Ulil Amri Bukan Hanya Pemimpin

Ulil amri bukan hanya pemimpin (Sumber gambar : Aslibumiayu.net)

KULIAHALISLAM.COM - Secara etimologi, ulil amri berarti pemimpin dalam suatu negara. Ulil amri berasal dari kata ulu artinya pemegang, yang mempunyai hak, dan al amr artinya perintah, urusan, perkara sesuatu, keputusan oleh Tuhan dan manusia, kepastian yang ditentukan Tuhan, tugas, misi, kewajiban, dan kepemimpinan.

Istilah ulil amri terdapat dalam pembahasan tafsir dan fikih siyasah (politik). Para ulama tafsir dan fikih siyasah membuat empat definisi ulil amri. 
  1. Ulil Amri adalah raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada Allah dan Rasulullah. 
  2. Ulil Amri adalah para Ulama. 
  3. Ulil Amri adalah pemerintahan di zaman Rasulullah SAW, jabaran itu pindah kepada qadi (hakim), komandan militer dan mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat pada kebenaran.
  4. Ulil Amri adalah para Mujtahid yang dikenal dengan sebutan ahl al hallwa al ‘aqad (yang memiliki otoritas dalam penetapan hukum).
Tidak adanya kesepakatan tentang pengertian ulil amri itu disebabkan kata amr itu sendiri mempunyai banyak arti. Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha mencoba merumuskan ulil amri dengan merangkum seluruh cakupan makna amr itu sendiri. 

Menurut mereka, ulil amri adalah para pemegang otoritas di sebuah negara yang terdiri dari para penguasa, para hakim, ulama, komandan militer dan pemuka masyarakat yang menjadi rujukan umat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. 

Rasyid Ridha juga memasukan mereka yang memegang otoritas di bidang kesehatan, perburuhan, perniagaan, pemimpin media massa dan pengarang.

Muhammad Abduh menyatakan “kepada mereka inilah kita harus taat dan patuh selama mereka menaati Allah dan Rasulullah.” Hal ini sesuai dengan Surah An Nisa’ ayat 59 yang artinya “Wahai orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulul amri di antara kamu.”

Perintah taat kepada ulil amri di ayat itu tidak didahului kata “ati’u”. Menurut para muffasir, hal ini mengandung pengertian bahwa ketaatan umat kepada ulil amri hanya selama ulil amri itu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang bersabda "Seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada para pemimpin terhadap yang ia senangi atau ia benci, kecuali ia disuruh pemimpinnya berbuat durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika disuruh berbuat durhaka, ia tidak boleh mendengar dan taat," (HR. Muslim dari Ibnu Umar).

Sebelum turunnya ayat di atas, tingkat kedisiplinan umat Islam sangat rendah, sekalipun mereka sudah menyadari arti kebebasan dan persamaan antara manusia. Namun konflik antar kepentingan masih saja mewarnai kehidupan mereka. 

Dalam rangka menertibkan dan menanamkan disiplin serta menciptakan suatu masyarakat yang tertib hukum, perlu ditekankan kepentingan ketaatan kepada para pemimpin tersebut.

Doktrin ini amat penting dalam menciptakan keamanan, kepastian hukum dan stabilitas politik. Dengan turunnya ayat di atas, maka doktrin kepatuhan dan ketaatan kepada pemimpin bukan hanya kebutuhan setiap masyarakat tetapi juga kebutuhan agama.

Sebagai imbalan dari ketaatan masyarakat terhadap ulil amri, maka mereka harus bertindak dan berbuat untuk kepentingan orang banyak dengan tugas pokok amar ma’ruf nahi munkar

Inilah yang dinyatakan Allah dalam Surah Al Imran ayat 104 yang artinya “Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang baik, dan mencegah kemungkaran.”

Padanan kata yang semakna dengan ulil amri yang terdapat dalam Alqur’an antara lain kata “ulul albab” (para pemikir), ulul quwwah (orang yang memiliki kekuatan/kekuasaan), ulul al aidi (orang yang dilambangkan memiliki kekuatan yang dilambangkan dengan tangan yang kuat), ulul azmi dan ulul absyar (orang yang memiliki proyeksi masa depan).

Lembaga ulil amri dalam konteks politik dikenal dengan sebutan ahl al hall wa al ‘aqad muncul pertama kali ketika Umar bin Khattab membentuk para pembantu amirul mukminin (kepala pemerintahan) ketika itu. 

Ahl al hall wa al ‘aqd inilah yang senantiasa bermusyawarah untuk mengambil kebijakan yang menyangkut kepentingan umum yang bersifat keduniaan dengan tugas pokoknya amar ma'ruf nahi munkar.

Dengan demikian, konsep ulil amri terkait erat dengan konsep musyawarah (QS. 2;233, QS. 3:159) dan konsep nahi munkar (QS. 3:104). 

Menurut Muhammad Abduh, para pemegang otoritas amr dalam suatu negara yang terdiri atas berbagai pemuka masyarakat harus senantiasa melakukan musyawarah dalam rangka menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar dan senantiasa memegang amanah Allah dan umat Islam.

Sumber : Ensiklopedia Islam Jilid 2 Terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال