Muhammadiyah dan Wahabi dalam Kacamata Alwi Shihab

Muhammadiyah dan Wahabi dalam Kacamata Alwi Shihab (Sumber : Twitter : Ahmad Helmy Faishal Zaini)

KULIAHALISLAM.COM - Prof. Alwi Shihab menyatakan, apa yang telah dicapai selama perjalanan sejarah pergerakan Muhammadiyah ini sungguh sangat menggembirakan. Bahkan Muhammadiyah disebut sebagai gerakan pembaharuan Islam terkuat di Asia Tenggara.

Karena prestasinya sebagai pembaharu Islam tersebut, Muhammadiyah di labeli dengan Wahabi, padahal Muhammadiyah jauh dari apa yang disebut dengan paham Wahabi. Sehingga hal ini bisa merugikan gerakan kemajuan Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharu Islam dan Islam Modern

Peacock dalam bukunya “Muslim Puritans” tidak mengada-ngada sewaktu ia menempatkan pergerakan Muhammadiyah sebagai “The most powerful Islamic reformist movement ever exists in south east Asia, perhaps in the world" (Pergerakan pembaharuan Islam terkuat di Asia Tenggara, bahkan mungkin dunia).

Muhammadiyah dengan jumlah keanggotaannya, misi serta prestasinya di dalam bidang pendidikan, Penolong Kesengsaraan Umum, pelayanan masyarakat di berbagai bidang, dan lain-lain, menunjukan peningkatan pencapaian yang sangat mengesankan, sehingga sulit untuk mencari tandingannya di dunia Islam.

Prestasi besar yang diraih selama ini mengundang banyak komentar dan analisis dari peneliti-peneliti Muslim dan non-Muslim sekalipun. Sebagai konsekuensi logis dari hasil-hasil penelitian tersebut, label, atribut, dan sifat yang diberikan kepada organisasi Muhammadiyah muncul beraneka ragam. 

Spektrum label, corak, panggilan dan sifat tersebut cukup luas sehingga terkadang dijumpai beberapa atribut yang keliru dan merugikan untuk kemajuan dan perkembangan gerakan Muhammadiyah, misalnya, disebut sebagai wahabi, walaupun Muhammadiyah santai saja dalam hal ini. Tetapi label wahabi kepada Muhammadiyah bisa menghambat gerakan Islam berkemajuan di masyarakat Indonesia. 

Padahal sifat dan atribut dominan yang hampir melekat pada Muhammadiyah adalah suatu pergerakan sosial-keagamaan modern yang bertujuan untuk mengadaptasikan ajaran-ajaran Islam yang murni ke dalam kehidupan dunia modern di Indonesia. 

Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, gerakan ini secara luas telah mendapatkan inspirasi dari ide-ide pembaharuan Syekh Muhammad Abduh (Mesir, 1849-1905) yang mengobarkan semangat pembaharuan pemahaman dan pembersihan ajaran Islam dari daki-daki sejarah yang selama ini dianggap bagian tak terpisahkan dari Islam.

Namun karena daya tariknya yang begitu besar dan luasnya cakupan kegiatan Muhammadiyah yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka sifat dan karakter yang diberikan oleh peneliti-peneliti banyak ditentukan oleh penekanan aspek tertentu dari aktivitas tersebut. 

Bernard Vlekke dan Wertheim, misalnya mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan puritan yang menjadikan fokus utamanya “Pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran Islam dari sinkretisme dan belenggu formalisme”.

George Kahin, Robert van Niel, Drewes, Deliar Noer dan Alfian menempatkan Muhammadiyah sebagai pergerakan Islam modern. 

Sebagian peneliti diantaranya Raymond Kennedy, yang menekuni bobot serta pengaruh politik Muhammadiyah, teristimewa usahanya dalam menangkal penetrasi kebudayaan asing  dan perjuangannya untuk kemerdekaan bangsa mengklasifikasikan Muhammadiyah sebagai pergerakan politik.

Muhammadiyah Puritan Inklusif Beda dengan Wahabi

Sementara tidak sedikit kalangan menunjuk Muhammadiyah sebagai pergerakan dakwah yang menekankan pengajaran serta pendalaman nilai-nilai Islam dan memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia. 

Dari sekian banyak karakter yang dilekatkan pada Muhammadiyah, ada beberapa label yang saya (Alwi Shihab) anggap tidak tepat atau tidak seirama dengan cita-cita pendiri organisasi ini dan karenannya perlu diluruskan.

Persepsi itu muncul, bahwa Muhammadiyah dianggap sebagai gerakan puritan yang berafilisiasi ideologis kepada gerakan Wahabisme Arab Saudi. Sebagai akibat dari asumsi tersebut maka tidak jarang organisasi Muhammadiyah diklasifikasikan sebagai gerakan sektarian.

Dalam upaya menjernihkan persepsi keliru tentang kaitan erat antara Wahabisme dan Muhammadiyah, saya (Alwi Shihab) sama sekali tidak bermaksud untuk mengesampingkan nilai-nilai luhur ajaran Syekh Muhammad Abdul Wahab (Pendiri Wahabisme) yang mengandung unsur-unsur korektif positif dalam upaya memurnikan ajaran Islam. 

Tidak pula saya (Alwi Shihab) memungkiri beberapa titik persamaan, tujuaan dan strategis antara kedua gerakan pembaharuan ini. Namun yang penting di garis bawahi bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah sendiri dalam kongres Al-Islam yang diadakan di Surabaya pada 1924, secara tegas menolak asumsi tersebut. Bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak berkaitan dengan Wahabi.

Muhammadiyah dan Tasawuf 

Muhammadiyah dan Tasawuf (Sumber gambar : Pecihitam.org)

Prof. Alwi Shihab menyatakan, kalau diteliti lebih lanjut, maka kita akan dapati bahwa penolakan tokoh-tokoh Muhammadiyah tersebut sangat berdasar, teristimewa jika kita kembali menelusuri pandangan-pandangan keagamaan K.H Ahmad Dahlan.

Satu hal yang sangat menonjol yang membedakan antara Wahabisme dan Muhammadiyah adalah perbedaan sikap keduanya terhadap Tasawuf. 

Sebaliknya, K.H Ahmad Dahlan demikian pula Syekh Muhammad Abduh dalam pandangan-pandangan keagamaannya menunjukan sikap lunak bahkan bersahabat terhadap Tasawuf.

Hal inilah yang mengantar Mitsuo Nakamura yang meneliti pergerakan Muhammadiyah ini, menunjukan elemen-elemen Tasawuf dalam ajaran Muhammadiyah. Anggapan Nakamura tadi akan lebih jelas tergambar dalam ungkapan K.H Ahmad Dahlan yang bertendensikan Tasawuf kepada pengikut-pengikutnya. 

Kata-kata mutiara Sufi, Hasan al-Basri yang senantiasa mengingatkan manusia akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari bergema dalam ungkapan-ungkapan K.H Ahmad Dahlan. 

Anjuran Sufi-Sufi besar Al-Muhasiby yang menekankan bahaya penyakit riya (hipokrasi), dan Yahya bin Mu'adz tentang peringatan kematian dapat ditemukan persamaannya dalam anjuran-anjuran K.H Ahmad Dahlan. 

Bahkan keengganan K.H Ahmad Dahlan untuk melibatkan diri dalam pemikiran-pemikiran spekulatif teologis yang mengundang perdebatan adalah merupakan kelangsungan tradisi-tradisi sufi-sufi besar Islam, termasuk Sahl Al-Tustari dan Al-Ghazali.

Muhammadiyah dan Tokoh Pembaharu Islam Tidak Anti Tasawuf 

Perlu ditambahkan pula bahwa persepsi keliru yang menganggap Muhammadiyah dan gerakan-gerakan pembaharuan Islam sebagai gerakan anti Tasawuf dapat ditemukan pada sekian banyak cendikiawan Barat. 

Untuk menyanggah persepsi keliru ini, George Makdisi menempuh langkah yang cukup jauh dalam membuktikan bahwa mentor dan figur inspiratif gerakan-gerakan modern Islam, Ibnu Taimiyah adalah anggota atau murid Tarekat Qadiriyah.

Ibnu Taimiyah menurut Makdisi, menunjukan sikap positif terhadap sekiaan banyak sufi besar semacam Al-Junaid, Al-Tustari, Al-Fudhail, dan bahkan Al-Ghazali. Ibnu Taimiyah sendiri, lanjut Makdisi, telah  mengekspresikan tendensi Tasawuf antara lain dalam kitabnya yang berjudul “Al-Tuhfah al-Iraqiyah fil-A’mali al Qalbiyyah”.

Kedua persepsi keliru ini kiranya perlu mendapat perhatian khusus pimpinan Muhammadiyah. Sungguh melegakan hati banyak simpatisan Muhammadiyah yang selama ini tersembunyi di bawah permukaan dan yang tercecer dimana-mana, apabila kedua persepsi ini dapat diluruskan.

Tidak sedikit jumlah simpatisan Muhammadiyah yang selama ini mengambil jarak atau enggan menyatakan ketertarikan pandangan dan emosionalnya, apalagi mengidentifikasikan dirinya dengan Muhammadiyah karena khawatir dianggap bagian dari persepsi keliru di atas.

Kalau prioritas agenda pembaharuan Muhammadiyah masa kini yang pernah dilontarkan Amien Rais, termasuk pembaharuan kederisasi atau revitalisasi para kader, maka saya yakin bahwa untuk menghimpun kembali kader-kader yang tercecer selama ini, pelurusan persepsi-persepsi keliru tentang organisasi ini perlu mendapat perhatian khusus oleh pimpinan Muhammadiyah.

Bukankah kesamaan persepsi dan semangat non sektarian dari tokoh-tokoh Islam masa lalu yang mengantar terwujudnya kerjasama erat anatara K.H Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari ? Adalah tanggung jawab kita semua untuk membantu penerus kedua tokoh sentral tersebut, untuk senantiasa menumbuh suburkan semangat kerja sama yang positif antara kita semua.

Sumber : Prof. Alwi Shihab dalam karyanya “Islam Inklusif”yang diterbitkan Mizan. Prof. Alwi Shihab merupakan saudara kandung Muhammad Qurais Shihab. Ia meraih dua gelar Doktor dari Mesir dan Amerika Serikat.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال