya merumuskan apa yang wajib dizakatkan itu dengan rumusan yang sangat umum yaitu kata-kata “Kekayaan”, seperti firman-Nya: Pungutlah oleh mu zakat dari kekayaan mereka, kau bersihkan dan sucikan mereka dengannya.

Pengertian Kekayaan Menurut Ulama

Kekayaan (amwal) merupakan bentuk jamak dari kata “mal” artinya segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia, menyimpan dan memilikinya. Ibnu Asyr mengatakan kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki.

Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat yaitu “dipunyai” dan “bisa diambil manfatanya” seperti tanah, uang, hewan ternak, barang-barang perelengkapan.

Jenis-Jenis Zakat Harta “Mal”

  1. Zakat Binatang Ternak;
  2. Zakat Emas dan Perak;
  3. Zakat Kekayaan Dagang;
  4. Zakat Pertanian;
  5. Zakat Madu dan Produksi Hewan;
  6. Zakat Barang Tambang dan Hasil Laut;
  7. Zakat Investasi, Pabrik dan Gedung;
  8. Zakat Pencarian dan Profesi;
  9. Zakat Saham dan Obligasi;

Saham adalah hak pemilikan tertentu atas kekayaan satu perseroan terbatas atau batas penunjukan atas saham tersebut. Tiap saham merupakan bagian yang sama dari kekayaan itu. 

Obligasi adalah perjanjian tertulis dari Bank, perusahaan, atau pemerintahan kepada pembawanya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga terntu pula.

B. Zakat Fitri (Fitrah)

Makna zakat fitrah yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah futur (berbuka puasa) pada bulan Ramadan.  Zakat ini awalnya namanya adalah zakat fitri kemudian sahabat Nabi bernama Sa’id Ibnul Musaiyab dan Umar bin Abdul Aziz menyebut zakat ini sebagai zakat fitrah walau para Ulama berbeda pendapat makna istilah “fitrah” disitu. 

Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis lain yang menjelaskan hukum membayar zakat fitrah disampaikan dari Ibnu Abbas RA ia berkata:

Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis lain yang menjelaskan hukum membayar zakat fitrah disampaikan dari Ibnu Abbas RA ia berkata:

Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum salat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah salat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa zakat fitrah itu wajib, bukan fardhu, berdasarkan kaidahnya yang membedakan antara “Fardhu” dan “Wajib”. Fardhu menurut mereka adalah segala sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qathi’i (jelas), sedangkan wajib adalah segala sesuatu sesuatu yang ditetakan berdasarkan dalil zanni. 

Efek dari perbedaan ini bahwa orang yang mengingkari fardhu adalah kufur sedangkan orang yang mengingkari wajib tidak berakibat kufur. Abu Aliah, Imam ‘Atha dan Ibnu Sirrin, Imam Bukhari, mazhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad menyatakan bahwa zakat fitrah itu hukumnya wajib. Perbedaan antara wajib dan fardhu hanyalah dalam istilah saja dan tidak menjadi masalah.

Kepada Siapa Zakat Fitrah Diwajibkan ?

Dalam hadis dari Ibnu Umar mengemukakan bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadan pada orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki, perempuan dari kaum Muslimin. 

Abu Hurairah berkata: Zakat fitrah wajib pada orang-orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa, fakir arau kaya. Menurut Imam Mazhab, Imam Laits dan Ishaq bahwa wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat fitrah bagi istrinya karena istri dalam hal nafkah mengikuti suami. 

Imam Abu Hanifah berkata: Zakat fitrah wajib bagi perempuan baik ia memiliki suami maupun tidak. Mayoritas Ulama berpendapat wajib zakat fitrah bagi anak kecil apabila ia memiliki harta, apabila tidak memiliki harta.

Said bin Musayyib dan Imam Hasan Basri berpendapat bahwa zakat fitrah itu hanya diwajibkan untuk orang yang berpuasa pada bulan ramadan karena tujuan zakat fitrah adalah untuk mensucikan orang yang berpuasa. 

Namun pendapat ini dibantah oleh sebagian besar Ulama. Selanjutnya, mayoritas Ulama Fikih (Fuqaha) berpendapat bahwa zakat fitrah tidak wajib bagi janin.

Nisab yang Disyaratkan Pada zakat Fitrah

Nisab (ukuran) disyaratkannya kewajiban zakat fitrah yaitu Islam dan adanya kelebihan dari makanannya dan makanan orang yang wajib nafkah baginya pada hari dan malam hari raya dan kelebihan dari rumahnya, perabot rumah tangganya dan kebutuhan pokoknya. Orang yang kaya, miskin dan fakir jika ia telah memenuhi nisab di atas maka wajib atasnya mengeluarkan zakat fitrah.

Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan: Saya melihat bahwa Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan zakat fitrah ini bagi setiap muslim yang fakir atau kaya pasti mempunyai sasaran yang bukan sekedar bersifat materi akan tetapi sasaan akhlak dan pendidikan. 

Di sini orang Muslim dapat belajar bahwa walaupun ia fakir harta tetap tangannya harus di atas (memberi), dan ia akan merasakan pula nikmatnya memberi dan nikmatnya menganugerahkan sesuatu pada orang lain walaupun itu berlangsung satu hari dalam satu tahun.

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa wajib hukumnya membayar zakat fitrah bagi Muslim yang fakir jika ia memiliki kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang yang menjadi tanggung jawab nafkahnya pada malam dan Hari Raya. 

Selanjutnya, apabila seseorang memiliki sesuatu untuk membayar zakat fitrah tetapi ia memiliki utang yang senilai dengan itu maka ia tetap mengelurkan zakat fitrah kecuali utangnya harus dibayar pada waktu itu juga.

Ibnu Qudamah berkata: “Sesungguhnya, utang tidak menghalangi terhadap kewajiban zakat fitrah karena zakat fitrah itu sangat diwajibkan sehingga terhadap fakir pun diwajibkan."

Jenis Benda yang Dikeluarkan Zakat Fitrah

Dalam hadis, Rasulullah SAW menetapkan makanan terentu yang dikeluarkan untuk zakat fitrah yaitu kurma kering, kurma basah dan susu kering yang tidak dibuang buihnya. 

Sebagian riwayat menetapkan tentang gadum dan sebagian lagi biji-bijian. Golongan Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa jenis makanan itu bukan bersifat ta’bbudi dan tidak dimaksudkan bendanya itu sendiri, sehingga wajib bagi si Muslim mengeluarkan zakat fitrah dari makanan pokok negerinya sendiri.

Sebenarnya yang jelas, bahwa Nabi Muhammad SAW membatasi pada makanan-makanan tertentu saja, karena makanan tersebut pada waktu itu merupakan makanan pokok di lingkungan Arab, andaikan orang-orang makanan pokoknya beras dan lauk pauknya maka itu beras dan lauk pauknya itu yang diwajibkan. 

Yang paling baik adalah seseorang itu mengeluarkan zakat fitrah itu makanan pokok di daerahnya. Hal yang banyak terjadi kesalahan di Indonesia adalah mengeluarkan zakat fitrah hanya dengan beras semata padahal makanan pokok di Indonesia bukan hanya beras.

Tetapi harus ada gula pasirnya, minyak gorengnya, bumbu dapurnya, susu, tepung, sagu, margarin, dan telur hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998.

Jadi, orang yang membayarkan zakat dengan makanan pokok seharusnya tidak hanya dengan beras semata karena yang dimaksud makanan pokok di Indonesia itu meliputi (beras, gula pasir, minyak goreng, bumbu dapur, susu, tepung, margarin dan telur. 

Rasulullah SAW bersabda: Cukupkanlah orang-orang miskin pada hari raya ini, jangan sampai meminta-minta”. Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan bahwa “amencukupkan dalam hadis itu bisa dengan harganya, bisa pula dengan makanannya.”

Selanjutnya, dalam hadis dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadan, satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum (H.R Jamaah). 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata: Kami mengeluarkan zakat fitrah, pada waktu Rasulullah SAW ada bersama kita, satu sha’ makanan, atau satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atau sha’ kurma basah, atau satu sha’ gandum basah. Kami terus melakukan hal itu sehingga Mu’awiyah datang kepada kita di Madinah.

Muawiyah berkata: Saya melihat bahwa dua mud makanan Syam sama dengan satu sha’ kurma, lalu orang-orang melakukan seperti apa yang dilakukannya (Hadis riwayat Jamaah). 

Ulama berbeda pendapat berapa takaran atau ukuran satu sha’ tersebut. Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwa satu sha’ sama dengan empat mud, satu mud sama dengan dua penuh dua telapak tangan. Barangsiapa yang berbuat lebih terhadap kebajikan ini maka akan lebih baik baginya.

Hukum Membayar Zakat dengan Uang

Imam Ahmad telah bertanya kepada Imam ‘Atha tentang mengeluarkan beberapa Dirham untuk membayar zakat fitrah. Ia menjawab: Aku khawatir tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW. 

Dinyatakan kepadanya: Bukankah orang-orang berkata bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menetapkan harga untuk zakat ? Imam ‘Atha berkata: Mereka meninggalkan ucapan Rasulullah SAW dan mengambil pendapat seseorang.

Selanjutnya, Ibnu Umar berpendapat bahwa membayar zakat dengan uang itu bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW. Dan ini juga pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i, dan Ibnu Hazm.

Sementara itu, Imam At-Tsauri, Imam Abu Hanifah, Umar bin Abdul Aziz dan Imam Hasan Al-Bashri berpendapat boleh hukumnya membayar zakat dengan uang atau mengeluarkan harganya. 

Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib berkata: Tidak mengapa dikeluarkan beberapa Dirham untuk zakat fitrah. Abu Ishaq berkata: Aku mendapatkan orang-orang membayar zakat fitrahnya pada bulan ramadan beberapa Dirham seharga makanannya.

Ibnu Munzir mengemukakan bahwa kebolehan mengeluarkan atau membayar zakat fitrah dengan uang atau harga karena para sahabat Nabi memperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan setengah sha’ gandum karena dianggap sama nilanya dengan satu sha’ kurma, sehingga Muawiyah berkata “Saya melihat bahwa dua mud gandum di Syam senilai dengan satu sha’ kurma.”

Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwa apa bila makanan pokok dianggap lebih utama dan bermanfaat baginya maka tentu menyerahkanan makanan pokok lebih utama namun apabila dengan menyerahkan uang lebih banyak manfaatnya maka menyerahkan uang akan lebih utama.

Dan ini adalah pendapat yang kami sarankan untuk diambil sebagai titik temu perbedaan pendapat antara yang menyatakan boleh membayar zakat dengan uang dan yang tidak membolehkannya.

Golongan-Golongan Penerima Zakat Berdasarkan QS. At-Taubah

1. Fuqara’ dan Masakin

Kata Fuqara’ adalah bentuk jama’ dari kata faqir yaitu orang yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan atau mempunyai pekerjaan tetapi penghasilannya sangat kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi setengah dari kebutuhannya.

Masakin adalah bentuk jama’ dari kata miskin yaitu orang-orang yang mempunyai kekayaan melebihi dari yang dipunyai orang fakir atau orang yang mempunyai pekerjaan dan penghasilannya hanya bisa menutupi setengah lebih sedikit dari kebutuhannya.

Untuk fakir diberikan zakat lebih besar ketimbang yang miskin, tujuannya agar dengan zakat itu dapat digunakan untuk mendapatkan pekerjaan atau membuka usaha sehingga dengan zakat itu diharapkan ia tidak lagi fakir. 

Jadi, tidak dibenarkan syariat Islam, zakat fitrah itu dibagi rata. Panitia atau Amil zakat wajib memperhitungkan besaran zakat yang diberikan pada mereka sehinga mereka tidak terzalimi tetapi tercukupi kebutuhannya.

Sebagian ahli fikih ada yang memasukan orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan beribadah tetapi tidak bekerja walau mampu bekerja dikategorikan fuqara. Tetapi pendapat ini dibantah mayoritas ulama.

2. Amil Zakat (Pengelola)

Amil adalah para pekerja yang diserahi oleh penguasa atau penggantinya untuk mengambil harta zakat dari manusia, mengumpulkan, menjaga dan memindahkannya. 

Mereka ini diberi zakat walaupun kaya karena mereka telah mencurahkan tenaganya untuk kepentingan orang Islam. Di Indonesia, pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan sebagian dikelola oleh lembaga zakat milik swasta atau organisasi masyarakat Islam. 

Ketentuan pengelolaan zakat telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Untuk membantu BAZNAS dalam melaksanakan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat dibantu LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Pembentukan LAZ wajib izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, izin pembentukan LAZ diberikan apabila memenuhi syarat:

Terdaftar sebagai organisasai kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial, kemudian berbentuk lembaga berbadan hukum, mendapat rekomendasi dari BAZNAS, memiliki pengawas syariat, memiliki kemampuan teknis administrasi dan keuangan, bersifat nirbala, bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.

Dalam pasal 11 undang-undang tersebut dijelaskan syarat amil zakat yaitu: warga negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, berusia minimal empat puluh tahun, sehat jasmani dan rohani. 

Tidak menjadi anggota partai politik, memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat serta tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun.

Pembentukan Amil zakat wajib atas izin penguasa atau pejabat pemerintah setempat. Jadi, tidak boleh Amil zakat itu orang yang tidak memiliki izin dari penguasa atau pejabat atau pemerintah (ilegal)

Menjelang akhir Ramadan, banyak sekali panitia Amil zakat yang muncul secara mendadak, menjamur tetapi tidak memiliki izin dari pemerintah. Orang yang akan ditunjuk sebagai Amil zakat harus disumpah terlebih dahulu, sumpah Amil zakat, sumpah Amil Zakat sebagai berikut:

“Demi Allah SWT, saya bersumpah: bahwa saya akan memenuhi tugas dan kewajiban saya sebagai Amil Zakat dengan sebaik-baiknya sesuai dengan syariat Islam dan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Alqur’an, Sunah, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."

"Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan wewenang akan bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, adil, dan cermat demi suksesnya pengelolaan zakat nasional, tujuan pengelolaan zakat, serta mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas kepentingan pribadi atau golongan” (Pasal 5 ayat 5 Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Kode Etik Amil Zakat.  

Selain itu, Amil zakat yang dipilih wajib hukumnya menguasai hukum zakat. Para ulama juga tidak menyukai Amil zakat yang diangkat seluruhnya saling memiliki ikatan keluarga atau kerabat, tujuannya adalah agar Amil zakat harus bersifat netralitas, tidak diskriminatif, profesionalisme dan bermoral tinggi.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Kode Etik Amil Zakat. Para ulama  juga mensyaratkan bahwa Amil zakat harus kaum laki-laki. Pelanggaran terhadap Peraturan Nomor 1 Tahun 2018 ini dapat dilaporkan kepada BAZNAS untuk dilakukan sidang kode etik.

Dalam menjalankan tugasnya, Amil zakat wajib mendistribusikan zakat berdasarkan syariat Islam sesuai Pasal 25 undang-undang tersebut. 

Dalam penyaluran zakat, Amil zakat harus berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan dan kewilayahannya dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat

Jadi Amil zakat tidak boleh memberikan zakat kepada Mustahik dengan berdasarkan prinsip sesuka hati atau kehendak hawa nafsu semata. Ia harus cermat, teliti dan melakukan observasi dan studi analisis terhadap siapa yang berhak dan berapa besaran yang akan diberikan kepada masing-masing Mustahik.

Jika Amil zakat melalaikan tugasnya sehingga ia melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah dan/atau dana sosial lainnya yang ada dalam pengelolaannya dan/atau ia dengan sengaja bertindak selaku Amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang maka dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah (Lihat Pasal 37, 38, 39, 40, 41 Undang-Undang Pengelolaan Zakat).

Berapa bagian buat Amil zakat? Yusuf Al Qaradhawi dan para ulama menyatakan bahwa hendaklah Amil zakat diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga terlalu besar. 

Di Indonesia, bagian untuk Amil zakat sebesar 12,5% atau 1/8 dari penerimaan dana zakat (Pasal 8 Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Tahunan Badan Amil Zakat Nasional, Badan Amil Zakat Profinsi dan Badan Amil Zakat Kabupaten/Kota).

Disini perlu ada sikap kejujuran para Amil zakat karena jika mereka tidak jujur, Nabi SAW memberikan ancaman bagi mereka. Masyarakat juga harus mengawasi jalannya pengelolaan zakat. 

Zakat yang terkumpul dan penyalurannya harus dapat diakses masyarakat luas, terbuka, dan peroses penyalurannya dapat diketahui, dan disinilah perlunya Amil zakat memiliki audit manajemen keuangan. 

Namun yang terjadi kebanyakan banyak kekeliruan yang dilakukan Amil zakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah pemersatu umat Muslim dan pemerintah harus ikut serta mengawasi jalannya pedayagunaan zakat.

3. Mualaf

Mualaf yaitu orang yang baru masuk Islam setelah dibujuk hatinya untuk masuk Islam oleh keluarga, kaumnya ataupun para tokoh. Para ulama berbeda pendapat apakah Mualaf diberikan zakat fitrah atau tidak. 

Ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Mazhab Ibadiyah berpendapat hukum kebolehan Mualaf menerima zakat telah dihapuskan (naskh) setelah Rasulullah SAW wafat. 

Sebagian ulama membolehkan Mualaf menerima zakat tetapi dengan syarat jika dikawatirkan tidak ada orang yang melindunginya setelah masuk Islam dan/atau  ia mendapat ancaman atau intimidasi dari keluarga ataupun lingkungannya tinggal.

4. Riqab (Hamba Sahaya)

Pada saat ini tidak ada lagi perbudakan/hamba sahaya seperti era Rasulullah SAW yang ada perbudakan modern yaitu orang Muslim yang menjadi tawanan yang berada di pihak orang kafir atau ia ditawan oleh majikannya atau tuannya untuk bekerja dengan dipaksa.

Dan ia tidak boleh beribadah atau membatasinya dalam beribdah, atau ia mengalami penyiksaan oleh majikannya dan ia tidak dapat melepaskan diri darinya maka orang seperti ini dapat dikategorikan Riqab yang wajib menerima zakat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan.

5. Gharim (Orang yang Berutang)

Gharim adalah orang yang berutang dan tidak digunakan untuk bermaksiat seperti utang menafkahi dirinya, anak-anaknya dan istrinya. Gharim diperbolehkan menerima zakat selama utangnya itu bukan karena bermaksiat. 

Dalam kitab “Minhal” disebutkan bahwa: orang yang mempunyai utang untuk mendamaikan sesama manusia itu bisa  mengambil zakat untuk membayar sesuai dengan utangnya, walaupun ia orang kaya. Demikian itu sebagai penghargaan terhadap ahlak mulia.

6. Ibnu Sabil

Ibnu Sabil adalah orang yang terhenti dalam perjalannya, mereka tidak mempunyai harta lagi untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga yang sedang berpergian bersamanya. 

Mereka itu diberikan zakat untuk memenuhi kebutuhan dalam perjalannya, walaupun pada dasarnya di daerah asal mereka termasuk orang kaya. Mereka itu diberi zakat sekedar untuk kebutuhanan makanan, pakaian dan transportasi pulang sampai kedaearahnya.

Yusuf Al Qaradhawi  memasukan ketegori Ibnu Sabil adalah orang-orang dipaksa meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan harta miliknya, karena dikuasai orang-orang zalim yang memperbudak dari penguasa kafir atau serupa. 

Mereka tersebut ada yang lari dari negerinya karena mempertahankan agama dan kemerdekannya, yang menyebabkan mereka terhalang dari harta yang berada di tanah airnya, walapun harta itu tetap atas namanya di bank atau di bawah pengawasannya.

7. Fi Sabilillah

Fi Sabilillah adalah salah satu dari kelompok delapan yang berhak menerima Zakat sebagaimana yang terkandung dalam QS. At-Taubah ayat 60. Makna fi sabilillah dalam QS. At-Taubah tersebut adalah orang yang semata-mata berjihad. 

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hazm mendefinisikan fi sabilillah disitu sebagai orang yang berperang. Ibnul Jauzi menyatakan bahwa kalimat sabilillah ini digunakan untuk jihad karena ia merupakan jalan berperang dalam menegakan agama Islam.

Sementara itu, para Ulama kontemporer telah memperluas makna fi sabilillah saat ini. Imam Mustafa Al-Maraghi berpendapat sabilillah adalah sarana untuk menuju keridhaan Allah dan pahala-Nya. 

Maksudnya semua kepentingan umat Islam secara umum untuk menegakan negara dan agama bukan untuk pribadi. Contohnya, orang yang melakukan pengamanan perjalanan Haji dan pengadaan air.

Kemudian, Muhammad Rasyid Ridha berpendapat, fi sabilillah mencakup semua kepentingan syar’iyah secara umum yang berkenaan dengan masalah agama dan negara, yang termasuk dalam hal ini adalah orang yang mendirikan rumah sakit, membangun jalan dan parit-parit, orang yang menyebarkan agama Islam. 

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwa sesungguhnya jihad itu bisa dilakukan dengan ilmu, lisan atau tulisan dan kadangkala bisa dilakukan dengan bentuk pemikiran, pendidikan, sosial, keagamaan, politik, usaha menegakan hukum-hukum Islam.

Kepada Siapa Zakat Fitrah Itu Diberikan ?

Ibnu Rusyd berkata: para ulama telah sepakat bahwa zakat fitrah hanya dibagikan kepada fuqara dan Miskin, berdasarkan sabda Nabi Muhammd SAW “cukupkanlah mereka”. 

Imam Syafi’i berpendapat bahwa wajib menyerahkan zakat fitrah kepada golongan yang berhak menerima zakat yaitu sebagaimana yang dinyatakan dalam QS .At-Taubah ayat 60 dan mereka wajib dibagi dengan rata. 

Ibnu Hazm berkata: Apabila zakat fitrah dibagikannya secara sendiri maka gugurlah bagian petugas karena memang tidak ada, gugurah bagian Mualaf.

Pendapat yang mewajibkan mengkhususkan zakat fitrah hanya diberikan kepada fakir dan miskin adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah, Imam Hadi. 

Menurut Mazhab Maliki: “sesungguhnya zakat fitrah itu hanyalah diberikan kepada golongan fakir dan miskin, tidak kepada petugas zakat, tidak pada golongan mualaf, tidak untuk orang yang berutang, tidak pula pada ibnu sabil dan fi sabilillah. Apabila di suatu negara tidak ada orang fakir maka dipindahkan ke negara tetangga dengan ongkos dari orang yang mengeluarkan zakat bukan dari zakat.

Imam Ibnul Qayyim berpendapat: “Pengkhususan zakat fitrah itu hanyalah diberikan kepada golongan fakir dan miskin saja karena zakat fitrah merupakan hadiah dari Nabi SAW dan tidak pernah membagikan zakat fitrah sedikit-dikitnya pada golongan delapan, tidak pernah pula menyuruhnya, tidak dilakukan oleh seorang pun dari sahabat Nabi SAW.”

Jadi, pendapat mana yang kita pilih ? pendapat yang dipilih adalah pendapat mayoritas ulama yang menyebutkan bahwa zakat fitrah didahulukan atau diutamakan diberikan kepada orang-orang yang fakir dan miskin karena berdasarkan sabda Nabi SAW: “Cukupkanlah mereka”. 

Menurut pendapat yang sahih yang dipegang oleh sebagian besar Fuqaha bahwa bagi seorang Muslim boleh menyerahkan zakat fitrahnya pada seseorang atau beberapa orang fakir dan miskin jika jumlah zakat fitrah yang terkumpul banyak.

Selanjutnya, para ulama telah bersepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada orang kafir yang menentang Islam, orang murtad, orang fasik yang merusak Islam dengan kefasikannya, orang yang kaya, orang yang tidak mau bekerja walaupun ia sanggup bekerja atau berusaha.

Seorang suami tidak boleh menyerahkan zakat fitrahnya kepada istrinya dan/atau anaknya dan/atau orangtuanya karena kalau ia melakukannya maka sama saja ia menyerahkan kepada dirinya sendiri.

Selanjutnya, mayoritas ulama berpendapat bahwa: dimakruhkan memberikan zakat fitrah kepada fakir dan miskin di daerah lain sementara didaerahnya sendiri masih banyak fakir dan miskin. 

Para Ulama berbeda pendapat boleh atau tidaknya  mengalihkan dana zakat fitrah untuk pembangunan Masjid, madrasah ? Yang menyatakan tidak boleh karena berdasarkan dalil QS. At-Taubah ayat 60 dan yang menyatakan boleh karena mendasarkan pada ijtihad sejumlah Ulama yang memperluas makan fi sabilillah. 

Zakat harus dibagikan dengan perioritas utama adalah kaum Fakir dan Miskin sesuai QS. At-Taubah ayat 60, selain itu kaum fakir dan miskin lebih banyak membutuhkan bantuan sedangkan pembangunan Masjid bisa dilakukan dengan infak, sedekah, patungan dana dari sejumlah Masjid yang berdiri di wilayahnya.

Hendaklah zakat fitrah dibagikan dengan bagian yang besar kepada fakir dan miskin sesuai syariat Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, jangan sampai bagian untuk Amil dan golongan yang lain lebih besar ketimbang bagian untuk fakir dan miskin karena itu menyalahi syariat Islam dan UU tentang pengelolaan zakat. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala perbuatan dan tindakan kita selama di dunia.

Kedudukan Niat dan Ijab Qabul, Salaman dalam Serah Terima Zakat

Mayoritas Mazhab Fikih berpendapat bahwa niat itu merupakan syarat dalam mengeluarkan zakat, karena zakat itu adalah ibadah, sebab ibadah tidak sah kecuali dengan niat. 

Yang dimaksud dengan niat adalah si Muzaki itu meyakini bahwa zakat yang dikeluarkan itu zakat harta jika berzakat harta dan berniat zakat fitrah jika untuk zakat fitrah, dan ia juga berniat zakat siapa saja yang ia bayarkan (anak, istri dan orangtua). Tempat niat itu adalah di dalam hati. Kapan niat itu dilakukan ?

Ulama berbeda pendapat masalah ini, Imam Syafi’i membolehkan meniatkan membayar zakat sebelum meberikannya pada Amil Zakat dan boleh juga diniatkan saat memberikannya pada Amil Zakat. 

Apa hukumnya melakukan ijab qabul saat serah terima zakat ? pengucapan lafaz ijab qabul yang diakhiri dengan salaman itu sebenarnya tidak wajib dan tidak pula sunnah.

Kesimpulan dan Saran:

Zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam. Zakat dibagi atas zakat mal (harta) yang tujuannya untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan agar membersihkan jiwa dari sifat kikir, rakus, tamak, serta membangun ekonomi masyarakat Muslim.

Zakat Fitrah tujuannya adalah membersikan diri dari noda-noda keburukan saat berpuasa di bulan Ramadan. Sasaran penerima zakat adalah fakir, miskin, amil zakat, ibnu sabil, fi sabilillah, orang yang berutang (gharim), riqab (hamba sahaya), Mualaf. 

Mayoritas Ulama menyatakan penerima zakat fitrah dikhususkan pada fakir dan miskin. Saran pelajari kembali Islam secara lengkap.

Demikian selamat membaca dan terima kasih

Penulis sadari bahwa tulisan ini belum sempurna oleh karenan itu penulis menerima kritik dan saran yang beretika, berakhlak dan bermoral terhadap isi tulisan ini. Tulisan ini merupakan kumpulan tulisan penulis yang diterbitkan di www.kuliahalislam.com dan sejumlah media.

Penulis berharap tulisan ini menjadi salah satu pedoman dalam memahami hukum zakat khususnya zakat fitrah sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam pengelolaan dan pemahaman tentang zakat fitrah  yang dilaksankannya di bulan Ramadan. 

Penulis hanyalah menuliskan dan yang memutuskan melaksanakan atau tidak adalah pembaca. Semoga Allah menerima amal ibadah puasa ramadan dan zakat kita dan semoga Allah menyatukan hati kita semua dalam mempersatukan umat Muslim, menyatukan hati kita dalam berbuat kebaikan dan menerapkan syariat Islam khususnya berkaitan dengan hukum zakat ini.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال