Stop Propaganda Seks Bebas di Kampus Berkedok Anti Kekerasan Seksual

KULIAHALISLAM.COM - Stop propaganda seks bebas di kampus berkedok anti kekerasan seksual. Seorang bandar narkoba mendatangi kepala sekolah SMA dan minta Pak kepala sekolah melarang penjualan semua jenis narkoba apapun kepada para siswa. 

Stop propaganda seks bebas di kampus berkedok anti kekerasan seksual

Tentu seruan ini bagus dan disambut baik oleh kepala sekolah. Namun si bandar narkoba juga minta di ujung aturan itu ditambahkan kata-kata, "kecuali dengan kesepakatan."

Ternyata yang diarah oleh si bandar narkoba bukan larangan jual beli narkoba di sekolah, tapi kesepakatannya itu. Dengan bersepakat, jual beli narkoba bisa menjadi legal.

Itulah yang tengah terjadi dengan Permendikbud No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan itu berisi tentang pencegahan kekerasan seksual, tapi yang dimaksud kekerasan seksual di sini adalah "tanpa persetujuan korban."

Misalnya, di pasal 5 ayat 2 poin j, termasuk kekerasan seksual adalah "membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban". 

Berarti kalau disetujui korban, jadilah transaksi seksual itu. Ini sebenarnya adalah propaganda kebebasan seksual, tapi kedoknya adalah pencegahan terhadap kekerasan seksual. Mirip peribahasa musang berbulu ayam.

Permendikbud ini muncul diduga keras atas masukan kaum feminis liberal karena isinya persis Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sudah ditolak masyarakat luas dan DPR pada periode 2014-2018. Mengapa DPR dan masyarakat luas menolak RUU ini, ya karena bertentangan dengan Pancasila, terutama sila pertama dan kedua.

Isi RUU P-KS dan Permendikbud ini terasa asing bagi kita bangsa Indonesia karena bertentangan dengan Pancasila. Maka, sudah seyogyanya Mas Menteri mencabutnya. Juga pak Menag yang sudah mengadopsi untuk perguruan tinggi Islam. 

Ini berbahaya dan bisa menjadi preseden 
buruk buat generasi mendatang. Budaya kita tidak mengenal istilah atau prinsip sexual consent atau kesepakatan seksual. Prinsip ini seakan-akan ingin mengatakan, zina boleh saja asal sama-sama sepakat. 

Perkosaan boleh asal si korban senang, seperti mereka sedang melakukan eksperimen seksual. Boleh praktek elgebete asal sama-sama suka. Seks bebas dan seks menyimpang bukan budaya bangsa kita yang berdasar Pancasila.

Lalu, bagaimana terhadap kekerasan seksual yang tanpa ada "embel-embel kesepakatan"? Bagaimana kalau nanti benar-benar terjadi kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi? 

Semua peraturan yang diusung di dalam Permendikbud itu sudah ada dalam hukum dan perundang-undangan di tanah air. Semua sudah dicakup dalam KUHP dan UU lain. 

Bahkan perempuan yang—misal disentuh bagian sensitif tubuhnya atau dibully dengan kata-kata yang tidak senonoh, bisa melaporkan ke pengadilan dengan pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan (Pasal 310) atau pasal pencemaran nama baik dan sebagainya. Banyak cara kalau mau. Lalu untuk apa dibuat lagi hukumnya?

Akhirnya, kita ingin mengingatkan bahwa para pejabat itu dilantik oleh presiden dan disumpah di bawah Alquran agar tidak berkhianat terhadap Pancasila dan UUD 1945. Jika ada peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan dasar negara, janganlah didukung, kalaulah sudah ada segeralah dicabut. Itu tugas dan amanah bagi pejabat yang sudah disumpah presiden.

Jangan sampai kita meninggalkan warisan yang akan dikenang anak cucu sebagai peletak dasar peraturan yang menyelisihi dasar negara, agama dan budaya bangsa. 

Liberalisme dan feminisme adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan kultur masyarakat kita yang relijius dan bersahaja. Bukan kita anti Barat, tapi yang bertentangan dengan budaya bangsa kita ya jangan kita ambil apalagi diterapkan.

Marilah kita berpikir jernih. Masyarakat kampus jangan dibodohi dengan kalimat propaganda seperti itu. Di masyarakat awam mungkin kaum feminis dan liberal bisa leluasa melenggang menyampaikan propaganda seks bebas ini. 

Tapi masyarakat kampus adalah masyarakat yang berpikir kritis. Segala sesuatunya didiskusikan dan diseminarkan. Hanya gara-gara tidak berani berdebat lalu dipakai jalan kekerasan melalui aturan yang wajib diterapkan. 

Kalau tidak menerapkan, petinggi kampus akan dihukum, dipecat, dicopot jabatan, ditunda kenaikan pangkatnya, disetop bantuan penelitiannya dan sebagainya. Sebuah cara-cara yang tidak patut untuk dunia ilmiah seperti perguruan tinggi.

Maka, sudahlah. Stop propaganda kebebasan seksual di perguruan tinggi dan di manapun di bumi pertiwi ini. Apalagi dengan berkedok pencegahan dan penangan kekerasan seksual segala serta berperan seolah-olah sebagai korban. Stop sandiwara ini. Semua sudah jelas, "cetho welo-welo" kata orang Jawa.

Tugas kita sebagai civitas akademika kampus hanya mengingatkan bapak-bapak di atas itu. Sebab, manusia bisa saja pandai, tapi ia juga bisa lalai. Namun jika sudah diingatkan tidak juga sadar, bahkan ngotot, ini tanda-tanda kematian dunia ilmiah dan akal sehat di perguruan tinggi. Dan kita berlindung kepada Allah dari hal demikian.

Oleh: Dr. Budi Handrianto, Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun, Bogor

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

1 Comments

  1. Terima kasih sudah berbagi informasi yang bermanfaat

    Kunjungi juga website kami di walisongo.ac.id

    ReplyDelete
Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال