Kisah Kesabaran Ulama dan Nabi di Hadapan Istri

Shafahāt min Akhbār al-Anbiyā' wa al-'Ulamā' wa al-Auliyā' wa al-Hukamā' fi al-Shabri 'alā al-Zaujāt wa al-Hilmi 'alaihinn (Sumber gambar : dokumen penulis)

KULIAHALISLAM.COM – Dulu saya kira para ulama kita ialah orang-orang yang sudah pasti memiliki pendamping hidup yang seperti bidadari. Saya membayangkan bagaimana syahdunya seorang ulama yang tinggi keilmuannya berdampingan dengan seorang istri yang penyabar, lemah lembut, pemalu, patuh, sopan, dan sifat-sifat mulia lainnya. Aih, indahnya. Pikiran saya, seorang perempuan yang kapalnya dinahkodai oleh  seorang ulama pastinya akan berjalan dengan mulus dan damai.

Namun, ternyata anggapan saya tersebut tak sepenuhnya benar, bahkan bisa dikatakan banyak kasus yang justru kebalikannya. Saya cukup tercengang ketika membaca beberapa sisi kehidupan para ulama kita ketika berhadapan dengan istri-istri mereka. Ada yang rutin kena hardik, dimarahi, diomeli, dan bermacam jenis 'kehororan' polah laku istri mereka.

Berikut ini saya pilihkan beberapa episode menarik dari kisah hidup orang-orang saleh bersama istrinya. Di antaranya ada para Nabi 'alaihimussalam, Sahabat, dan beberapa ulama. Kisah-kisah berikut saya nukilkan dari kitab Shafahāt min Akhbār al-Anbiyā' wa al-'Ulamā' wa al-Auliyā' wa al-Hukamā' fi al-Shabri 'alā al-Zaujāt wa al-Hilmi 'alaihinn, karya Yusuf Abjīk al-Sūsiy. Kita akan menyaksikan bagaimana para ulama memberikan keteladanan mereka ketika berhadapan dengan istri-istri mereka.

Di dalam kitabnya Lawāqih al-Anwār al-Qudsiyyah, Imam Sya'rani rahimahullah menuturkan: "Boleh jadi di antara para wali itu kondisi bathinnya istiqamah, akan tetapi diuji perihal istrinya, para sahabatnya, atau dengan yang lainnya sebagai bentuk ujian bagi mereka, dan agar mereka bisa lebih tahan banting terhadap gangguan manusia. Mungkin saja jika orang lain menikahi perempuan yang sama (seperti yang mereka nikahi), belum tentu ia akan tahan dengan gangguannya." 

1. Pengkhianatan kedua istri dari Nabi Nuh dan Nabi Luth 'alaihimassalām.

Allah SWT berfirman: 

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

Artinya: "Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (QS. al-Tahrīm: 10)

Syaikh al-'Allāmah Sidi al-Shiddīq al-Ghummāriy rahimahullah menjelaskan maksud dari pengkhianatan kedua istri Nabi Nuh dan Nabi Luth atas suaminya dalam konteks ayat tersebut, "Istri Nabi Nuh pernah menuduh suaminya gila dan ikut membantu kaumnya dalam mencela dan mengganggunya. Adapun istri Nabi Luth dahulu memberi tahu kaumnya tentang tamu-tamu Nabi Luth bahwasanya mereka itu—para tamu—ialah orang-orang yang rupawan (sebab banyak di antara umat Nabi Luth ialah kaum penyuka sesama jenis)." 

Dari kisah di atas, saya tak habis pikir, selevel nabi saja diuji oleh Allah SWT berupa pengkhianatan—menurut istilah Alqur'an—oleh istrinya, apalagi kita yang notebene manusia biasa, tentu lebih wajar untuk dikhianati. Jadi nanti jangan kaget lah ya. Tapi ya semoga saja tidak. 

2. Kesabaran Nabi Yunus 'alaihissalām terhadap perilaku istrinya

Hujjatul Islām al-Imām al-Ghazali rahimahullāh di dalam kitabnya yang fenomenal Ihyā 'Ulūmi al-Dīn menuliskan seperti ini: "Di antara kisah para nabi 'alaihimussalām, bahwasanya ada suatu rombongan yang bertamu ke kediaman Nabi Yunus 'alaihissalām. Maka beliaupun menjamu mereka. Di saat beliau melayani tamunya tersebut, beberapa kali beliau keluar masuk ke belakang. 

Saat beliau berada di belakang, sang istri menyakitinya dan mengomelinya, sedangkan beliau hanya terdiam saja. Mengetahui kejadian tersebut, para rombongan pun terheran-heran. Saat kembali, Nabi Yunus pun mengatakan, "Kalian tidak perlu merasa heran. Karena sesungguhnya aku pernah memohon kepada Allah SWT di dalam doaku, "Sesuatu yang menyebabkan Engkau harus menghukumku di akhirat, maka segerakanlah di dunia." Allah pun berfirman kepadanya, "Sesungguhnya hukumanmu ialah putri si fulan yang kamu nikahi." Maka aku pun menikahinya dan aku memilih untuk bersabar sebagaimana yang kalian saksikan."

3. Kesabaran Rasulullah Muhammad shallĀhu 'alaihi wasallām ketika menghadapi kemarahan istrinya

Suatu hari Rasulullah dan 'Aisyah Ra terlibat dalam suatu perselisihan, sampai akhirnya keduanya melibatkan Abu Bakar Ra (yang mana beliau adalah ayahanda dari Ibunda 'Aisyah dan mertua dari Rasullullah SAW) sebagai penengah bagi keduanya.

Saat semuanya sudah hadir, Rasulullah SAW mempersilahkan kepada 'Aisyah Ra untuk berbicara, "Kamu yang bicara atau aku?" Sang istri pun menjawab, "Engkau saja yang bicara. Tapi jangan Engkau ucapkan kecuali kebenaran." Abu Bakar—sang ayah—akhirnya menampar wajahnya sampai mulutnya berdarah. 

Dengan begitu marahnya, Abu Bakar mengatakan, "Wahai wanita yang menelantarkan jiwanya!! Apakah pernah beliau mengatakan selain kebenaran?" (Karena ketakutan) Ibunda 'Aisyah pun berlindung di sisi Rasulullah SAW dan duduk di belakang punggung beliau. Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar Ra, "Kami tidak mengundangmu untuk ini, dan kami tidak menginginkan darimu perlakuan seperti ini." 

Lihatlah, bagaimana bijaknya Rasulullah SAW di saat menghadapi problem semacam ini. Beliau tidak 'mengkapok-kapokkan' Ibunda 'Aisyah atau ikut-ikutan memarahinya. Malahan beliau membela dan melindungi Ibunda 'Aisyah dari kemarahan ayahnya.

Pada suatu kesempatan juga, Rasulullah SAW dan Ibunda Aisyah berada dalam suatu pembicaraan. Singkat cerita Ibunda Aisyah marah, lalu ia lampiaskan kemarahannya kepada suaminya, Rasulullah Saw, sampai ia mengatakan "Orang sepertimu mengaku sebagai nabinya Allah?!" Rasulullah SAW hanya tersenyum dan justru membalasnya dengan kelemah lembutan dan pemuliaan.

Mengenai kemarahan istrinya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun sampai hafal tanda-tanda di kala istrinya sedang marah. "Sesungguhnya aku tahu kapan kamu sedang marah dan kapan kamu dalam suasana hati yang tenang?" Ucap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam suatu waktu kepada Ibunda 'Aisyah. Sang istri bertanya (penasaran), "Bagaimana engkau biasa mengetahuinya Ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Jika dalam keadaan senang, saat bersumpah kamu mengucapkan, "Tidak, demi Tuhannya Muhammad." Adapun jika  dalam kondisi marah, kamu mengucapkan, "Tidak, demi Tuhannya Ibrahim". Ibunda 'Aisyah menimpali, "Engkau benar, sesungguhnya aku menanggalkan namamu."

4. Sabarnya seorang Umar ibn Khattāb di hadapan istrinya

Di dalam kitab Tanbīh al-Ghāfilīn, sang muallif Syaikh Abu al-Laits al-Samarqandiy rahimahullāh ketika sampai di pembahasan hak-hak perempuan atas suaminya, beliau menyebutkan: "Yang kelima: jika seorang istri mengomelinya hendaklah ia bersabar atasnya." Ini merupakan nasehat agar si istri tidak terjerumus ke dalam madharrat yang lebih besar lagi.

Dikisahkan bahwasanya seorang lelaki datang kepada Umar ibn Khattāb untuk mengadukan perihal istrinya. Ketika ia telah sampai di depan pintu Umar, ia mendengar istrinya, Ummu Kultsūm tengah mengomeli beliau. Maka si lelaki berkata, "Sesungguhnya aku ini hendak mengadukan perihal istriku kepadanya. Akan tetapi musibah yang sama juga menimpa dirinya." Maka ia pun memutuskan untuk pulang. 

Umar akhirnya memanggilnya, lantas menanyainya. Lelaki tersebut menuturkan, "Sesungguhnya aku ini hendak mengadukan perihal istriku kepadamu. Akan tetapi ketika aku mendengar apa yang aku dengar dari istrimu, maka aku pun memutuskan untuk pulang." Umar Ra menjelaskan, "Sesungguhnya aku menoleransi apa yang ia lakukan terhadapku karena beberapa hak yang ia tunaikan untukku."

Pertama, dia adalah pembatas antara diriku dan api neraka. Karenanyalah hatiku menjadi tenang dan terhindar dari perbuatan yang haram.

Kedua, dia adalah perbendaharaan bagiku ketika aku keluar dari rumah. Karena dialah yang menjaga harta bendaku. 

Ketiga, dialah yang mencucikan baju-bajuku. 

Keempat, dialah yang menyusui anakku. 

Kelima, dialah yang membuatkan roti dan memasakkan makanan untukku."Si lelaki pun berkata, "Sesungguhnya apa yang ada padaku sama seperti yang ada pada dirimu. Maka apa yang engkau tolerir dari kelakuan istrimu, akupun akan menolerir juga."

Nah, kalau versinya Umar, jika kita terbetik untuk marah terhadap istri, maka ingat-ingatlah jasanya. Jika ia marah dan ngomel-ngomel, maka tak perlu dibalas. Cukup didengarkan dan diterima dengan lapang dada. Jasa dan kebaikan-kebaikannya yang amat banyak, sudah lebih dari cukup untuk menutupi kekurangannya di suatu hal lain.

5. Kesabaran Syaikh al-Zāhid Syaqīq al-Balkhī (w. 194 H) rahimahullah.

Syaikh al-'Allāmah al-'Ārif Sidi 'Abdul Ghaniy al-Nābulusiy Ra menuliskan di dalam kitabnya Syarh al-Tharīqah al-Muhammadiyyah: "Dahulu sebagian para ulama besar amat bersabar terhadap buruknya perangai istri-istrinya. Sehingga ketika ditanya akan hal itu, mereka menjawab, "Aku khawatir jika aku menceraikannya, ia akan dinikahi oleh orang yang tidak mampu bersabar atas gangguannya, maka ia bisa jadi malah menyakiti si perempuan." 

Dikisahkan bahwasanya Syaikh Syaqīq mempunyai seorang istri yang buruk perangainya. Ketika ia ditanya, "Mengapa engkau tidak menceraikannya, padahal ia senantiasa menyakitimu dengan perangainya yang buruk?", maka beliaupun menjawab, "Jika ia berperangai buruk, maka aku berperangai baik. Kalaupun aku menceraikannya, aku mampu untuk bersabar. Namun aku khawatir, jika seseorang nanti menikahinya, orang tersebut tidak akan tahan oleh perangainya yang buruk."

6. Al-Imām al-Kabīr Ibn Abī Zayd al-Qairowāniy (w. 386 H) rahimahullah memilih untuk bersabar.

Al-Imam Abu Bakr Ibn al-'Arabiy rahimahullah meriwayatkan di dalam kitabnya Ahkām al-Qur'ān, "Telah mengkabarkan kepadaku Abu al-Qāsim Ibn Abi Habīb di al-Mahdiyyah, dari Abi al-Qāsim al-Sūriy, dari Abi Bakr Ibn 'Abdirrahmān beliau berkata, "Syaikh Abu Muhammad Ibn Abi Zayd ialah seseorang yang memiliki kedudukan ilmu dan agama yang masyhur. Beliau memiliki seorang istri yang buruk muamalahnya. Dia seringkali mengabaikan hak-hak Syaikh dan selalu menyakiti Syaikh dengan lisannya. Maka Syaikh pun di tanyai perihal kesabarannya itu, dan beliau dicela atas pilihannya untuk tetap bersabar atas perangai istrinya. 

Beliaupun menuturkan,"Aku ini seorang lelaki yang Allah telah sempurnakan nikmatnya kepadaku berupa kesehatan tubuh, kelebihan pada ilmu pengetahuan, dan semua yang telah kumiliki. Boleh jadi perempuan itu Allah kirimkan kepadaku sebagai hukuman atas dosaku. Maka aku khawatir jika aku menceraikannya, maka aku akan diberi hukuman yang lebih berat dari dirinya." 

Di atas tadi hanyalah sedikit contoh dari sekian banyaknya kisah-kisah keteladanan para ulama lainnya  tentang kesabaran mereka ketika menghadapi istri-istrinya.

Barangkali kita bertanya-tanya, mengapa Allah pilihkan ujian bagi para ulama berupa cobaan berupa istri yang menuntut mereka untuk bersabar. Jawabannya, karena sabar ialah salah satu hal tersulit dalam hidup. Semakin tinggi derajat seseorang, semakin tinggi juga kadar cobaannya. Kata Nabi, 

يُبتلَى الرَّجلُ على حسْبِ دِينِه 

(Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kadar agamanya). Dan barangkali wallahu a'lam salah satu cobaan terberat dalam hidup adalah menghadapi buruknya salah satu perangai istri atau kemarahan mereka.

Tahu kan Pak Soeharto yang di era Orde Baru begitu berkuasa. Sang istri, Bu Tin disebut-sebut lebih 'berkuasa' dari presiden yang berkuasa selama 32 tahun tersebut. Keputusan apapun yang tidak disetujui oleh sang istri, pasti diralat oleh Pak Harto.

Bahkan ada rumor lucu tentang kedigdayaan sang istri. Kisahnya, pada awal tahun 1998, Pak Harto diminta oleh putrinya untuk tak maju lagi pada bursa pencalonan presiden karena sudah terlalu lama.  Beliau pun menjawab, "La wong saya baru dua tahun jadi presiden. Sebelumnya yang menjabat kan ibumu." Begitu berkuasanya seorang wanita yang identik dengan kelemah lembutan itu.

Ketika Allah ingin mengangkat derajat seorang hamba, Dia tidak hanya meninggikan derajatnya dengan amalan-amalan kebaikan berupa ritual-ritual ibadah saja. Akan tetapi Dia juga akan mengujinya dengan bermacam-macam ujian dan cobaan, yang pada akhirnya memunculkan sifat sabar sebagai respon dari cobaan tersebut. Disinilah kunci ketinggian derajat para ulama itu berada.

Orang-orang yang mampu bersabar, kata Allah, balasannya ialah pahala yang tak terhingga tanpa batas. Allah Swt berfirman:

اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

"Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas." (Az-Zumar: 10)

Semoga kita mampu meneladani kisah-kisah baik para ulama kita.

سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.” Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.(QS.Ar-Ra'd: 24)


Editor : Adis 

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال