Peradaban Negeri Tetangga : New Zealand (1)

Keindahan Negara New Zealand (Sumber gambar: Newzealand.com)


KULIAHALISLAM.COM - Saat mendengar kata New Zealand, maka yang terbayang adalah kota damai yang dipenuhi dengan domba. Hal itu tidak salah, karena di sana populasi dombanya memang jauh lebih banyak dari pada penduduknya. Dombanya sekitar 10.000.000 sedangkan penduduknya hanya 4.000.000. 

Untuk urusan kedamaian juga tak perlu diragukan. Temanku memilih tinggal di sana juga karena jatuh cinta dengan kedamaiannya. 17 tahun yang lalu ia putuskan untuk meninggalkan Indonesia dengan segala kenyamanannya. Baju berdasi sebagai seorang manajer perusahaan asingpun ia tinggalkan. Ia bawa kedua anaknya yang masih kelas 1 dan 4 (SD) Sekolah Dasar. Sementara istrinya tetap tinggal di Jakarta, bolak-balik Indonesia - New Zealand tiap 3 bulan sekali.

Tadinya saya heran dengan keputusannya, tapi kini aku menjadi paham setelah mendengar cerita kehidupan di sana. Kehidupan yang menurutku bak Negeri dongeng belaka.

Dari cerita yang kudengar, banyak hal yang bisa kusimpulkan tentang New Zealand. Menurutku New Zealand adalah negeri yang humanis, tak gila harta, berbudaya malu tinggi, sangat menghargai privacy, efisien dan pemerintahnya sangat care dengan rakyatnya. Ada banyak hal yg berbeda dengan Negara kita.

Di sana tenaga kerja dihargai bukan semata-mata karena ijazahnya, tapi lebih karena kemampuannya dalam bekerja. Hingga hampir di kata tak ada istilah pekerja kasar. Karena pada hakikatnya seluruh pekerjaan itu adalah sama. Oleh karenanya, sekalipun seorang sarjana tak kan malu melakukan pekerjaan serabutan meski menjadi tukang sapu sekalipun, yang penting pekerjaan itu baik dan mendapatkan cukup uang.

Di sana tenaga manusia sangat dihargai, melebihi tenaga mesin. Untuk sekadar tukang cat saja upahnya mencapai 250.000/jam. Dan untuk sekadar membersihkan talang air yang kotor karena daun saja temanku harus merogoh kocek 5 juta sehari, itupun tak jadi dikerjakan begitu melihat tempatnya agak tinggi, dengan pertimbangan keselamatan. 

Saat mendengar cerita itu, yang terbayang adalah para buruh panjat  kelapa di Negeri kita, yang untuk upah 1.000 perak saja harus pertaruhkan nyawanya. Juga terbayang para buruh yg selalu berdemo untuk menuntut haknya.

Dengan mahalnya tenaga kerja, akupun mencoba usul, mbok ambil tenaga kerja dari Indonesia saja yang murah. Tapi jawabnya tidak mungkin. New Zealand itu bukan seperti Indonesia yang pintunya terbuka begitu saja untuk ribuan tenaga asing meski di Negeri sendiri penganggurannya berjuta-juta. New Zealand tak begitu saja mengizinkan tenaga asing masuk. Karena Pemerintah New Zealand sangat melindungi rakyatnya.

Oleh karena itu, dengan tingginya upah tenaga kerja, maka harga bangunan di sanapun menjadi sangat mahal. Sehingga di sana jarang orang yang mempunyai rumah sendiri. 

Sedangkan bagi mereka yang berhasil membangun rumah, maka rumahnya akan diproduktifkan. Rumah harus bisa membiayai dirinya sendiri. Kamarnya dibuat lebih banyak untuk disewakan kepada mereka yang tidak mempunyai rumah. 

Begitu juga dengan pembantu. Di sana pembantu bukan barang mewah lagi, tapi merupakan hal yang super mewah. Sehingga saat temanku diwawancara tentang kehidupannya di Indonesia yang mempunyai 2 pengasuh anak dan 1 tukang masak, maka orang sana mengira temanku sebagai orang yang sangat-sangat kaya. Hal itu sangat masuk akal. Kita bisa hitung gaji pembantu di sana jika 24 jam seperti di Negeri kita. 

Oleh sebab itulah kenapa di sana wanita malas untuk melahirkan, hingga Negarapun perlu beriklan akan memberikan bonus yang tinggi untuk wanita yang mau melahirkan. Sebab di sana resiko wanita yang melahirkan adalah keluar dari pekerjaannya, karena tak cukup mampu untuk membayar pembantu.

Dalam hati saya merasa malu saat mendengar cerita yang disampaikan, karena ternyata kita termasuk bangsa yang boros dan manja. Saya teringat akan rumahku yang kubiarkan kosong, juga teringat kebiasaan para kelas menengah di Negeri kita, yang rata-rata semua pekerjaan rumahnya dipasrahkan pembantu.

Di sana orang terbiasa mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya dan jarang makan di luar, karena sangat mahal. System Negara telah memaksa mereka untuk hidup hemat dan mandiri. Setiap orang harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Dan suka atau terpaksa, wanita juga harus mau merawat anaknya sendiri. 

Sebuah budaya yang mengingatkanku akan pesan sebuah syair seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan sebagai berikut: "Al-Ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq". Artinya: Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.

Apa yang kudengar saat itu, tiba-tiba membawa ingatanku pada Rosulullah. Saat Rosulullah menambal baju sendiri juga saat Fatimah tangannya melepuh karena menggiling gandum. Rosul tidak ingin merepotkan orang lain, sekalipun kepada istrinya.

“Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sendalnya, dan mengerjakan segala apa yang (layaknya) para suami lakukan di dalam rumah,” (HR. Ahmad).

Dan penghargaan yang diberikan Negara kepada tenaga manusia yang begitu tinggi, akan menjadikan rakyat New Zealand jauh dari kecenderungan untuk saling memperbudakkan.

Oleh  Barid Baroroh



Adis Setiawan

Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Islam di Universitas Islam An Nur Lampung. Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Bekasi Raya

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال