Hari Guru Nasional : Menjadi Orang Tua Itu Menjadi Guru

KULIAHALISLAM.COM - Saya berasal dari keluarga guru. Ayah ibu saya guru. Bude dan bulek saya juga banyak yang jadi guru. Saya pun setelah bertahun-tahun berkarya di dunia industri, akhirnya balik juga menjadi guru, menjadi dosen. Di hari guru ini, saya ingin melakukan instropeksi bagi diri saya sendiri sebagai guru, syukur-syukur juga teman-teman saya sesama profesi guru/dosen. Beberapa alinea saya ambil dari tulisan saya yang telah lalu.
Logo Hari Guru Nasional 2021 | Menjadi orang tua itu menjadi guru

Yang paling susah dengan menjadi guru bukan mengajar, tapi mendidik. Pada proses mendidik, tidak saja transfer ilmu, tapi juga transfer nilai, karakter, adab dan akhlak. Dan transfer akhlak tidak bisa dilakukan dengan “memberi contoh” saja, tapi juga “menjadi contoh”.

Kalau hanya memberi contoh, kesan mendalam tidak bisa masuk ke diri murid. Ada sebuah anekdot. Seorang ayah -kebetulan tentara berpangkat kapten, mengajari anaknya yang masih remaja bermain piano. Kesal dengan anaknya yang diajari tidak bisa-bisa maka ia berkata, “Beethoven seusia kamu sudah bisa mencipta satu karya orchestra.” Sang anak juga mungkin kesal dibanding-bandingkan, menyahut, “Jendral Sudirman seusia Bapak juga sudah jadi jendral.” Mudah memberi contoh, tapi sulit menjadi contoh. Tapi anekdot ini tidak perlu dibahas ya.

Oleh karena itu syarat menjadi guru tidak sekadar pintar, namun juga berakhlak mulia, tegas, berwibawa, disiplin, berkarakter, mampu memanage kelas, mampu memahami psikologi murid dan—tentu pandai mengajar. Sekali lagi, yang diajarkan guru bukan sekadar ilmu. Tapi adab (akhlak). Justru adab inilah yang lebih penting diajarkan terlebih dulu dari pada ilmu. 

Kalau adab sudah diajarkan, ilmu mudah masuk. Orang-orang dulu lebih mengutamakan adab daripada ilmu karena ilmu mudah dicari jika adab susah didapat. Kata Yusuf Ibn al-Husain, “Bil adabi tafhamul ilma. Dengan mempelajari adab, engkau akan mudah memahami ilmu.” Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”

Menjadi guru artinya menjadi role model alias teladan. Kita sering mendefinisikan guru karena digugu (diikuti omongannya) dan ditiru. Keteladanan guru yang paling utama adalah soal adab. Dalam Islam, ilmu dan adab menyatu. Tidak ada atau jarang seorang guru punya kelakuan yang minus. Seorang guru mabuk. Seorang guru berjudi. Seorang guru main perempuan atau mengganggu suami orang (pelakor), dan sebagainya. 

Berbeda dengan ilmu di Barat yang sekuler yang memisahkan antara ilmu dengan nilai (value). Maka, di sana wajar-wajar saja, ada dosen atau guru maksiat termasuk berzina dengan murid/mahasiswanya. Itu di sana. “Kita kan hidup di Indonesia, bukan di sana. Mereka bukan kita,” Kata Dodo Zakaria.

Keseriusan murid dalam belajar juga dibentuk oleh karakter guru. Suasana tenang dan khusyuk diatur oleh sang guru. Dulu kita sering mendengar kalau ada murid ribut guru berkata dengan tegas, "Kamu yang keluar atau saya yang keluar!" Langsung kelas menjadi tenang. 

Perhatikan bagaimana suasana belajar mengajar di majelis Abdurahman bin Mahdi, guru Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana diceritakan oleh Ahmad bin Sinan, "Tidak ada seorang pun berbicara di majelis Abdurahman bin Mahdi, tidak ada seorangpun yang berdiri, tidak ada seorang pun yang meraut (meruncingkan) pena, tidak ada seorang pun yang tersenyum." (Lihat Kitab Siyaru A'lam an-Nubala jilid 17 hal 161) Semua serius mendengarkan penjelasan sang guru.

Perhatikan pula bagaimana kuatnya karakter Imam Ahmad bin Hanbal, tidak saja ditakuti oleh murid yang nakal, tapi juga oleh jin Ifrit! Suatu ketika putri khalifah al-Mutawakkil kesurupan. Khalifah mengirim utusan untuk minta bantuan Imam Ahmad menyembuhkan putrinya. Imam Ahmad sedang sibuk mengajar. 

Maka, beliau menyerahkan sandalnya kepada utusan Khalifah dan berpesan untuk  menaruh sandal tersebut di sebelah putri Khalifah sambil mengatakan kepada jin tersebut, "Imam Ahmad berpesan: Mana yang engkau senangi, keluar dari tubuh anak gadis ini ataukah ditampar dengan sandal ini?” Jin itupun ketakutan, lalu keluar dari tubuh putri Khalifah. Sandalnya saja ditakuti, apalagi orangnya.

Tentu, tidak mudah menjadi seorang guru seperti Imam Ahmad. Selain ilmu yang tinggi, kita harus mempunyai karakter yang kuat, harus punya ruh atau jiwa mengajar yang kuat. Prof. Mahmud Yunus berkata, “At-thorikotu ahammu minal maddah wal mudarisu ahammu minat tharikoh wa ruhul mudaris ahammu minal mudarris. Cara atau metode itu lebih penting dari pada materi (pelajaran). Dan guru lebih penting dari pada metode. Dan ruh (jiwa) seorang guru (dalam mengajar) itu lebih penting lagi dari gurunya itu sendiri.” Mahfudhat (kata mutiara) ini sering dihafal dan diamalkan di pesantren-pesantren.

Ada internalisasi sikap, adab, akhlak, pola pikir, paradigma, worldview, keteladanan dan keberkahan ilmu dalam proses belajar mengajar Islami yang tidak bisa digantikan oleh revolusi industri keberapapun. Dan itu didapatkan dengan cara belajar mengajar tatap muka secara langsung (talaqqi), kalau sekarang tatap muka lewat aplikasi zoom. 

Menatap wajah guru pun bisa berbuah keberkahan. Nabi Yusuf ketika digoda Zulaikha sebagai laki-laki sempat ingin menuruti ajakan tersebut. Tapi kemudian muncul bayangan wajah sang ayah dalam benaknya sehingga ia mengurungkan memperturutkan hawa nafsunya. Wajah guru yang tulus dalam mengajar, insya Allah dapat mencegah perbuatan maksiat murid-muridnya.

Jadi, mengajar dan mendidik itu beda. Mendidik ada unsur nilai di dalamnya. Saya salut pada seorang guru yang tidak meluluskan seorang murid di Semarang beberapa tahun lalu di mana anak ini ranking 3 dalam nilai UN sekota Semarang. Guru tersebut tidak meluluskan murid ini karena anak ini sering bolos dan akhlaknya tidak baik. Hanya saja disayangkan kemudian guru ini diadukan ke KPAI dan dianggap membuat mental anak menjadi merosot (nilai UN tinggi tidak diluluskan). Memang, masih banyak yang belum mengerti bahwa tugas guru adalah mendidik, bukan mengajar.

Mari kita kasihani murid-murid kita. Kita ingin mereka ke depan mau jadi apa? Apakah hanya menjadi orang yang pintar di bidang ilmu tapi juga pintar di bidang korupsi atau kita ingin mereka kelak menjadi anak-anak yang cerdas dan salih? Di masa depan merekalah yang akan bertanggung jawab terhadap kelangsungan negeri ini.

Wah, berat juga ternyata menjadi guru. Adakah yang mau menjadi guru dengan syarat kompetensi yang seperti itu? Apalagi dengan kompensasi yang belum memadai di negeri ini. 

Atau, siapa sebenarnya yang tengah kita bicarakan ini? Bukankah kita sebagai orang tua adalah guru? Bahkan kitalah—sebagai orang tua, guru yang sebenarnya! Bukan guru yang mengajar di kelas itu. Jadi, kitalah sebenarnya yang harus mempunyai watak seperti guru yang disebutkan itu. 

Kitalah yang harus menjadi role model atau teladan bagi murid alias anak-anak kita sendiri. Sebab, kita pun wajib menjaga murid alias anak kita sendiri agar bisa selamat dunia akhirat. Ingat, kitalah yang diingatkan Allah dalam surat at-Tahrim ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Ali bin Abi Thalib berkata, “Ayat ini artinya, didiklah anak-anakmu dengan adab dan ajarkan ilmu kepada mereka.” 

Mari kita rayakan hari guru ini bukan saja untuk guru-guru yang mengajar di kelas, tapi juga kita para orang tua—guru yang sebenarnya, yang mendidik anak-anaknya agar selamat dunia akhirat.

Oleh: Dr. Budi Handrianto

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال