Konfigurasi Politik Demokratis dan Otoriter dalam Pandangan Prof. Mahfud MD

Konfigurasi Politik Demokratis dan Otoriter dalam Pandangan Prof. Mahfud MD

Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD adalah guru besar hukum tata negara dengan fokus perhatian pada bidang politik hukum yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 

Dalam disertasinya, Prof. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa istilah demokrasi merupakan istilah ambiguous, pengertiannya tidak tunggal sehingga berbagai negara mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. 

Amerika Serikat yang liberal dan Rusia yang totaliter sama-sama mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Kerap kali terjadi manipulasi terhadap konsep-konsep demokrasi.

Sehingga pemaksaan, penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di negara komunis dapat dianggap dosa kecil dan menurut mereka tetap harus dianggap demokratis karena ditujukan untuk menyelamatkan rakyat.

Carter dan Herz menyatakan demokrasi liberal secara institusional ditandai dengan adanya pembatasan-pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok.

Dengan menyusun pergantian pemimpin secara berkala, tertib dan damai melalui alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efektif. Demokrasi juga memberikan toleransi terhadap sikap yang berlawanan.

Pembatasan terhadap wewenang perintah menyebabkan pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi tertentu kehidupan warganya yang berarti pula bahwa pegawai pemerintah harus tunduk pada rule of law

Pencalonan dan pemilihan lembaga-lembaga perwakilan politik berlangsung fair dan lembaga-lembaga itu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk membahas persolan-persoalan, mengkritik dan mengkristalisasikan pendapat umum. 

Kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul merupakan hak politik dan sipil yang paling dasar.
Sebaliknya totaliterisme menurut Carter dan Herz ditandai oleh dorongan negara untuk memaksakan persatuan.

Usaha menghapus oposisi terbuka dengan suatu pemimpin yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah dan pemimpin tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elit yang kekal.

Ciri menonjol totaliterisme modern menurut Dahrendorf adalah tumpang tindihnya pola-pola dan struktur sosial yang monisme. Monisme totaliter ditemukan pada ide bahwa pertentangan harus dilenyapkan, satu masyarakat yang homogen dan seragam adalah keadaan dari kejadian-kejadian yang sangat diinginkan. 

Ide semacam ini berbahaya karena terdapat premis-premis sosiologis yang keliru. Di dalam negara demokrasi sering timbul gejala-gejala otoritarianisme berkenaan dengan seringnya pemerintah melakukan tindakan yang sepenuhnya ekonomis. 

Pemerintah tidak bersifat mewakili secara sama dalam proses politiknya atau bersifat intervensif bagi kehidupan rakyatnya dengan pembatasan-pembatasan tertentu secara aktif memainkan peranan dalam kehidupan ekonomi, budaya dan sosial. 

Apalagi banyak asumsi bahwa kecepatan laju pembangunan sering diperlambat oleh sistem politik yang pluralistik (demokratis). Begitu juga negara-negara yang diidentifikasi sebagai negara dengan rezim otoritarian tidaklah dapat diidentifikasi secara tunggal karena tidak dapat disamakan antara yang satu dengan yang lainnya. 

Tampilan konfigurasi politik di dalam suatu negara dapat bergerak sepanjang garis kontinu yang menghubungan dua kutub dalam spektrum politik yaitu kutub demokrasi dan kutub otoriter.

Ada kalanya otoritariansme yang dianut oleh suatu negara didasarkan pada alasan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya sehingga kepentingan rakyat menjadi perhatian utama. Tujuan negara otoriter seperti ini sebenarnya sama dengan tujuan negara demokrasi dalam melindungi kepentingan rakyatnya.

Hukum Otonom dan Hukum Menindas

Dalam buku yang berjudul Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Nonet dan Selznick menjelaskan antara hukum dan penindasan. 

Masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas melalui hukum berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumber daya pada elit pemerintah. 

Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat pada status quo. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan. 

Penggunaan kekuasaan itu bisa melahirkan karakter hukum yang menindas maupun karakter hukum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang bersangkutan.

Hukum otonom berbeda dengan hukum menindas. Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur. Elit penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur.

Konfigurasi Politik Menurut Prof. Mahmud MD

Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. 

Konfigurasi politik demokratis adalah susunan politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. 

Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik.

Konsep konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. 

Konfigurasi ini ditandai dengan dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pemimpin negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta di balik semua itu ada suatu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.

Untuk mengkualifikasikan apakah konfigurasi politik itu demokratis atau otoriter, indikator yang dipakai adalah bekerjanya tiga pilar demokrasi yaitu peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan pers dan peranan eksekutif. Pada konfiguarasi politik otoriter yang terjadi adalah sebaliknya.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال