Kesultanan Aceh Darussalam: Kejayaan Hingga Keruntuhan


Masjid Raya Baiturrahman peninggalan Kesultanan Aceh (kompas.com)

Kesultanan Aceh Darussalam - Kesultanan Aceh berdiri tahun 1496, terletak di ujung utara Pulau Sumatra. Pendirinya adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Dalam kitab Bustan as-Salatin (Taman Raja-Raja Aceh) menyebutkan, Kesultanan Aceh sebagai pengganti beberapa Kerajaan Islam seperti Samudera Pasai dan Malaka yang jatuh ke tangan Portugis dan mempersatukan Kerajaan-Kerajaan kecil.

Pusat Kerajaan berada di Banda Aceh Darussalam yang juga disebut Kuta Raja. Banda Aceh mulai ramai didatangi pedagang muslim setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Pada tahun 1521, Kesultanan Aceh  diserang oleh Armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Brito, tetapi dapat dikalahkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.

Kesultanan Aceh sepeninggal Sultan Ali Mughayat Syah diperintah oleh putra sulungnya yaitu Sultan Salahuddin. Sultan Salahuddin bersikap lunak kepada misionaris Portugis untuk bekerja ditengah-tengah orang Batak di daerah Pantai Timur Sumatra. Lalu Sultan Salahuddin digantikan oleh saudaranya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al Qahhar, pada tahun 1537 M.

Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Al Qahhar, Kesultanan Aceh menyerang Malaka sebanyak dua kali yaitu tahun 1547 dan 1568. Pasukan Aceh saat itu memiliki tentara dari berbagai negara diantaranya Turki, Cambay dan Malabar. Sultan juga mengirim utusan diplomatik ke Istanbul untuk membeli meriam dari Sultan Turki. 

Sultan Alauddin Al Qahhar pun mendatangkan ulama dari India, Persia untuk menyiarkan Islam di Minangkabau dan Indrapura. Sultan Alauddin Al Qahhar wafat pada tanggal 28 September 1571. Sepeninggal Sultan Alauddin Al Qahhar wafat, Kesultanan Aceh dilanda perebutan kekuasaan. 

Pernah hanya dalam tiga bulan terjadi pelantikan dan pemakzulan tiga Sultan. Kemudian pada masa Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Sayyid Al Mukammal, kondisi politik Kesultanan Aceh stabil kembali. Di masa Sultan Sayyid Al Mukammal, dibangun armada laut yang sangat kuat di bawah Laksamana Malahayati.

Laksamana Malahayati (Kompas.com)

Laksamana Malahayati adalah laksamana pertama di dunia dari kalangan perempuan. Beliau berhasil membunuh Cornelis de Houtman. Laksamana Malahayati, belakangan beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Pemerintahan Sultan Iskandar Muda

Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh mencapai puncak kemakmuran dan kejayaan. Aceh memperluas wilayahnya dan mendaptkan kemajuan ekonomi melalui sistem monopoli perdagangan di pesisir Sumatra Barat sampai Indrapura. Aceh menjadikan Pariaman sebagai Bandar terpenting untuk perdagangan lada. 

Sultan Iskandar Muda meneruskan perlawanan terhadap Portugis dan Johor dengan tujuan menguasai Selat Malaka. Ekspedisi Iskandar Muda dengan sejumlah besar armada kapal perang ke Pahang dan Malaka merupakan kisah kepahlawanan yang dibanggakan rakyat Aceh, sekalipun ekspedisi ke Malaka tahun 1629 tidak berhasil mengusir Portugis.

Penaklukan pada masa Sultan Iskandar Muda meliputi Aru, Pahang, Kedah, Perak, Indragiri, Batu Sawar. Sultan Iskandar Muda menolak permintaan Inggris dan Belanda yang ingin membeli lada di pesisir Sumatra Barat. Pada masa Sultan Iskandar Muda, bendera Aceh yang resmi adalah bendera yang berwarna merah dengan bagian atas terdapat gambar bintang-bintang bersudut lima yang mengapit bulan sabit dan dibawahnya terdapat gambar pedang.

Kesultanan Aceh menjalin hubungan dengan Kesultanan Turki Utsmani (Ottoman), dengan menerima utusan resmi Sultan Ahmad I (1603-1617) yang terdiri dari perwira-perwira tinggi. Sultan Iskandar Muda juga menjalin hubungan dengan Sultan Pahang dengan cara menikahkan putrinya yang bernama Safiatuddin dengan Sultan Ahmad Shah.

Sultan Iskandar Muda juga mendirikan Masjid Baiturrahman yang megah di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan agama Islam.

Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum Islam dengan sangat tegas bahkan putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok dihukum rajam olehnya, karena berzina dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda berkata “Mati anak masih ada makamnya, mati hukum kemana lagi mencari keadilan?”.

Pada masa ini terkenal ulama Syamsuddin as-Sumatrani, pengikut Hamzah Fansuri. Tahun 1636-1641, Kesultanan Aceh dipimpin oleh menantu Sultan Iskandar Muda yaitu Sultan Ahmad Shah dari Kesultanan Pahang, yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Tsani. Beliau diangkat berdasarkan wasiat Sultan Iskandar Muda.

Kesultanan Aceh Ditangan Para Sultanah (Ratu)

Setelah Iskandar Tsani wafat, Kesultanan Aceh diperintah empat Sultanah (Sultan wanita). Yang pertama adalah Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (Putri Sultan Iskandar Muda), yang mememrintah tahun 1641-1675. Pada masa pemerintahannya, kegemilangan Aceh mulai menurun karena banyak yang tidak setuju pemimpin wanita. Dan karena meningkatnya kekuasaan para tentara (uleeubalang). Ulama  besar dan Qadi kesultanan saat itu adalah Abdurrauf As Singkil (dikenal juga sebagai Teungku Syiah Kuala).

Gambar Abdurrauf Singkili (Sumber Tribun Pontianak)

Atas permintaan Sultanah, Abdurrauf Singkili menulis Kitab Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat Ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab (Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu untuk memudahkan dalam mengenal hukum-hukum syariat Allah). Sultanah juga mengirim ulama dan kitab-kitab karangan ulama Aceh dan Alqur’an kepada Raja-Raja Ternate, Tidore, dan Maluku.

Sultanah berikutnya adalah Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam, kemudian Sultanah Inayat Syah. Pemerintahan Sultanah akhirnya tidak diteruskan karena adanya fatwa dari Makkah, bahwa syariah melarang wanita memimpin negara. 

Runtuhnya Kesultanan Aceh 

Kesultanan Aceh pada awal abad ke-18 mengalami serangkaian perebutan tahta. Pada tahun 1816, Sultan Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin dan pemenangnya adalah Jawharul Alam setelah ia meminta bantuan Inggris.

Setelah itu, Kesultanan Aceh mengikat perjanjian dengan Inggris yang diwakili Thomas Stamford Raffles untuk memberikan kesempatan berdagang bagi Inggris di Kesultanan Aceh dan Inggris memberikan jaminan keamanan dan perlindungan bagi Aceh. 

Pada tangggal 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London yang antara lain berisi penghormatan kedaulatan Aceh oleh pihak Belanda.

Pada tanggal 02 November 1871, dibuat perjanjian baru antara Belanda dan Inggris yang membatalkan perjanjian London. Perjanjian baru ini memberi kebebasan bagi Inggris untuk mengembangkan kekuasaan di Malaya dan bagi Belanda memperluas kekuasaannya di Sumatra.

Kesultanan Aceh dituduh Belanda melindungi bajak laut dan perdagangan budak serta armada Aceh sering menyerang daerah tetangga. Dengan alasan ini Belanda melanggar kedaulatan Kesultanan Aceh dengan menyerbu ibu kota Kesultanan Aceh tahun 1873. Pada bulan Januari 1874, Istana Kesultanan Aceh dikuasai Belanda tetapi Sultan Aceh yaitu Sultan Mahmud Syah dan Panglima Polem berhasil meloloskan diri. Sultan kemudian wafat karena sakit. 

Sultan Muhammad Daud Syah 

Pada tahun 1874, Belanda menyatakan Aceh menjadi milik pemerintah Hindia Belanda. Walaupun Kesultanan Aceh dihapuskan Belanda, rakyat Aceh memiliki seorang Sultan yaitu Sultan Muhammad Daud Syah. Sultan Muhammad Daud Syah memimpin perjuangan melawan Kolonial, hingga pada akhirnya ia ditangkap dan dibawa ke Ambon. 

Kemudian Ia diberikan kebebasan untuk tinggal di daerah yang ia inginkan kecuali Sumatra. Maka ia memilih tinggal di Batavia hingga ia wafat. 


Makam Sultan Muhammad Daud Syah lama tidak terawat hingga pada akhirnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan pemugaran makam Sultan Muhammad Daud Syah di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال