Muhammadiyah Puritan Inklusif Beda dengan Wahabi

 

Sumber gambar : kemuhammadiyahan.com

KULIAHALISLAM.COM – Membahas perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi memang tidak ada habisnya, bisa di bahas dari berbagai sudut pandang. Tulisan ini juga membahas dari sudut pandang penulis, walaupun sudah banyak yang menulis seperti di Kanal IBTimes.ID tentang Muhammadiyah bukan Wahabi. Hal ini juga akan membosankan Wahabi, Wahabi, dan Wahabi terus, tetapi merebut narasi itu penting melalui media online dengan menulis artikel.

Mengukur seringnya narasi Muhammadiyah di kaitkan dengan Wahabi, karena ada dua cara pandang. Pihak dalam Muhammadiyah tidak ada kaitanya dengan Wahabi, sementara sejumlah kalangan dari luar melihat Muhammadiyah neo-Wahabi.

Awalnya, Muhammadiyah didirikan sebagai gerakan yang memperhatikan sosial dan pendidikan (Muhammadiyah Jawa, Najib Burhani, 2010). Seiring dengan perkembangan zaman dan keadaan, sebagai gerakan pembaharu terjadi pergeseran karakter, walaupun gerakan sosial dan pendidikan terus di lakukan.

Dari pergeseran tersebut, tuduhan Wahabi di sematkan kepada Muhammadiyah, walaupun di masa-masa awal berdirinya, Muhammadiyah sudah di sangka Wahabi (Catatan Haji Muhammad Syoedja’ hlm. 132). Di Makkah pun Muhammadiyah di sangka Wahabi oleh Ulama Hindia-Belanda dari Tanah Jawa yang menetap di Makkah, karena mendapat kabar dari para ulama tanah Jawa (Catatan Haji Muhammad Syoedja’ hlm. 136). Dari kisah Haji Syoedja' tersebut sudah terbantahkan bahwa Muhammadiyah bukan Wahabi.  Tuduhan Itu paradok dengan sejarah Kiai Dahlan yang di sangka Kiai Kafir. (Catatan Haji Muhammad Syoedja’ hlm. 64)

Tak hanya itu, bahkan Persyarikatan Muhammadiyah pun di sangka Kafir, orang kala itu gampang bilang “Muhammadiyah itu merupakan Kristen alus, kafir, agama baru, apa yang dilakukan (seperti penerjemahan Alqur’an, khutbah jumat dengan bahasa lokal) merupakan perusakan agama Islam dari dalam dan menghilangkan kesucian agama Islam, ajarannya sesat.” (Muhammadiyah Jawa, Najib Burhani, 2010)

Sebenarnya, tuduhan kepada Kiai Dahlan sebagai Kiai Kafir (meniru hal baik dari kolonial dan Boedi Oetomo) paradok dengan Muhammadiyah di sangka Wahabi yang terkenal dengan jargon kembali ke Alqur’an dan Sunnah, pemurnian Islam. Namanya juga tuduhan bisa berganti-ganti juga bisa salah tuduh. Kita tidak mau sadar, bahkan ada yang sadar ketika ulamanya sudah wafat, dan melihat hasilnya sekarang amal usahanya untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Sebagai gerakan Keagamaan (sosial masyarakat), karena Kolonial waktu itu ingin melemahkan Islam lewat adat, maka Muhammadiyah mengambil jalan untuk bersebrangan dengan Kolonial.(Muhammadiyah Jawa, Najib Burhani, 2010) Dengan kata lain berperang melawan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam, sebagai manifesto perlawanan terhadap penjajah kolonial. (Keputusan Kongres Muhammadiyah 22 Tahun 1933 di Semarang).

Kemenangan Wahabi di Makkah telah melakukan pemurnian dengan cara membereskan adat atau budaya yang tidak sesuai dengan Islam. Hal ini penulis kira sebab yang mengaitkan Muhammadiyah dengan Wahabi, padahal jelas sikap Muhammadiyah sesuai dengan keputusan Congres untuk melawan adat, karena salah satu cara kolonial kala itu dalam melemahkan Islam. Jadi, bukan terinspirasi oleh wahabi dan bahkan bukan berideologi wahabi. (baca manhaj tarjih Muhammadiyah)

Apa mungkin Muhammadiyah kalau dia mengusung ideologi Wahabi mau bekerjasama dengan kaum “kafir” dengan menerima sumbangan donasi dan tenaga dalam melakukan kerja-kerja sosial kemasyarakatan seperti yang dilakukan Muhammadiyah ketika menghidupi rumah sakit, rumah miskin, rumah yatim? 

Apa mungkin juga kalau Muhammadiyah mengusung ideologi wahabi, bisa hidup berdampingan dengan Keraton Yogyakarta yang menjadi simbol budaya Jawa? Bahkan konon katanya keraton Yogyakarta juga punya andil besar dalam proses pendirian dan berkembangnya Muhammadiyah. (Bachtiar Dwi Kurniawan, Muhammadiyah Gerakan Sosial dan Nalar Pembebasan, 2019)

Beberapa kesamaan isi HPT (Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah) dengan fatwa Wahabi menjadikan Muhammadiyah di tuduh Wahabi, walaupun ada perbedaan fatwa Wahabi dengan Majelis Tarjih 1927. Sebenarnya tujuan resmi pendirian Majlis Tarjih pada 1927 adalah untuk melindungi persatuan Muhammadiyah dan memecahkan masalah-masalah hukum agama yang diperselisihkan. (Muhammadiyah Jawa, Najib Burhani, 2010)

Menurut Najib Burhani dalam bukunya Muhammadiyah Jawa, pembentukan Majlis Tarjih yang terkesan sangat syari’ah-oriented. Pendirian lembaga ini dipelopori oleh Mas Mansur, seorang ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan pedalaman memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal lebih ketat dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta.

Hemat penulis, tak hanya beberapa fatwa Majelis Tarjih yang memiliki titik temu dengan Fatwa Wahabi sebenarnya  ada  titik perbedaan.  Beberapa Fatwa Ulama juga ada titik temu dengan fatwa Wahabi, tetapi juga memiliki titik perbedaan.

Gerakan pemurnian Islam Muhammadiyah lebih inklusif yang modern, karena Kiai Dahlan terinspirasi oleh Muhammad Abduh, Abduh sebagai saksi menilai Wahabi adalah gerakan pembaharuan yang paradok: hendak mengibaskan debu taklid yang mengotori, tapi di saat yang sama menciptakan taklid baru.

Muhammad Abduh dan Wahabi sejatinya keduanya memilih jalan yang berbeda: Abduh melalui jalan rasionalis, sehingga diklaim sebagai neo-Muktazilah; Wahabi melewati jalan literalis, sehingga diklaim sebagai neo-Khawarij. Pangkal paradok Wahabi tercium oleh Muhammad Abduh dalam menjatuhkan pembaharuannya pada jalan literalisme, yang menghantarkan pada “taklid baru”. (Mukti Ali el-Qum, nu.or.id, 2012)

Kalimat yang terkenal dari Muhammad Abduh "Aku pergi ke Barat tidak melihat Islam tetapi ku lihat Muslim, dan Aku pergi ke Timur kulihat Islam tetapi tidak melihat Muslim". Dari itulah Abduh menjadi pembaharu Islam, kala itu Mesir di jajah oleh Perancis.

Salah satu keuntungan jajahan Perancis adalah kolonial tersebut menjajah juga membawa teknologi dan sains beserta dengan Ilmuanya. Beda dengan bekas jajahan Belanda yang terkenal dengan Adu Dombanya, sehingga sampai sekarang cara Belanda tersebut masih di pakai oleh sebagian warga Negara.

Abduh yang kala itu merasa tidak puas dengan Ilmu agama yang "hanya" hafalan kitab-kitab. Pemikir pembaharu islam tersebut ingin bahwa Islam juga harus menguasai teknologi dan sains. Pembaharuan Abduh lebih kepada pendidikan selain Ilmu Agama, semua Ilmu juga penting. 

Kiai Dahlan terinspirasi oleh Abduh, maka sekarang amal Usaha Muhammadiyah banyak di bidang pendidikan hal itu hampir sama dengan yang Abduh lakukan.


Adis Setiawan

Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Islam di Universitas Islam An Nur Lampung. Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Bekasi Raya

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال