Pluralisme Agama Dalam Timbangan Keyakinan Muhammadiyah


KULIAHALISLAM.COM - Secara etimologi, Pluralisme berasal dari kata 'Plural' yang berarti "majemuk atau berbilang". Dalam Oxford Dictionary Pluralism bermakna ganda: 

(a) the existence in one society of a number of groups that belong to different races or have different political or religious beliefs (keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi etnis, politik dan keyakinan agama dalam suatu masyarakat).

(b) the principle that these different groups can live together in peace in one society (suatu prinsip atau pandangan yang manyatakan bahwa kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat hidup dengan damai dalam suatu masyarakat).

Jika dilihat dari makna asal (etimologi) kata ini merujuk kepada sesuatu yang menyatakan dan mengakui adanya realitas kemajemukan dan keragaman unsur masyarakat yang hidup berdampingan dengan damai. 

Tetapi jika dihubungkan dengan kata ‘agama’, maka merupakan pandangan yang berupaya membenarkan keberagaman filsafat, dengan menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif.

Dan menganggap semua keyakinan filosofis dan religius dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.

Menelaah diskursus pluralisme agama di Indonesia, pada umumnya bermuara pada gagasan mengenai “kalimatun sawa’”, atau “common flatform” agama-agama yang bersumber pada teori “The Trancendent Unity Of Religions” yang digagas oleh Frithjof Schuon. Schoun dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional.

Pemikirannya dipuja dan diikuti oleh para intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. Schoun mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik semua agama-agama. 

Schoun mengungkap konsep satu-satunya realitas akhir, yang mutlak, yang tidak terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru manusia agar dekat kepada-Nya.

Teori Kesatuan hubungan Agama-Agama, selanjutnya diadopsi oleh Cak Nur dengan memasukkan argumentasi teologis. Cak Nur merumuskan tesisnya tentang kesatuan agama-agama terdapat pada tingkatan tertinggi yakni “sikap pasrah” (islam dalam maknanya yang sebenarnya). 

“Islam” (pasrah kepada Tuhan) menurutnya, menjadi titik pertemuan antara agama-agama, khususnya Islam, Yahudi dan Nasrani. Pemikiran Cak Nur tentang Islam inklusif dapat digambarkan sebagai Konsep Kesatuan Umat Beriman (Beragama) menuju satu Tuhan yang sama.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa klaim kebenaran pluralis ini memberikan afirmasi dan penegasan bahwa semua agama, memiliki “jalan” yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. 

Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap hakikat Ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.

Demikian pula berbagai trend pemikiran pluralisme pada umumnya bertemu di satu titik yang sama yaitu semua agama itu sama. Tidak ada yang lebih baik atau benar antara yang satu dengan yang lainnya. 

Kesimpulan ini diungkapkan oleh Prof. John Hick, yang dikenal sebagai sosok teolog modern yang memberikan perhatian sangat mendalam terhadap masalah pluralisme agama.

Catatan Kritis Kelemahan Pluralis Muslim

Melalui telaah kritis dan mendalam atas gagasan-gagasan para pluralis muslim khususnya, dapat ditemukan beberapa kelemahan yang sangat mendasar baik dari segi metodologi maupun substansi, diantaranya; 

Pertama, Inkonsistensi. Terutama ketika menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dalil legitimasi kebenaran. Terduga kuat bahwa teks-teks tersebut sengaja dipilih sedemikian rupa secara fragmentatif dan berada di luar konteksnya. 

Namun demikian, keduanya secara metodologis adalah cacat. Cacat ini secara tak terhindarkan berakibat negatif pada integritas subtansi pemikiran atau teori itu sendiri, sehingga akan mengesankan adanya teori yang sangat dipaksakan dan mengada-ada.

Kedua, Reduksi. Permasalahan utama yang sering dilontarkan dalam wacana pluralisme agama dan dianggap sangat potensial menyulut konflik adalah absolute truth claim (klaim-klaim kebenaran absolut), sehingga seluruh perhatian dan upaya dicurahkan kepadanya saja. 

Paham ‘persamaan agama’ pada umumnya dan paham ‘persamaan agama’ versi pluralis muslim Indonesia khususnya, berhenti pada upaya mencari penyelesaian bagi truth-calim tersebut. 

Sementara practice claims yang merupakan bagian lain agama yang tak terpisahkan, terabaikan atau malah sama sekali tak terpikirkan. Dan inlah apa yang disebut sebagai pereduksian atas hakikat agama.

Ketiga, Intoleransi. Pluralisme agama tidak menghendaki adanya klaim-klaim agama yang mutlak. Semua klaim-klaim agama adalah relatif. 

Yang unik adalah pada saat yang sama pluralisme agama hendak mengungguli dan mengatasi klaim-klaim tersebut, atau dapat disebut sebagai klaim “kebenaran relatif” yang absolut. 

Dengan demikian hanya klaim pluralisme agama saja yang benar. Pada saat pluralisme agama ditawarkan sebagai suatu teologi toleransi, ternyata terbukti tidak toleran pada perbedaan-perbedaan agama yang benar-benar nyata.

Keempat, basis paradigma yang problematis. Barangkali ini menjadi pokok permasalahan yang sangat serius dalam wacana pluralisme agama. 

Tidak sulit untuk menemukan bahwa pluralisme agama yang saat ini berkembang sedemikian rupa—seiring dengan kampanye globalisasi dan pasar bebas— telah dipahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal dan logical positivism Barat yang menolak segala hal yang ‘berbau’ metafisis dengan alasan tidak mungkin dibuktikan secara empiris. Oleh karena itu “agama’ dianggap sebatas “human response” (respon manusia).

Konsep Islam Menurut Muhammadiyah

Membaca tulisan dan gagasan sejumlah intelektual muslim tertulis di atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wacana pluralisme agama yang semarak di ”pasarkan” di Indonesia.

Khususnya di internal Persyarikatan Muhammadiyah sebagai propaganda untuk merusak akidah umat Islam yang sepadan dengan tindakan “teror teologis” dan memporak-porandakan sendi-sendi keimanan mereka yang selama ini dipegang teguh. 

Menyeru kepada kesatuan dan penyamaan agama-agama di dunia menjadi semacam cetak biru atau warna dasar pluralisme agama itu sendiri. Wajar, atau bahkan “wajib” jika kemudian pluralisme agama dinyatakan sebagai sesuatu yang “haram” dalam berbagai fatwa para ulama di dunia Islam, bukan saja melalui fatwa MUI di Indonesia. 

Muhammadiyah secara bulat hati, lisan dan perbuatan menyatakan Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Ikrar keyakinan ini terpatri sejak awal kelahiran Muhammadiyah, tertulis jelas setelah surat Al-Fatihah dalam naskah Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.

Oleh : Naufal Abdul Afif 
Sumber : Buku Tuntunan Tabligh Muhammadiyah

Naufal Afif

Editor Kuliah Al-Islam, Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor, Ketua Umum IMM UIKA 2018-2020

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال