Mengkonsumsi Makanan Halal Menurut Psikologi Islam dan Humanistik

Sumber gambar : Tabligh.id


KULIAHALISLAM.COM - Seiring  perkembangan ilmu kedokteran dan psikologi Islam pada abad ke-7 Masehi dengan didirikannya rumah sakit pertama di dunia yang dibangun oleh Khalifah Bani Umayyah bernama Al-Walid bin Abdil Malik (86-96 Hijriah/705-715 Masehi),  dan Sekolah Tinggi Kedokteran “Kulliyyat fi at-Tibb” yang dalam bahasa latin disebut “culigat”dan bahasa  Inggris disebut “college”.

Maka para Ulama di bidang kauniyyah (ahli psikologi, ahli kedokteran dan  para ahli kesehatan Islam) melakukan penelitian terhadap makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia sehingga mereka mengaitkan keharaman makanan-makanan tertentu dengan dampak negatifnya pada mental manusia. 

Al-Biqa’i (wafat 1480 M), mengutip pendapat al-Haraliy (wafat 1232 M) bahwa jenis daging dapat mempengaruhi sifat-sifat mental seseorang.  

Abraham Maslow (1908-1970), Bapak Psikologi Humanistik dalam teori “Kebutuhan Dasar” berpendapat “Manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh sepesies, tidak berubah dan berasal dari sumber genetis dan naluriah, yang paling dasar, paling kuat dan paling jelas dari antara sekalian kebutuhan manusia adalah kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya secara fisik yaitu kebutuhan makan, minuman,..”.  

Jadi menurut Abraham Maslow (1908-1970), kebutuhan makan, minum merupakan kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidupnya, kebutuhan dasar tersebut murni karena dimotivasi oleh dorongan jiwa dan kodrat semata, ketika manusia kelaparan maka ia akan makan untuk memenuhi keinginan dari dalam jiwanya, pandangan ini hampir sejalan dalam psikologi Islam yang dikembangkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M). 

Psikologi Humanistik berada pada tiga aspek yakni aspek nafsiah, tepatnya pada dimensi al-nafsu, al-‘aql dan kemauan namun psikologi ini belum mengakomodasi dimensi al-ruh, dan al-fitrah.  Dalam pandangan psikologi Islam, tingkah laku manusia bukan hanya sebatas keinginan mengaktualisasikan dirinya, sebagaimana yang dipahami dalam psikologi humanistik, tetapi juga merupakan aktualisasi rentangan dari rangkaian keinginan alam, manusia dan Tuhan.  

Jika dominasi keinginan alam yang dominan maka akan muncul tingkah laku yang bersifat alamiah, seperti makan, minum.  Jika dominasi keinginan Tuhan yang akan diaktualisasi maka akan muncul tingkah laku berupa ibadah.  Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia harus dapat mempengaruhi jiwa manusia.

Al-Qur’an surat Al-An'am ayat (141) disebutkan : “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya dan tidak sama rasanya), makanlah dari buahnya yang bermacam-macam itu”, dan ayat (143) berbunyi “Dan diantara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih” serta ayat (144) dikatakan “yaitu delapan binatang yang berpasangan (sepasang domba, sepasang kambing, sepasang unta, sepasang lembu”. Qs An-Nisa ayat (4) dijelaskan “ Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya”.

Menurut M. Qurais Shihab “Ayat Q.S An-Nisa ayat (4) ini walaupun tidak turun dalam konteks petunjuk tentang makanan, penggunaan kata “akala” yang pada prinsipnya berarti makan dapat dijadikan petunjuk bahwa makanan mempunyai pengaruh terhadap jiwa manusia”.  Setiap makanan yang dimakan manusia harus makanan yang baik (thayyib) lagi halal, makanan yang baik dikonsumsi manusia sudah pasti halal. 

Tuhan mengetahui makanan yang halal lagi baik (thayyib) yang dikonsumsi manusia oleh karena itu Tuhan membuat ketentuan makanan yang boleh dikonsumsi manusia dalam Q.S Al-An’am ayat (141-145). Inilah yang membedakan teori kebutuhan dasar dalam psikologi humanistik dan paradigma psikologi Islam.

Makanan yang dimakan dalam Islam tidak hanya pada aspek nafsiah (dorongan motivasi dalam jiwa) namun juga harus mempengaruhi qalb, ruh dan fitrah.  

Menurut Toshihiko Izutsu, semua kata al-qalb dalam Al-Qur’an mempunyai sisi arti daya nalar, opini, kecerdasan praktis (practical intelligence) atau dalam istilah psikologi, kecakapan untuk memecahkan masalah (problem solving capacity).  

Jika kita lihat jenis-jenis makanan halal dan baik yang dianjurkan dimakan manusia dalam Qur’an diantaranya Q.S Al-An’am ayat (141) seperti buah delima, zaitun, kurma adalah makanan yang menambah tingkat kecerdasan dan daya pikir manusia. Lewat penelitian di Lewis Katz School of Medicine di Temple University mengungkapkan bahwa mengkonsumsi minyak zaitun, meningkatkan kemampuan belajar dan daya ingat.  

Dimensi al-nafsu adalah dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam psikis manusia,   oleh karena itu manusia banyak yang memakan makanan tanpa mengikuti halal baik sehingga mereka memakan segalanya seperti hewan, memakan bangkai, memakan darah hewan, memakan hewan kotor dan menjijikan untuk dimakan. 

Imam Al-Ghazali membagi nafsu menjadi dua yaitu al ghadhwiyah dan al syahwaniyah.  Ketika manusia memakan makanan dan minuman menurut halal dan haram maka ia akan menghindari nafsu syahwaniah yang menyenangkan semata dan juga ia tidak akan mengikuti nafsu ghadhwiyah yakni keinginan mengkonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan dan mencelakakan.

Makanan yang halal juga harus mempengaruhi ruh dan fitrah manusia. Dimensi Al-Ruh adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah (ketuhanan) dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya.  Makanan halal dan baik mendorong manusia untuk menjadikan dirinya berkepribadian sifat-sifat Tuhan. 

Salah satu sifat Tuhan adalah membenci yang berlebih-lebihan, oleh karenanya sedangkan al-fitrah menampilkan sisi spritual-transendental (Allah) sedangkan dari sisi keberadannya menampilkan sisi empiris-historis (manusia).  Allah selalu mengaitkan ayat dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan perintah mengkonsumsi makanan halal dan menjauhi yang haram dengan kalimat “taqwa” hal ini menunjukan pada aspek ibadah, ketika manusia mengimplementasikan ayat tersebut maka ia dikategorikan ibadah.

Oleh: Rabiul Rahman Purba, S.H

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال