Rene Descartes : Aku Berpikir Maka Aku Ada ?

Rene Descartes (Sumber gambar: www.military-history.org)

KULIAHALISLAM.COM - Bila kalian menempatkan ada dalam kesadaran sebagai titik nol-nya, maka ketahuilah bahwa banyak ada lain yang berada diluar kesadaranmu.

Dulu banyak yang belum sadar bahwa planet-planet itu ada, maka saat itu planet-planet belum ada dalam kesadaran manusia. Apakah berarti planet-planet harus disebut tidak ada ? Bisa jadi salah, yang belum ada adalah kesadaran manusia yang menangkap planet-planet tersebut.

Sebelum Descartes berpikir menyadari dirinya ada maka apakah Descartes belum ada ? Bisa jadi salah, yang belum ada adalah kesadaran Descartes dalam menyadari dirinya ada.

Maka ada-nya Descartes tidaklah ditentukan atau diciptakan oleh kesadaran Descartes. Kesadaran Descartes tidaklah menciptakan keberadaan dirinya tapi hanya sekAdar menangkapnya.

Descartes mungkin tidak salah dengan metodenya, hanya semboyannya bisa menimbulkan efek samping tersendiri berupa persepsi negative seolah-olah bahwa ada itu ditentukan oleh kesadaran manusia saja.

Maka seluruh ada atau realitas itu tidak bergantung kepada manusia, karena manusia bukan pencipta ada, tapi hanya sekadar menangkapnya dengan kesadarannya

Hal yang harus dinyatakan Descartes harusnya "aku berpikir dan sadar bahwa aku ada" bukan "aku berpikir dan karena itu aku ada." Kesadaran mesti diselipkan ditengah dalam semboyan Descartes agar orang paham bahwa pernyataan Descartes hanya sekadar refleksi kesadarannya dan bukan berarti telah menciptakan keberadaan dirinya.

Apakah hal-hal yang belum bisa ditangkap oleh (kesadaran) manusia harus dianggap tidak ada ? Itulah "kesombongan ala Cartesian" yaitu menciptakan sebuah persepsi seolah ada itu bergantung pada manusia.

Sebab itu wahai umat manusia bersiaplah kelak menemukan ada-ada lain yang saat ini masih belum nampak kedalam kesadaranmu alias masih ranah gaib.

Ratusan tahun lalu saya tidak ada, dan kini menjadi ada, tapi saya sama sekali tidak mendesain keberadaan saya. Misalnya, mengapa lahir di tahun sekian di negeri ini dari orang tua A dan B. 

Kalau saya bertanya pada sains dan filsafat misalnya, maka sudah pasti saya tidak akan pernah bisa mendapat jawabannya. Ini sama dengan pertanyaan "mana yang lebih dulu ayam atau telur" maka secanggih apapun logika atau ilmu pengetahuan manusia itu tidak akan pernah bisa menjawabnya.

Biasanya ini namanya filsafat spekulatif, ya pintar-pintaran saja. Untuk kebenaran nanti tanyakan kepada sang pencipta kelak di akhirat. Seperti ayam dan telur duluan mana, maka jawabanya pintar-pintaran saja. 

Dalam agama ranah demikian masuk dalam ranah ilmu hakikat yaitu yang bicara soal takdir. Bahwa tiap manusia telah ditentukan hari dan tahun kelahirannya, orang tuanya, tanah kelahirannya, dan kelak kematiannya.

Banyak buku yang membahas hakikat jati diri manusia dari penulis barat maupun timur tapi kadang hanya menampilkan aspek partikular dan bersifat permukaan, tidak menyentuh hakikat terdalamnya.

Dan itulah fungsi memahami konsep takdir diantaranya adalah memahami kekuasaan Tuhan atas manusia mulai dari hulu hingga hilirnya. Memahami takdir diri berfungsi untuk memahami siapa jati diri kita yang sesungguhnya.

Dan artinya konsep takdir akan bermakna bila ditempatkan pada tempatnya. Tidak harus dipertentangkan, misalnya, dengan usaha atau ihtiar manusia karena keduanya berada pada kutub terpisah tapi berjalan beriringan seperti rel kereta api ganda satu di kiri dan satu dikanan tapi keduanya sama sama membawa kereta api ke satu tujuan.

Editor: Adis

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال