Kaum Muda dalam Pusaran Radikalis Terorisme (2)

(Sumber Gambar: Fitrah)
Oleh: Fitratul Akbar*

KULIAHALISLAM.COM - Perbincangan tentang radikalisme dan upaya pencegahannya bukanlah hal yang baru (B, 2018). Radikalisme adalah paham yang radikal dalam politik dan paham yang menginginkan perubahan dan pembaharuan sosial politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan sikap ekstrem (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Isu radikalisme akibat begitu masivnya gerakan radikal yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte, aliran, dan kelompokkelompok baru yang mengatasnamakan Islam (Yunus, 2017). Radikalisme agama sering kali digerakkan oleh pemahaman keagamaan yang sempit (Naharong, 2014), perasaan tertekan, terhegemoni, tidak aman secara psikososial, serta ketidakadilan local dan global (Jurgensmeyer, 2003, p. 16). Paham yang radikal, ekstrim, dan fundamental akan melahirkan acaman sehingga perlahan menjadi isu teror sbagaimana yang telah dan sedang terjadi saat ini (Misrawi, 2013). Gerakan radikalisme terus berkembang dan merambah pada kalangan anak usia dini (Anwar, 2021a). Keterlibatan anak-anak dalam gerakan radikalisme terjadi pada kasus terror bom bunuh diri di Kota Surabaya (Suara.com, 2018). Ancaman radikalisme pada anak usia dini dapat bersumber dari sebuah proses yang “terselip” dalam pengasuhan yang diperoleh (Yani & Jazariyah, 2020).

Radikalisme dapat muncul dalam berbagai elemen kehidupan, tak terkecuali pada dunia pendidikan. Penataan pendidikan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui penguatan Islam yang moderat dengan konsep rahmatal lil alamin (Anwar & Muhayati, 2021). Upaya pencegahan radikalisme dapat dilakukan dengan revitalisasi nilai-nilai wasathiyah (Hakam & Anggraeni, 2019). Islam adalah agama wasathan (Yusuf, 2018). Wasathiyah berarti moderasi beragama (Fahri & Zainuri, 2019). Moderasi beragama perlu ditanamkan kepada anak sejak dini (Anwar, Priyanti, Sukowati, Mubarokah, & Yuniya, 2020). Upaya penangkalan radikalisme pada anak usia dini memerlukan pengaruh dan keteladanan dari orang dewasa, karena anak usia dini memiliki kecenderungan menirukan apa yang mereka lihat (Fajarwati, 2014). Upaya tersebut bisa dilakukan oleh para pendidik (guru dan orang tua) sejak usia dini, yakni ketika masa kanak-kanak.[1]

Penelitian Badan In­telijen Negara (BIN) mencatat pada 2017 sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di In­donesia terpapar radikalisme. BIN melaporkan terdapat 24% mahasiswa di PT dan 23,3% siswa di sekolah lanjutan atas (SLTA) setuju dengan jihad da­lam rangka menegakkan Ne­gara Islam Indonesia. Malah temuan GP Anshor me­nye­butkan sejumlah masjid di ber­bagai lembaga negara terma­suk di PT, BUMN, hingga in­ternal Polri sudah terpapar pa­ham tersebut. Bahkan ada ang­gota Polri yang tertarik dengan ideologi radikal itu. Hasil pe­ne­litian Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016 le­bih gawat lagi, ter­dapat 84,8% sis­wa dan 76% guru di sekolah se­tuju dengan pe­n­e­rap­an sya­riat Islam dan yang cukup me­ngejutkan dalam sur­vei itu di­temukan 4% orang Indo­nesia menyatakan setuju dengan ISIS (Lampost , 22 Mei 2018).

Dalam pandangan Badan Nasional Penanggulangan Te­rorisme(BNPT), radikalisme merupakan embrio terorisme. Ia merupakan sikap yang men­dambakan perubahan se­cara total dan bersifat re­vo­lu­sioner dengan menjung­kir­ba­likkan nilai-nilai yang ada se­cara drastis melalui kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrem. Ciri yang bisa dikenali dari pa­ham radikal, yaitu 1) intoleran, ti­dak mau menghargai pen­da­pat dan keyakinan orang lain; 2) fanatik, selalu merasa benar sendiri; 3) eksklusif, mem­be­dakan diri dari umat Islam pada umumnya; dan 4) revo­lu­sio­ner, cenderung menggunakan cara kekerasan untuk men­ca­pai tujuan.

Ciri radikalisme ini mirip dengan apa yang di­ke­mukakan oleh Charles Kimball dalam Religion Becomes Evil  (2002) bahwa aga­ma akan menjadi bencana atau radikal jika ditandai lima hal, yakni 1) mengklaim kebenaran mutlak (absolute truth claim), padahal kebenaran mutlak ha­nya milik Tuhan; 2) menuntut ketun­duk­an buta (blind ob­e­dience) yang mengingkari pe­rin­tah kitab suci untuk berpikir kritis; 3) menginginkan kem­bali pada masa keemasan (es­tablishing the ideal times)  yang justru me­ng­ingkari gerak wak­tu yang tak pernah surut ke masa lalu dan tiap zaman me­mi­liki problem tersendiri yang menuntut ja­wab­an berbeda;  4) mem­be­nar­kan segala cara (the end justifies any means), pa­da­hal tujuan yang baik harus di­tempuh de­ngan cara yang baik; 5) me­nya­takan perang suci (de­cla­ring holy wars), di mana perang se­ja­tinya kotor tidak ada yang suci.

Dalam jurnal penelitian Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme Di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam I, no. 1 (2012): 159–82.[2] Menyatakan bahwa, Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak ditemukan kalangan milenial mendukung tindakan ekstrim yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, antara lain; penelitian yang dilakukan oleh Muchith menjelaskan bahwa tindakan radikalisme yang terjadi dalam pendidikan buah dari lemahnya posisi guru sebagai jabatan profesi di Indonesia.[3] Hal ini menjadi penyebab munculnya tindakan intimidasi baik dari guru kepada siswa, dari manajemen sekolah kepada guru, dan dari masyarakat kepada guru atau sekolah. Umro menguatkan pendapat di atas menyatakan bahwa gerakan terorisme yang menjadi permasalahan seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, dilatarbelakangi oleh tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama atau sering dikenal dengan radikalisme agama.[4] Risma Savhira memberikan solusi dalam menangkal paham ekstrim bagi pemuda dengan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam karakter wasathiyah. Melalui sikap wasathiyah tersebut, diharapkan generasi muda lebih bijak dalam menghadapi paham-paham baru yang bermunculan.[5] Ikhsan menambahkan bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah suburnya pertumbuhan paham radikalisme bagi pemuda di perguruan tinggi ialah dengan menanamkan sikap moderasi Islam dengan baik bagi mahasiswa, karena konsep Islam wasathiyah hadir untuk untuk menjawab problematika kehidupan beragama di kampus.[6] Amiruddin menilai paham radikalisme juga rawan muncul bagi kalangan santri di pondok-pondok pesantren, sehingga ia menyarankan selain pembelajaran keislaman yang mengedepankan toleransi, santri juga dibekali rasa cinta tanah air dengan melakukan upacara hari santri dan hari kemerdekaan Republik Indonesia.[7]

Fenomena radikalisme  dan terorisme sesungguhnya me­ru­pakan fenomena gunung es (iceberg) akibat berbagai hal yang bersifat kompleks yang  telah berlangsung demikian lama. Ia muncul baik akibat  ke­senjangan pemikiran, ke­ti­dak­adilan, pe­ma­ham­an  konsep beragama dan ber­negara yang keliru, maupun akibat politik dan pengaruh ideo­logi tran­s­na­sional melalui je­ja­ring sosial yang marak akhir-akhir ini. Untuk itu, diperlukan ada pen­dekatan yang kom­pre­hen­sif dan integral untuk meme­cah­kan masalah ter­se­but baik de­ngan cara soft power  seperti pen­de­katan kultural, sosial, me­lalui kontranarasi di pel­ba­gai media dan sosial me­dia, ins­titusi pen­di­dikan, dan lain­nya, maupun pen­dekatan hard po­wer  dari aparat ke­aman­an agar lebih sigap lagi mem­be­ran­tas radikalisme dan te­rorisme.

*)Penulis adalah Pegiat Isu-isu Ekonomi, Filantropi Islam, Kemanusiaan, dan Perdamaian.



[1] Moderasi Beragama Untuk Mencegah Radikalisme Pada Anak Usia Dini Yuliana1 , Fitri Lusiana1 , Dea Ramadhanyaty2, Anis Rahmawati3 , Rosyida Nurul Anwar1 1Pendidikan Guru PAUD, Universitas PGRI Madiun, Seminar Nasional Paedagoria Volume 1, September 2021, pp. 10-15

[2] KONSEP INTERNALISASI NILAI-NILAI MODERASI BERAGAMA BAGI GENERASI MILENIAL BERBASIS ALQUR’AN Apri Wardana Ritonga Thursina International Islamic Boarding School Malang.  Vol. 4, No. 1, Februari 2021. 73-74.

[3] 13 Muhammad Saekan Muchith, “Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan,” Addin 10, no. 1 (2016): 163, https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1133.

[4] 14 Jakaria Umro, “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Radikalisme Agama Di Sekolah,” Journal Of Islamic Education (JIE) II, no. 1 (2017): 89–108.

[5] 15 Alaika M. Bagus Kurnia PS Risma Savhira D.L.s, “Konsep Wasathiyyah Dan Relavansinya Bagi Pemuda Dalam Menangkal Aliran Sesat,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 19, no. 2 (2019): 321–38, https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v19i2.5372.

[6] 16 M. Alifudin Ikhsan, “Al-Quran Dan Deradikalisasi Paham Keagamaan Di Perguruan Tinggi: Pengarusutamaan Islam Wasathiyah,” Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Hadist 2, no. 2 (2019): 98–112, https://doi.org/10.35132/albayan.v2i2.71.

[7] 17 Yoyok Amirudin, “Peran Pondok Pesantren Dalam Mencegah Paham Radikalisme Agama ( Studi Kualitatif Di Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek Kecamatan Sukun Kota Malang ),” Tabyin: Jurnal Pendidikan Islam 03, no. 01 (2020): 92–103, http://e-journal.stai-iu.ac.id/index.php/tabyin%0APeran.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال