Tiga Cara Untuk Menetapkan Awal Bulan Ramadan Menurut Yusuf Al Qaradhawi

KULIAHALISLAM.COM - Prof. Dr Yusuf Al Qaradhawi menyatakan apabila Allah telah mewajibkan puasa Ramadan yaitu bulan qamariyah maka sudah menjadi keharusan menetapkan masuknya bulan itu dengan munculnya hilal (tanggal satu) di ufuk. 

Hilal ini adalah satu tanda indrawi yang menentukan masuknya bulan. Demikian juga selesainya bulan Ramadan ditandai dengan keluarnya hilal untuk bulan Syawal. Bagaimana cara menetapkan munculnya hilal ?

Kondisi umat Islam waktu itu dalam keadaan yang tidak dapat menulis dan tidak dapat berhitung. Maka dalam keadaan yang demikian Rasulullah SAW memberikan cara yang sederhana yaitu rukyatul hilal (melihat bulan) dengan mata kepala. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan sebaiknya berbukalah kalian apabila melihat hilal, jika tidak tampak atas kalian maka sempurnakanlah jumlah hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari," (H.R Abu Daud, Tirmidzi, Musnad Ahmad).

Rasulullah SAW juga bersabda: "Jangan kalian berpuasa sebelum melihat hilal, sebaliknya jangan kalian berbuka sebelum melihat hilal juga. Jika mendung menyelimuti kalian maka perkirakanlah hilal itu," (H.R Bukhari-Muslim). 

Syekh Yusuf Al Qaradhawi berkata “ini adalah suatu rahmat Allah bagi manusia yang tidak pandai baca dan tulis dan tidak pandai berhitung." 

Tiga cara menetapkan bulan Ramadan. Sejumlah hadis sahih menetapkan untuk menentukan masuknya Ramadan adalah dengan salah satu dari tiga cara: pertama melihat hilal, kedua menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, dan ketiga menetapkan adanya hilal.

Dengan Cara Rukyatul Hilal

Ibnu Umar RA berkata: “Orang-orang melihat hilal (bulan), kemudian aku (Ibnu Umar) mengabarkan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa aku juga melihatnya. Maka esok harinya Rasulullah SAW menunaikan ibadah puasa kemudian menyuruh agar masyarakat berpuasa ramadan.”

Berdasarkan hadis itu, para ulama berbeda pendapat apakah rukyah dapat dianggap sah jika hanya disaksikan seseorang yang adil ataukah harus disaksikan beberapa orang.

Ada juga Ulama yang berpendapat bahwa untuk menentukan hilal cukup dengan kesaksian dua orang laki-laki yang adil, akan tetapi apabila cuaca sangat cerah maka kesaksian satu orang laki-laki yang adil saja dapat diterima. 

Imam Ahmad Al Qadhi ‘Iyadh berpendapat bahwa tidak ada ketentuan atau jumlah tertentu berapa banyak orang yang harus melihat hilal, jika seseorang laki-laki yang adil dan bersaksi melihat hilal maka kesaksiannya dapat diterima, dan inilah pendapat yang sahih. Jadi, kaum Muslimin berkewajiban melihat hilal pada hari ke-29 pada bulan Sya’ban ketika matahari mulai tenggelam.

Cara Kedua Menentukan Awal Ramadan

Syekh Yusuf Al Qaradhawi berkata: cara kedua untuk menentukan awal Ramadan adalah dengan menyempurnakan jumlah hari Sya’ban menjadi 30 hari baik cuaca cerah maupun buruk. 

Apabila orang sudah berusaha melihat hilal pada tanggal 29 bulan Sya’ban namun tidak seorang pun melihat hilal maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.

Cara ini mempunyai kelemahan, karena perhatian terhadap masuknya bulan terfokus pada tiga bulan saja yaitu bulan Ramadan, bulan Sya’ban untuk menetapkan hari terakhir dari bulan tersebut.

Dan bulan Dzulhijjah untuk menetapkan hari Arafah dan sesudahnya. Padahal sebaiknya umat Islam, terutama Ulil Amri senantiasa memperhatikan dan mengadakan pengamatan dalam menetapkan awal dan akhir semua bulan.

Menentukan Awal Ramadan Dengan Metode Hisab

Firman Allah SWT: ا الْقَادِرُونَ Lalu kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. (al-Mursalat /77 : 23).

Dalam Hadis disebutkan : 

صوموا لرؤيته ـ أي الهلال ـ وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له

"Berpuasalah kalian dengan melihat (bulan) dan berbukalah (berlebaran) dengan melihat bulan, jika terhalang oleh kalian melihat bulan maka taqdirkanlah."

Rasulullah SAW bersabda:  "Jika dimendungkan atas kalian, maka perkirakanlah baginya," (H.R Mutafaqun Alaih). Mithraf  bin Abdullah, termasuk tokoh Tabi’in, Abu Al Abbas bin Suraij, Ibnu Qutaibah dan lainnya mengatakan makna “faqduruu lahu” ialah perkirakan hilal itu dengan berdasarkan hisab. 

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan mayoritas Ulama Salaf dan Khalaf berkata “Maksud faqduruu lahu” ialah sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Akan tetapi, Imam Abu Al Abbas bin Suraij berbeda dengan pendapat mayoritas Ulama di atas. Bahkan Ibnu Al Arabi menukil pendapat Imam Abu Al Abbas sebagai berikut: Sabda Nabi Muhammad SAW tentang “faqduruu lahu” itu diperuntukan bagi orang yang dianugerahi ilmu falak  (astronomi).  

Perbedaan khithab (sasaran) lantaran perbedaan situasi dan kondisi. Ada asas berbunyi “Berubahnya fatwa-fatwa karena perubahan zaman, tempat dan keadaan.”

Hisab yang merupakan bagian disiplin ilmu falak (astronomi) pernah mengantarkan umat Islam mencapai kebudayaan yang demikian tinggi dan pada zaman sekarang disiplin ilmu tersebut telah mengantarkan manusia mampu menjelajahi bulan jadi ilmu falak bukanlah ilmu nujum (ramalan) yang sangat dicela oleh Islam.

Ilmu falak sekarang sudah dipelajari di berbagai perguruan tinggi dan dibantu oleh teropong bintang (teleskop), sehingga sekarang menjadi keputusan dunia internasional bahwa  hisab dan rukyatul hilal sama-sama akurat. 

Abu Al Abbas bin Suraij berpendapat bahwa seseorang yang mengerti ilmu hisab bila mengetahui bahwa besok tanggal 1 Ramadan maka ia wajib berpuasa karena ia tahu berdasarkan dalil.

Al Qadhi Abu Thayib berpendapat sama dengan Abu Al Abbas bin Suraij.  Sebagian Ulama lain membolehkan bertaqlid pada orang yang dipercaya. Sebagian besar Ulama saat ini menyatakan menetapkan hilal berdasarkan hisab merupakan disiplin ilmu falak yang akurat. 

Dalam Majalah “Al-Manar” ketika menafsirkan ayat-ayat puasa, Syekh Muhammad Rasyid Ridha mengajak umat Islam untuk mengamalkan ilmu hisab qath’i. 

Syekh Yusuf Qaradhawi menyatakan bahwa dewasa ini, ilmu falak modern dibantu teropong bintang (teleskop) dan alat-alat hitung modern. 

Di antara kesalahan besar yang dialami ulama-ulama di masa sekarang adalah mereka berkeyakinan ilmu hisab adalah hisab yang ada di kalender yang didalamya terdapat ketentuan waktu shalat, awal hari, qamariyah yang di nisbatkan pada Zaid dan Amru dan masyarakat beranggapan bahwa ketentuan waktu shalat itu dinukil dari kitab-kitab klasik yang ditulis Zaid dan Amru.

Adapun yang kami maksud adalah ilmu falak modern yang melalui penelitian yang cermat dan dibantu dengan teknologi yang canggih. Sejak beberapa tahun silam kami (Yusuf Qaradhawi) sudah menganjurkan agar mengamalkan hisab falak qath’i paling tidak dalam menentukan awal bulan.

Imam Taqiyuddin As Subki berpandangan bahwa jika hisab sudah menyatakan tidak mungkin dapat melihat hilal maka seorang hakim harus menolak kesaksiaan orang-orang yang mengaku menyaksikan hilal, demikian dalam fatwanya.  

Sumber : Prof Yusuf Qaradhawi dalam karyanya “Fiqush Shiyam”.                                                                                                            

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال