Benarkah Buya Hamka Berakidah Asy'ariyah?

Sumber gambar: tangkapan layar Kanal YouTube Kompas TV

KULIAHALISLAM.COM - Memahami ucapan Buya Hamka sebagai Ketua MUI dalam harian Kompas: Benarkah klaim bahwa Buya Hamka berakidah Asy'ariyah.

Orang-orang Asy'ariyah mengklaim bahwa Buya Hamka berakidah Asy'ariyah dengan berpijak pada satu perkataan Buya Hamka yang di muat dalam harian Kompas.

Perkataan Buya Hamka di Harian Kompas

Ketika kami dengan Kiai H. Masykur dan Rusydi Hamka mendengarkan Adzan Maghrib di salah satu masjid, jelaslah bahwa setelah mengucapkan dua kali Asyhadu alla llaha illal-lah dan dua kali Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.

Dan diiringi lagi dengan mengucapkan Wa Asyhadu anna 'Aliyyan Waliullah, Inilah adzan yang diucapkan oleh golongan Syi'ah di tempat yang mereka bebas lakukan. Sudah sama kita ketahui, bahwa menunggu kedatangan Imam Mahdi atau menunggu kedatangan.

Imam yang ghaib adalah kepercayaan yang prinsip bagi kaum Syi'ah, walaupun dia dari golongan manapun. Bukan Syi'ah, jika tidak percaya ini.

Kita di Indonesia ini adalah golongan Sunni. Jelasnya ialah bahwa dalam menegakan 'Akidah, kita menganut paham Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidiy. 

Di dalam amalan Syari'at Islam, kita pengikut mazhab Syafi'i terutama dan menghargai juga ajaran-ajaran dari ketiga Imam yang lain (Hanafi, Maliki, dan Hambali). Oleh sebab itu bagi kita, kepercayaan kedatangan Imam Mahdi Al-Muntazar ke muka bumi ini bukan termasuk kepercayaan yang prinsipil.

Ibnu Khaldun telah menulis panjang lebar dalam kitabnya "Muqaddimah", bahwa hadis-hadis tentang Imam Mahdi Al-Muntazar itu adalah hadis-hadis yang lemah yang tidak dapat dipercaya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Ilmu riwayat dan dirayat Hadis. 

Oleh karena itu di kalangan kaum Sunni, mempercayai akan datangnya Imam Mahdi Al-Muntazar itu tidak termasuk 'Akidah. (Artikel Harian Kompas Bertajuk: Majelis Ulama Indonesia, Bicaralah!, 11 Desember 1980).

Tiga Penjelasan Perkataan Buya Hamka

Pertama, Buya Hamka rahimahullah berbicara tentang keumuman mayoritas umat Islam Indonesia, bukan tentang dirinya dan bukan tentang Muhammadiyah.

Darimana hal itu diketahui? Silahkan lihat kembali ucapan Buya Hamka berikut ini: "Kita pengikut mazhab Syafi'i terutama dan menghargai juga ajaran-ajaran dari ketiga Imam yang lain (Hanafi, Maliki, dan Hambali)."

Disini Buya Hamka menyebut "kita" sebagai pengikut mazhab Imam Syafi'i, padahal diketahui dengan pasti tanpa keraguan bahwa Muhammadiyah tidaklah bermazhab Imam Syafi'i (bahkan tidak bermazhab salah satu dari mazhab yang empat).

Ormas Persis (Persatuan Islam) tidaklah bermazhab Syafi'i, begitu juga ormas Al Irsyad Al Islamiyah juga tidaklah bermazhab Syafi'i dan kita semua pun mengetahui bahwa Buya Hamka adalah ulama Muhammadiyah.

Ini adalah qarinah (petunjuk) terkuat bahwasanya yang dimaksud oleh Buya Hamka adalah mayoritas umat Islam Indonesia karena beliau sendiri mewakili berbicara sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.

Fakta yang kita akui bersama bahwa Muhammadiyah itu tidak bermazhab Syafi'i merupakan petunjuk yang sangat kuat bahwa beliau dalam artikrl Harian Kompsa itu memang tidaj berbicara tentang diri sendiri apalagi berbicara tentang Muhammadiyah.

Maka sebagaimana ucapan Buya Hamka: "Kita penhikut mazhab Syafi'i" adalah tentang mayoritas umat Islam Indonesia. Demikian pula ucapa Buya Hamka "Jelasnya ialah bahwa dalam menegakan 'akidah, kita menganut paham Abu Hasan Al-Asy'ari." Hal itu juga tentang mayoritas umat Islam Indonesia.

Kedua, Buya Hamka punya sikap sendiri dan khusus dalam menyikapi Syi'ah Rafidhah, yakni beliau berusaha menututp sebaik mungkin dan menganggap tidak perlu memberitahukan ke dunia luar apalagi kepada kaum Syi'ah, tentang adanya pertikaian antara kaum tua dan kaum muda di Indonesia. 

Darimana itu diketahui? Dari cerita Buya Hamka itu sendiri dalam buku teguran suci dan jujur terhadap mufti Johor, yaitu Buya hamka mengaku kepada tokoh Islam Iran, bahwa di Indonesia dan di Asia tenggara itu seluruhnya bermazhab Syafi'i tanpa terkecuali.

Beluau tegas menjelaskan kepada kita bahwa beliau memang sepatutunya menyembunyikan pertikaian kaum tua dan kaum muda yang terjadi di Indonesia.

Bahkan tentang ulama dari ormas Persisi yang sangat terkenal yaitu Kiai Haji Ahmad Hasan Bandung yang jelas-jelas mengaku tidak bermazhab kepada mazhab manapun, Buya Hamka tetap menyebut beliau itu sebagai pengikuy Imam Syafi'i dalam kerangka bertauriyah.

Buya Prof. Dr. Hamka rahimahullah berkata:

"Dalam perjumpaan itu pula saya dapat bertemu dengan asy-Syekh Sayyid Muhammad Syekh al-Islam dan mufti asy-Syafie pada kerajaan Iran (Parsi). Almaklum bahwa kerajaan Iran adalah bermazhab resmi Syiah daripada Imamah Atsariyah. Samahah al-mufti itu bertanya kepada saya apa mazhab di negeri tuan. Saya menjawab "umumnya asy-Syafie!"

Muka beliau kelihatan gembira. Lalu dia bertanya, berapa semuanya? "Serta-merta saya menjawab, Indonesia 74 juta. Malaya 3 juta, di Siam 2 juta, di Filipina 3 juta, jumlah 82 juta." "Apa kata tuan?" Tanyanya pula. Saya ulangi sekali lagi, "Indonesia 74 juta, di Malaya 3 juta, di Siam 2 juta, di Filipina 3 juta, jumlah 82 juta!"

"Syafie semuanya?"

"Syafie semua," jawab saya.

"Masya Allah! Masya Allah! Kami yang bermazhab Syafie di daerah di Iran hanya kurang lebih 3 juta, semuanya bangsa Kurdi, saya orang Kurdi. Shah Iran mengangkat saya jadi mufti dari 3 juta kaum Muslimin di Kurdistan yang bermazhab Syafie."

Sangatlah terharu beliau mendengar jawaban saya itu. Hampir dia menangis kegirangan. Untuk menguatkan keterangan saya, lalu saya sambung pula "Cobalah samahatukum lihat kerajaan Saudi Arabia itu, as-Sayyid Abdulhamid al-Khatib. Ayahnya ialah orang Melayu, Indonesia. Jawi, Minangkabau, dia imam dan khatib mazhab asy-Sayfie di masjidil-haram di Mekkah!"

Ketika itu ada Sayyid Abdulhamid al-Khatib tidak jauh daripada kami. Mufti itu bertanya dengan tercengang, "Apakah beliau bukan orang Arab?"

"Sekarang dia orang Arab! Samahah al-mufti lebih tahu daripada saya bahwa kebangsaan Islam lebih tinggi daripada kebangsaan buatan sekarang!"

"Bilasyak! Bilasyak!" Kata beliau.

"Marilah kita datang kepada beliau!" kata saya pula.

"Marilah!" Jawab beliau dengan gembira.

"Tetapi sebelum pergi kepada beliau, saya akan peringatkan kepada tuan mufti dahulu satu hal."

"Apakah itu?" Tanya beliau.

"Mufti mengatakan tadi bahawa mazhab asy-Syafie adalah mazhab orang Kurdi, maka ketahuilah pulalah oleh samahah al-mufti bahwa ibu Abdulhamid al-Khatib itu adalah perempuan Kurdi, mazhab yang sama di antara orang Indonesia dengan Kurdi di Mekkah. Mempertemukan jodoh dua makhluk, dan zahirlah Abdulhamid al-Khatib."

Dengan sangat gembira asy-Syekhul Islam as-Sayyid Muhammad menemui as-Sayyid Abdulhamid al-Khatib. Sayalah yang memperkenalkan di antara mereka. Dan cerita saya ditambah dan dijelaskan lagi oleh as-Sayyid Abdulhamid al-Khatib. 

Beliau menggeleng-gelengkan kepala bahwa di negeri Timur yang jauh ada kaum semazhabnya 82 juta banyaknya. Di malam perpisahan, sehari sebelum kami bersurai dan akan pulang ke negeri masing-masing, beliau menjumpai saya dan berkata, "Dapatkah kiranya pemerintah Indonesia menjemput saya menziarahi negeri tuan?" Saya menjawab: "Akan saya ikhtiarkan, insya Allah."

Dan sampai di Indonesia saya bicarakanlah dengan Menteri Agama Kiai al-Haj Elias yang beliau itu daripada jemaah Nahdlatul Ulama (NU), perkumpulan Islam yang teguh memegang mazhab Syafi'i beliau menjawab, "Akan saya ikhtiarkan insya Alllah."

Barangkali ada orang akan bertanya, "Apakah Almarhum Tuan Hassan Bandung yang telah mengakui terus-terang tidak bermazhab termasuk juga dalam yang 82 juta itu?"

"Betapa tidak? Bukankah beliau berpegang dan berpendirian dengan pula Syafie Iiza Syah al-hadis fahuwa mazhabi?" Apakah saya mesti menjemur ikan busuk di tengah jalan, lalu saya katakan di luar negeri bahwa kami di Indonesia berpecah-belah? 

Bahwa kami di Malaya ada kaum-muda ada kaum-tua? Bahwa segolongan daripada kami sedang mengkafirkan yang lain? Bahwa segolongan daripada kami menuduh kaumnya merosak tiang-tiang Islam? Tidak.

Saya bukanlah katak di bawah tempurung. Bagaimana juga pun, semuanya adalah kaumku saya akan shalat menjadi makmum di belakang mufti Johor shahibul samahah awal fadhilah as-Sayyid Alwi bin Tahir al-Hadad dan di belakang Almarhum Tuan Hassan Bandung dan di belakang al-Ustaz Abu Bakar Asyaari dan di belakang al-Ustaz Fadhullah Suhaimi.

Pada hemat saya pada zaman sekarang adalah zaman menyatukan kekuatan. Dunia bukan surut ke belakang tetapi maju ke muka. Fahaman yang sempit dan hati yang penuh kebencian tidaklah dapat dibawa ke tengah medan. Dan saya pun takut mengkafir-kafirkan sesama Islam." (Buku Teguran Suci Dan Jujur Terhadap Mufti Johor, hal. 105-108).

Dengan adanya keterangan ini oleh Buya Hamka dari buku beliau rasanya sangat mudah dan tidak sulit sama sekali agar sampai tiba pada pemahaman bahwa ucapan Buya Hamka dalam Harian Kompas merupakan upaya beliau untuk menutupi pertikaian antara kaum muda Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad dll. Dengan kaum tua Nahdlatul Ulama, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dll. 

Sehingga beliau menyebut secara umum tentang umat Islam Indonesia itu berakidah Asy'ariyah dan berfikih Syafi'i. Padahal beliau sendiri tau tidak semuanya juga berakidah Asy'ari dan berfikih Syafi'i.

Tiga, dengan data-data yang jelas dari Buya Hamka tentang kecenderungan akidah beliau kepada Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Allamah Ibnul Qayyim Al Jauziyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rasanya panutan akidah Buya Hamka sudah jelas sekali seterang cahaya matahari.

Buya Hamka berkata mazhab yang dianutnya adalah mazhab salaf:

"Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Mazhab Salaf, yaitu Mazhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan Ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal akidah dan ibadah, semata-mata taslim artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi." (Tafsir Al-Azhar, Jilid 1, hal. 41).

Dan kata beliau, mazhab Salaf itulah mazhab yang juga dianut oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Allamag Ivnu Qayyim Al jauziyah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha.

"Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham salaf ini adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan pada zaman terakhir adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan terakhir sekali adalah Sayyid Rasyid Ridha. Ibnu Taimiyah sampai dituduh oleh musuh-musuhnya berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini." (Buku 1001 Soal Kehidupan, hal. 34-35).

Bahkan beliau juga membedakan mazhab Salaf itu dengan Mazhab Muktazilah dan Mazhab Asy'ariyah:

"Sebab itu, soal-soal seperti ini lebih baik jangan kita campurkan dengan pembicaraan Filsafat, sebagaimana perbincangan kaum Mu'tazilah dan Asy'ariyah di zaman dahulu. Mu'tazilah mengatakan bahwa mustahil Allah akan menyiksa orang yang beramal baik. Lalu kaum Asy'ariyah keberatan dan bertanya: "Mengapa kekuasaan Allah engkau batasi?"

Sebab itu di sini kita kemukakan saja Mazhab Salaf, Mazhab yang paling memuaskan hati yang beriman. Yaitu bahwa Allah tetap Maha Kuasa yang mutlak, dan rahasia hamba-hambaNya yang patut diberi ampun atau disiksa, Allah sajalah yang tahu. Dan terlalu sia-sia kalau kita berbicara lebih dari itu, sebab tempoh bisa terbuang karena terlalu memikirkan masalah Tuhan. Lalu tugas amal terlantar." (Buku Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, hal. 1734).

Belum lagi keterangan Buya Hamka lainya tentang sifat-sufat Allah yang diterima apa adanya, tentang kesyirikan tawassul kepada kubur-kubur, tentang kebid'ahan dalam tarekat-tarekat, belum lagi pujian setinffi lagi terhadap dakwah wahabiyah dll.

Masak masih belum jelas juga akidah Buya Hamka? Demikianlah adanya, Wallahu A'lam. 

Metodologi dan Teologi Manhaj Buya Hamka

Mengenai akidah (teologi) dan manhaj (metodologi) Buya Hamka bisa dibaca beberapa tulisan dibawah ini: 

Pertama, tauhid Buya Hamka: Termasuk Kesyirikan Adalah BerIstighatsah (memohon bantuan) atau bertawassul (menjadikannya perantara dalam berdo'a) kepada kuburan-kuburan baik Nabi ataupun orang saleh.

Kedua, tauhid Buya Hamka: Mazhab Salaf adalah menerima sifat-sifat Allah apa adanya sesuai Alquran dan sunnah dengan tanoa menyerupakanya dengan sifat-sufat makhluk.

Ketiga, kesaksian Buya Hamka: Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim adalah dua ulama ahli tasawuf yang memberantas tasawuf menyimpang dan mengembaliknya tasawuf ke pangkal tauhid.

Keempat, manhaj Buya Hamka dalam ibadah: wajib berzikir dan berdoa sesuai sunnah dan tegas menentang cara-cara bid'ah dalam berzikir dan berdoa.

Kelima, kesaksian Buya Hamka: antara Muhammadiyah, wahabi, dan mazhab Salaf.

Keenam, melawan lupa, ingat saat Buya Hamka murka kepada Bung Karno masalah tawasul: benarkaj istighatsah (Syirkiy) dan tawasul terhadap kuburan hanya masalah fikih.

Ketujuh, bongkar edisi lawas: adanya sebagian keaaksian Buya Hamka yang hilang tentang Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kedelapan, sebuah buku berjudul: Buya Hamka dan Manhaj Salaf: Wahhab dalam pandangan Buya Hamka meruntuhkan hoax bahwa Buya Hamka berakidah Asy'ariyah.

Kesembilan, kesaksian Buya Hamka: Wahhabi Adalah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Koreksi:

Mengenai pernyataan Buya Hamka yang tidak mempercayai kedatangan Imam mahdi, maka yang benar adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Majelis Tarjih berikut ini.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwa:

Imam asy-Syaukani berpendapat; “Hadis-hadis mengenai kedatangan al-Mahdi al-Muntazhar yang bisa diteliti sebanyak lima puluh. Di antaranya ada yang shahih, hasan, dan dha’if. 

Riwayat-riwayat ini mutawatir tanpa ada keraguan dan kerancuan di dalamnya. (Shadiq Hasan Khan dalam al-Idza’ah: 113-114 menukil dari al-Taudhih fi Tawatur Ma Ja’a fi al-Mahdi al-Muntazhar wa al-Dajjal wa al-Masih oleh Imam asy-Syaukani).

Berdasarkan keterangan di atas, kami berpendapat bahwa keyakinan terhadap al-Mahdi merupakan bagian dari keyakinan terhadap hal-hal ghaib adalah benar menurut hadis-hadis mutawatir ma’nawi. 

Akan tetapi, terkait dengan fenomena munculnya klaim-klaim dari pihak-pihak tertentu yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi, maka kami menyarankan agar umat Islam berhati-hati dan tidak mudah percaya pada klaim-klaim seperti tersebut di atas yang tidak jelas kebenarannya. Umat Islam hendaknya bersikap kritis dan terus mengkaji persoalan-persoalan seperti ini melalui sumber-sumber yang jelas, yakni al-Quran dan as-Sunnah. (fatwatarjih.or.id).

Kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi adalah Haq (kebenaran) dan ia adalah akidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال