Memahami Bahasa Tasawuf (2)

Sumber gambar : dokumen penulis

KULIAHALISLAM.COM - Rasulullah bersabda: Takdir itu adalah rahasia Allah. Maka janganlah kamu bukakan rahasia Allah Azza Wajalla.(HR. Abu Nu'aim dari Ibnu Umar). 

Para ulama tasawuf menjadikan hadis ini dasar agar tidak sembarangan menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan rahasia takdir. Misalnya, akan terjadinya bencana, akan meninggalnya seseorang, siapa yang akan terpilih menjadi pemimpin, dan peristiwa yang berhubungan dengan takdir lainya. 

Biasanya seorang sufi yang al arif billah akan menyampaikanya dengan isyarat-isyarat saja, tidak disampaikanya dengan terus terang, karena begitulah etikanya. Sikap kewira'ian-nya itulah yang memang sulit dipahami dan dicerna orang awam.

Syekh Ibnu Arabi dalam Kitab Al-Futuhatul Makkiyah mengatakan: Ketahuilah bahwa kaum sufi itu tidak hanya membuat istilah-istilah dan isyarat untuk mereka saja, karena mereka mengenal kebenaran secara gamblang. Tetapi mereka membuat istilah dan isyarat itu agar mencegah salah paham, semata karena belas kasihan agar tidak diingkari oleh mereka yang belum sampai, sehingga jika mereka mengingkari kaum sufi, mereka malah tersiksa dengan sendirinya, bahkan tidak meraih manfaat untuk selamanya.

Imam Malik dalam kitab 'Ali al-Adawi mengungkapkan: Barang siapa mempelajari (mengamalkan) tasawuf tanpa fikih maka dia telah zindik, dan barang siapa mempelajari fikih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelajari tasawuf dengan disertai fikih dia meraih kebenaran

Ungkapan-ungkapan rahasia yang terbungkus dengan bahasa tasawuf janganlah dianggap angin lalu karena sesungguhnya itu sesuatu yang sangat bernilai. Berlian-berlian maknawi yang keluar dari lisan para ahli tasawuf sebisanya dibaca, didengar, dipahami dan ditafakuri dengan hati yang suci dan pikiran yang jernih.

Amanah Tersirat Syekh Junaid al-Baghdadi Kepada Para Muridnya

Disuatu pagi Syekh Junaid mengumpulkan para muridnya untuk diberikan sebuah amanah dan tugas. Yaitu masing-masing murid wajib menyembelih unggas disuatu tempat yang tersembunyi dan tidak ada melihatnya. Sebelum waktu petang mereka harus sudah kembali lagi melaporkan tugasnya.

Setelah mendengar amanah dan tugas dari Sang Guru tersebut para murid-muridpun segera pergi ke sebuah pasar membeli unggas. Lalu menyembelih unggasnya ditempat yang mereka yakini sepi dan aman dari pantauan orang lain. 

Sebelum waktu petang tiba para murid-muridpun telah kembali dari tugasnya. Hampir semuanya kembali dengan membawa unggasnya yang telah mati disembelih. Lalu satu persatu dari mereka berkisah dihadapan Sang Guru dimana lokasi dan kronologi mereka menyembelih unggasnya itu. 

Ada yang menyembelihnya dirumah kosong, ada yang ditengah hutan, ada yang dalam goa, ada yang dipinggir sungai jauh dari rumah penduduk serta tempat lainya yang mereka anggap sepi dan tidak ada yang melihatnya. 

Tapi ada salah satu murid yang menjadi perhatian Syekh Junaid serta membuat para murid lainya heran penuh tanda tanya. Si murid ini datang terakhir serta kembali dengan wajah yang terlihat lelah dan kusut sambil membawa kembali unggasnya yang masih hidup. 

Lalu dia berkisah dihadapan Sang Guru "Wahai Guruku...Aku sudah membawa unggas ini dirumah yang kosong, ditengah hutan, didalam goa, ditempat yang jauh dari rumah penduduk, akan tetapi Dia "Allah" selalu melihat dan mengawasiku, sehingga aku tak kuasa melaksanakan amanah-mu...!!"

Jawaban si murid yang terakhir ini, membuat murid-murid yang lain tertegun sekaligus kagum mendengarkan penjelasanya. Lalu Syekh Junaid pun berkata kepada murid-muridnya bahwa murid yang terakhir inilah yang dianggap benar-benar telah memahami dan menghayati pelajaran yang selama bertahun-tahun diajarkanya. Dan benarlah bahwa Dia Allah Maha Melihat atas apa yang diperbuat hamba-Nya dimanapun dia berada. 

Banyak ilmu hikmah yang bisa dipetik dari kisah Syekh Junaid dan para muridnya diatas. Diantaranya adalah adanya makna tersurat dan tersirat yang disisipkan pada amanah tugas tersebut. Yang harus digali lebih dalam oleh para murid-muridnya. Sebab memahami ilmu agama Islam itu harus kaffah (menyeluruh syari'at dan hakikat) tidak sepotong-sepotong. Secara komprehensif dan tidak parsial.

Editor : Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال