Penolakan Gereja di Jagakarsa Analisis Melalui Teori Fazlur Rahman

Penulis: Hanif Aditya Saputra

Latar belakang penolakan gereja di Jagakarsa

Kasus ini terjadi pada tanggal 27 Desember dimana pihak yayasan menghampiri rumah pak Syamsudin selaku RT disana dimana mereka menayakan tentang pembangunan gereja dan meminta izin untuk menyebarkan surat dukungan agar para warga tidak keberatan atas pembangunan gereja di tempat tersebut. 

Selama ini pak Syamsudin tahu jemaat gereja itu beribadah di Cilandak dan di Ampera, sebenarnya pak Syamsudin tidak keberatan, namun berhubung ia seorang ketua RT, ia perlu membicarakan dengan ketua RW, Lurah, hingga tokoh agama dan tokoh masyarakat di desa Jagakarsa dan butuh musyawarah kepada warga di desa jagakarsa. 

Dan pada tanggal 10 Januari diadakan rapat yang di hadiri oleh MUI, tokoh agama, tokoh masyarakat dan FLO. Dan dalam rapat tersebut terdapat berbagai saran dan tanggapan. 

Terutama syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan gereja yang terdapat pada PBM, yaitu Pasal 14 ayat 2 PBM 2006 menyebutkan, pendirian rumah ibadah harus mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah atau kepala desa. Pendiri rumah ibadah juga harus menyertakan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. 

Daftar tersebut harus disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayahnya. Mereka juga mesti mendapat rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten atau kota.

Setelah semua perizinan selesai, panitia pembangunan rumah ibadah masih harus mengajukan permohonan kepada bupati atau wali kota untuk memperoleh IMB. Dan dalam pertemuan itu, klaim Syamsuddin, warga enggan tanda tangan—di RT-nya sendiri katanya ada 225 KK yang menolak, dan semuanya beragama Islam. 

Mereka juga bergerak lebih jauh dengan memasang spanduk penolakan pada Jumat malam. Dia mengaku tak setuju dengan keputusan tersebut, tapi tak bisa apa-apa. Syamsudin berkata "Saya pun enggak bisa berbuat apa-apa. Ini permintaan warga. Saya kan juga dilema. Namanya masyarakat. Jangan diperbesar lagi deh kasusnya, mas," 

Dan pada tanggal 14 Januari 2019 pada siang hari, saat reporter tirto kembali ke lokasi, benda- benda tersebut sudah tidak ada."Itu Satpol PP Jagakarsa yang menurunkan," kata Syamsuddin saat dikonfirmasi Senin siang. Ia mengatakan penurunan spanduk adalah hasil kesepakatan antara ketua RW 04, RW 03, RW 02, ketua RT 06, dan ketua forum RT RW Jagakarsa.

Teori Fazlur Rahman: konteks dan penafsiran

Dalam teori dan pendekatannya, Fazlur Rahman menekankan pentingnya kontekstualisasi untuk memahami ajaran agama. Fazlur Rahman berpendapat bahwa teks-teks keagamaan, termasuk Alqur'an, harus dipahami dalam konteks sejarah di mana teks tersebut diturunkan. Menurutnya, jika konteks sejarah dan sosial tidak dipahami, penafsiran terhadap teks agama bisa menjadi kaku dan tidak relevan dengan tantangan masa kini.

Fazlur Rahman juga menekankan konsep "Double movemet" dalam penafsirannya terhadap Alqur'an. pendekatan ini melibatkan dua langkah besar. Pertama, memahami konteks sejarah di mana teks tersebut diturunkan. 

Kedua, menerapkan prinsip-prinsip moral dari teks ke dalam konteks kontemporer.pendekatan ini memungkinkan adanya fleksibilitas dan relevansi dalam menafsirkan ajaran agama serta memungkinkan adanya solusi terhadap permasalahan yang ada saat ini.

Analisis penolakan gereja di Jagakarsa melalui teori Fazlur Rahman

Konteks historis dan sosial: Kebebasan Beragama: Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah menjamin kebebasan beragama dalam konstitusinya. Namun, dalam praktiknya, terdapat tantangan dan ketegangan terkait kebebasan beragama di tengah keberagaman agama di negara tersebut.

Politik Lokal: Kasus-kasus penolakan gereja atau tempat ibadah lainnya sering kali terkait dengan politik lokal dan dinamika kekuasaan di tingkat daerah. Faktor-faktor seperti pandangan politik pemimpin lokal, kepentingan ekonomi, dan tekanan dari kelompok-kelompok tertentu dapat memengaruhi keputusan terkait izin tempat ibadah.

Isu Tanah dan Tata Ruang: Penolakan tempat ibadah juga dapat terkait dengan isu tanah dan tata ruang di perkotaan yang padat seperti Jakarta. Persaingan untuk lahan dan kepentingan ekonomi sering kali memicu konflik terkait dengan perencanaan dan penggunaan lahan.

Konteks budaya

Tradisi dan Identitas Lokal: Jagakarsa mungkin memiliki tradisi dan identitas lokal yang kuat, dan penolakan terhadap gereja bisa muncul karena dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional dan identitas lokal tersebut.

Ketidakpastian Ekonomi atau Sosial: Ketidakpastian ekonomi atau sosial dapat menciptakan ketegangan dalam masyarakat. Penolakan gereja mungkin muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap perubahan atau sebagai cara untuk menyalahkan kelompok minoritas atas masalah yang ada.

Ketidakpahaman atau Stereotip: Kurangnya pemahaman atau munculnya stereotip terhadap agama atau keyakinan yang berbeda bisa menjadi penyebab penolakan. Persepsi negatif terhadap agama Kristen atau masyarakat Kristen dapat memperkuat sikap penolakan.

Perebutan Ruang dan Sumber Daya: Dalam beberapa kasus, penolakan gereja bisa timbul karena adanya persaingan atas ruang dan sumber daya di masyarakat. Hal ini dapat menciptakan ketegangan antara kelompok-kelompok dalam komunitas.

Kontekstualisasi dan Solusi: Dialog Interagama Lokal: Mengadakan forum dialog antarumat beragama di tingkat lokal yang dipandu oleh pemimpin agama dan tokoh masyarakat setempat. Dialog ini harus memperhitungkan nuansa budaya dan sensitivitas lokal, serta berfokus pada pembangunan saling pengertian dan kerjasama.

Pendidikan dan Kesadaran: Melakukan kampanye pendidikan untuk meningkatkan kesadaran akan pluralisme agama dan pentingnya toleransi antarumat beragama. Ini bisa dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan program pendidikan formal di sekolah-sekolah setempat.

Keterlibatan Masyarakat: Melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pencarian solusi. Mengidentifikasi pemimpin masyarakat yang dihormati dan meminta bantuan mereka dalam memfasilitasi dialog dan merumuskan solusi yang diterima secara luas.

Penghargaan Terhadap Keanekaragaman: Memperkuat nilai-nilai keragaman dan menghargai keanekaragaman agama di Jagakarsa melalui festival atau acara budaya yang merayakan beragamnya kepercayaan dan praktik keagamaan.

Kesimpulan

Kasus penolakan gereja di Jagakarsa menggambarkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam menjaga kerukunan dan toleransi beragama. Melalui pendekatan hermeneutika kontekstual, etika sosial, ijtihad, islah, dan pendidikan masyarakat ala Fazlur Rahman, kita dapat menemukan solusi yang lebih adil dan harmonis. Pendekatan ini tidak hanya membantu menyelesaikan konflik spesifik ini tetapi juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang lebih inklusif dan damai di masa depan.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال