Kesultanan Cirebon dan Penyebaran Islam di Jawa Barat

Keraton Kasepuhan Cirebon (Sumber Gambar : Cirebonkota.go.id)

KULIAHALISLAM.COM – Kesultanan Cirebon terletak di Pantai Utara, Jawa Barat dan merupakan Kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. 

Babad setempat seperti Nagarakertabhumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), naskah Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon ditulis oleh Ki Murtasiah pada akhir abad ke-18 menyebutkan bahwa kata Cirebon berasal dari kata “ci” dan “rebon” (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan nelayan di Muarajati, Dukuh Pasembangan yaitu membuat terasi dari udang kecil.

Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi, menyatakan bahwa kata Cirebon adalah perkembangan kata Caruban yang berasal dari istilah Sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk. 

Di Pasembangan terdapat sebuah Pesantren yang bernama Gunung Jati yang dipimpin oleh Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurjati). Di Pesantren inilah Pangeran Walangsungsang (putera Raja Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi) dan adiknya bernama Nyai Rara Santang pertama kali mendapatkan pendidikan agama Islam.

Pada awal abad ke-16, Cirebon masih di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuana. Pangeran Walangsunsang merupakan putera pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan isteri pertamanya bernama Subanglarang. Pangeran Walangsungsang memiliki saudara kandung yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Sebagai anak laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran. Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya bernama Prabu Surawisesa (Putra Prabu Siliwangi) dari isterinya yang kedua bernama Nyai Cantring Manikmayang.

Setelah cukup kuat, Pangeran Walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan Cirebon, kemudian Pangeran Walangsungsang diberikan gelar “Cakrabuana”. Ketika pemerintahannya telah kuat, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang melaksanakan ibadah Haji ke Makkah. Setelah pulang dari Makkah, ia memindahkan pusat kerajaanya ke Lemahwungkuk. Disanalah kemudian didirikan keraton baru yang dinamakannya Pakungwati.

Pendiri kesultanan Cirebon adalah Raden Walangsungsang namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan adalah Syarif Hidayatulah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo). Sumber ini juga menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuana yang merupakan pendiri Dinasti raja-raja Cirebon dan Kesultanan Banten.

Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai kerajaan Islam, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi Kerajaan Pajajaran yang belum menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daearah lain di Jawa Barat. 

Setelah Sunan Gunung Jati wafat (menurut Nagarakertabhumi dan Purwaka Caruban Nagari tahun 1568), dia digantikan cucunya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu.

Pada masa pemerintahannya Cirebon berada di bawah pengaruh Mataram. Kesultanan Cirebon dan Mataram hidup dalam suasana damai. Pada tahun 1590, Raja Mataram, Panembanan Senopati, membantu Raja Cirebon untuk memperkuat tembok yang mengelilingi kota Cirebon. 

Pada tahun 1636, Panembanan Ratu berkunjung ke Mataram sebagai penghormatan kepada Sultan Agung yang telah menguasai sebagian Pulau Jawa.

Kesultanan Cirebon di bawah Pengaruh VOC

Panembanan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya. Keutuhan Cirebon sebagai kerajaan hanya sampai pada masa Panembanan Girilaya (1650-1662). 

Sepeninggalnya Panembanan Ratu, Cirebon diperintah oleh dua putranya bernama Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya (Panembahan Anom). Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan Kesultanan Cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua Kesultanan menjadi proteksi VOC. 

Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh wafat, terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Hal ini mengakibatkan VOC semakin kuat. Namun demikian, kemunduran politik itu ternyata sama sekali tidak mengurangi wibawa Cirebon sebagai pusat agama Islam di Jawa Barat. 

Perannan historis Keislaman yang dijalankan Sunan Gunung Jati tidak pernah hilang dalam kenangan masyarakat. Keraton para keturunan Sunan Gunung Jati tetap di pertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintahan Hindia Belanda. Kesultanan Cirebon hingga kini masih tetap ada meskipun tidak memiliki kekuasaan administratif. 

Sumber : Ensiklopedia Islam Jilid 1 terbitan Ichtiar Baru, Milik Negara Tidak Diperjualbelikan dan berdasarkan www.cirebonkota.go.id

Oleh : Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال