Pelaksanaan Kurban Ditinjau dari Aspek Historis, Syariah dan Hikmah


Sejarah Qurban Pertama yang Dilaksanakan Habil dan Qabil dan Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ dalam Tafsir Qur’an Ibnu Katsir

Sejarah Qurban Habil dan Qabil Berdasarkan Tafsir Surat Al-Maidah, ayat 27-31

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27) لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ (28) إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ (29) فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ (30) فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31)

Artinya : Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mem­persembahkan kurban, maka diterima dari salah dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).Ia (Qabil) berkata, "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa." "Sungguh, kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dari dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itu­lah pembalasan bagi orang-orang yang zalim." Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk mem­perlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menguburkan mayat saudaranya. Berkata (Qabil), "Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.

Tafsir Al-Qur’an Q.S Al-Maidah ayat 27-31 Riwayat Ibnu Katsir

Ibnu Katsir nama lengkapnya adalah Abu Fida Imaduddin Ismail ibn Umar ibn Katsir ibn Dhau’ ibn Katsir al-Quraisy ad-Dimasyqi. Lahir di Masjidil, sebuah Dusun di wilayah Bushara pada tahun 700 Hijriah (1300 M). Ibnu Katsir sudah hafal Al-Qur’an usia 11 tahun. Beliau berguru dengan beberapa Ulama besar diantaranya Ibnu Taimiyah, Imam Adz-Ddzahabi, Abu al-Hajjaj al-Mizzi dan menikahi puterinya. Tahun 748 H, Ibnu Katsir menggantikan gurunya yakni Imam adz-Dzhabi sebagai guru dalam bidang Hadis pada lembaga pendidikan Turba Umm Shalih.

Tafsir Ibnu Katsir merupakan karya fenomenalnya. Ibnu Katsir wafat pada Hari Kamis 26 Sya’ban 774 H (1373 M) dan dimakamkan disisi makam gurunya Ibnu Taimiyah yang terletak di pemakaman Sufi, kota Damaskus (Suriah).Buku Qashash al-Anbiya (Kisah Para Nabi) merupakan karya fenomenalnya selain Tafsir Ibnu Katsir. Kisah-kisahnya bersandar pada Al-Qur’an dan Hadis Sahih. Populeritasnya dimulai ketika beliau terlibat dalam penelitian yang diprakarsai oleh Gubernur Damaskus yaitu Atlunbuga an-Nashiri di akhir tahun 741 H.

Sejarah pelaksanaan Qurban yang dilaksanakan putera Nabi Adam yaitu Habil dan Qabil dijelaskan secara rinci oleh Ibnu Katsir dalam karya besarnya yaitu Tafsir Al-Qur’an Ibnu Katsir dan kitab Qashash al-Anbiya (Sejarah Para Nabi). Penjelasan di bawah ini akan menggunakan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 dan Qashhash al Anbiya.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan kisah yang ia terima dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud. serta dari sejumlah sahabat Nabi bahwa tidak sekali-kali dilahirkan anak (laki-laki) bagi Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ melainkan disertai dengan lahirnya anak perempuan.

Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ  selalu mengawinkan anak lelakinya dengan anak perempuan yang lahir tidak seperut dengannya, dan ia mengawinkan anak perempuannya dengan anak lelaki yang lahir tidak seperut dengannya. Pada akhirnya dilahirkan bagi Nabi Adam dua anak laki-laki yang dikenal dengan nama Habil dan Qabil. Setelah besar Qabil adalah ahli dalam bercocok tanam, sedangkan Habil seorang peternak.

Qabil ber­usia lebih tua daripada Habil, dia mempunyai saudara perempuan se­perut yang lebih cantik daripada saudara perempuan seperut Habil. Kemudian Habil meminta untuk mengawini saudara perempuan Qabil, tetapi Qabil menolak lamarannya dan berkata, "Dia adalah saudara perempuanku yang dilahirkan seperut denganku, lagi pula dia lebih cantik daripada saudara perempuanmu, maka aku lebih berhak untuk mengawininya."

Padahal Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ telah memerintahkan kepada Qabil untuk menikahkan saudara perempuannya dengan Habil, tetapi Qabil tetap menolak. Kemudian keduanya melakukan suatu kurban kepada Allah untuk menentukan siapakah di antara keduanya yang berhak mengawini saudara perempuan yang diperebutkan itu.

Saat itu Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ telah pergi meninggalkan mereka berdua, dia datang ke Mekah untuk ziarah dan melihat Mekah. Allah berfirman, "Tahukah kamu bahwa Aku mempunyai sebuah rumah di bumi ini?" Adam menjawab, "'Ya Allah, saya tidak tahu." Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mempunyai sebuah rumah di Mekah, maka datangilah." Kemudian Adam berkata kepada langit.”Jagalah anak-anakku sebagai amanat," tetapi langit menolak; dan ia berkata kepada bumi hal yang semisal, tetapi bumi pun menolak. Maka Adam berkata kepada Qabil. Qabil menjawab, "Ya, pergilah engkau. Kelak bila engkau kembali, engkau akan menjumpai keluargamu seperti yang engkau sukai." Setelah Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ berangkat, mereka berdua melakukan suatu kurban. Sebelum- itu Qabil membanggakan dirinya atas Habil dengan mengata­kan, "Aku lebih berhak mengawininya daripada kamu, dia adalah saudara perempuanku, dan aku lebih besar daripada kamu serta akulah yang di-wasiati oleh ayahku."

Habil mengurbankan seekor domba yang gemuk, sedangkan Qabil mengurbankan seikat gandum, tetapi ketika ia menjumpai sebulir gandum yang besar di dalamnya, segera dirontokkannya dan di­makannya. Dan ternyata api turun, lalu melahap kurban Habil, sedang­kan kurban Qabil dibiarkan begitu saja (tidak dimakan api).

Menyaksikan hal itu Qabil marah, lalu berkata, "Aku benar-benar akan membunuhmu agar kamu jangan mengawini saudara perempuanku." Maka Habil hanya menjawab, dengan menyatakan :"Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa."

Demikianlah yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Jarir semoga Allah meridhainya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah. telah menceritakan kepada kami Hajjaj.

Dari Ibnu Juraij. telah menceritakan kepadaku Ibnu Khasyam. Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia datang bersama Sa'id ibnu Jubair, lalu Ibnu Khasjam menceritakan dari Ibnu Abbas semoga Allah meridainya, bahwa Nabi Adam  عَلَيْهِ السَلاَمُ melarang seorang wanita kawin dengan saudara lelaki kembarannya, dan ia memerintahkan agar wanita itu dikawini oleh lelaki lain dari kalangan saudara-saudara lelaki lain yang tidak sekembar dengannya.

Tersebutlah bahwa setiap Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ mempunyai anak, dari setiap perut lahirlah seorang bayi laki-laki dan seorang bayi perempuan. Ketika mereka (Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ dan para putranya) menjalankan peraturan tersebut, tiba-tiba lahirlah seorang anak perempuan yang cantik dan lahir pula seorang anak perempuan yang buruk wajahnya (dari lain perut). Lalu saudara lelaki dari wanita yang buruk rupa itu berkata (kepada saudara lelaki wanita yang cantik), "Kawinkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku."

Lelaki saudara si perempuan yang cantik menjawab, 'Tidak, akulah yang lebih berhak untuk mengawini saudara perempuanku." Maka keduanya melakukan suatu kurban, dan ternyata yang diterima adalah kurban milik peternak, sedangkan kurban milik petani tidak diterima, maka si petani (Qabil) membunuh si peternak (Habil). Sanad asar ini  jayyid.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khasyam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: ketika keduanya mempersembahkan kurban (Q.S  Al-Maidah: 27).

Mereka menyuguhkan kurbannya masing-masing, pemilik ternak menyuguhkan kurban seekor domba putih bertanduk lagi gemuk, sedangkan pemilik lahan pertanian menyuguhkan seikat bahan makanan pokoknya. Maka Allah menerima domba dan menyimpannya di dalam surga selama empat puluh tahun.

Domba itulah yang kelak akan disembelih oleh Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ Sanad asar ini jayyid(baik). Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, te­lah menceritakan kepada kami Auf, dari Abul Mugirah. dari Abdullah ibnu Amr yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya kedua anak lelaki Adam yang menyuguhkan kurban, lalu kurban salah seorangnya diterima, sedangkan kurban yang lainnya tidak diterima; salah seorangnya adalah ahli bercocok tanam, sedangkan yang lainnya ada­lah peternak domba. Keduanya telah diperintahkan untuk memper­sembahkan suatu kurban.

Sesungguhnya pemilik ternak mengurbankan seekor kambing yang paling gemuk dan paling baik yang ada pada miliknya dengan hati yang tulus ikhlas, tetapi si petani menyuguhkan hasil panennya yang paling buruk yaitu kuz dan zuwwan serta dengan hati yang tidak ikhlas pula. Dan ternyata Allah menerima kurban si pemilik ternak dan tidak mau menerima kurban si petani. Kisah mengenai keduanya disebutkan oleh Allah Swt. di dalam Al-Qur'an.

Ibnu Jarir mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya si terbunuh adalah orang yang lebih kuat. Tetapi karena takut dengan dosa, ia tidak berani menjatuhkan tangannya kepada saudaranya." Ismail ibnu Rafi' Al-Madani mengatakan bahwa telah dikisahkan kepadaku bahwa kedua anak Adam ketika diperintahkan untuk menyuguhkan kurban salah seorang di antaranya adalah pemilik ternak kambing.

Dan tersebutlah bahwa salah seekor dari kambingnya melahirkan anak kambing yang sangat ia sukai, sehingga di malam hari anak kambing itu dibawanya tidur bersama, dan ia menggendongnya di atas pundaknya karena sangat sayangnya, sehing­ga tiada baginya harta benda yang lebih disukainya daripada anak kambing itu. Ketika ia diperintahkan untuk menyuguhkan kurban, anak kambing itu telah besar, maka ia mengurbankannya karena Allah. Maka Allah menerimanya, dan kambing itu masih tetap hidup di surga sehingga dijadikan tebusan sebagai ganti anak Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ .Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Ansari, telah mencerita­kan kepada kami Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Husain yang telah mengatakan bahwa Adam a.s. berkata kepada Habil dan Qabil, "Sesungguhnya Tuhanku telah menjanjikan kepadaku bahwa kelak di antara keturunan­ku ada orang yang menyuguhkan kurban, maka suguhkanlah kurban oleh kamu berdua, hingga hatiku senang bila melihat kurban kamu berdua diterima."

Lalu keduanya menyuguhkan kurbannya masing-masing, dan tersebutlah bahwa Habil adalah seorang peternak kambing, maka ia mengurbankan seekor kambing yang paling gemuk dan merupakan hartanya yang paling baik. Sedangkan Qabil adalah seorang petani, maka ia mengurbankan hasil terburuk dari panennya. Kemudian Adam  عَلَيْهِ السَلاَمُ berangkat bersama mereka berdua yang masing-masing membawa kurbannya sendiri-sendiri.

Lalu keduanya menaiki bukit dan meletakkan kurbannya masing-masing, setelah itu ketiganya duduk seraya melihat ke arah kurban tersebut. Maka Allah mengirimkan api. Setelah api berada di atas kurban mereka, maka kambing kurban itu mendekatinya, dan api segera memakan kurban Habil serta meninggalkan kurban Qabil. Sesudah itu mereka pulang dan Adam mengetahui bahwa Qabil adalah orang yang dimurkai, maka ia berkata (kepadanya), "Celakalah kamu, hai Qabil. kurbanmu tidak diterima."

Tetapi Qabil menjawab, "Engkau mencintainya dan mendoakan kurbannya. Karena itu kurban­nya diterima, sedangkan kurbanku tidak diterima." Lalu Qabil berkata kepada Habil, "Aku benar-benar akan membunuhmu agar aku tenang dari mu. Ayahmu mendoakan dan memberkati kurbanmu, karena itu kurbanmu diterima." Tersebutlah bahwa Qabil selalu mengancam akan membunuh Habil, hingga di suatu sore hari Habil tertahan tidak dapat pulang karena mengurusi ternak kambingnya. Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ merasa khawatir, lalu ia berkata, "Hai Qabil, ke manakah saudaramu?" Qabil menjawab, "Apakah engkau menyuruhku untuk menjadi penggembala baginya? Aku tidak tahu." Adam berkata marah.”Celakalah kamu,Qabil, berangkatlah kamu dan cari saudaramu itu."

Qabil berkata kepada dirinya sendiri.”Malam ini pasti aku akan membunuhnya." Lalu ia mengambil sebuah barang yang tajam dan mendekat ke arah Habil yang saat itu sedang merebahkan tubuhnya. Maka Qabil berkata, "Hai Habil, kurbanmu diterima, sedangkan suguh­an kurbanku ditolak, aku benar-benar akan membunuhmu." Habil menjawab, "Aku suguhkan kurban itu dari hartaku yang terbaik, sedangkan engkau mengurbankan hartamu yang buruk. Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah hanya mau menerima dari orang-orang yang bertakwa."

Ketika Habil mengucapkan kata-kata itu, Qabil marah, lalu ia mengangkat benda tajam itu dan ia pukulkan kepada Habil. Habil sem­pat berkata, "Celakalah kamu, hai Qabil. Ingatlah kamu kepada Allah, mana mungkin Dia memberimu pahala dengan perbuatanmu ini!" Ma­ka Qabil membunuhnya dan melemparkannya di tanah yang legok, lalu menutupinya dengan tanah.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari sebagian orang yang ahli mengenai kitab terdahulu, bahwa Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ memerintahkan kepada putranya yang bernama Qabil untuk menikah dengan saudara perempuan sekembar dengan Habil, dan memerintahkan kepada Habil untuk mengawini saudara perempuan yang lahir bersama Qabil.

Habil menuruti perintahnya dan rela, lain halnya dengan Qabil, ia menolak dan tidak suka kawin dengan saudara perempuan Habil karena ia menyenangi saudara perempuannya sendiri. Lalu ia berkata, "Kami dilahirkan di dalam surga, sedangkan mereka dilahirkan di bumi, ma­ka aku lebih berhak atas saudaraku."

Sebagian ahli ilmu mengenai kitab terdahulu ada yang mengata­kan bahwa saudara perempuan Qabil adalah wanita yang cantik, sehingga Qabil tidak mau menyerahkannya kepada saudara lelakinya, dan dia bermaksud untuk mengawininya sendiri. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui,mana yang benar di antara kedua pendapat di atas.Maka ayahnya berkata kepadanya, "Hai anakku Qabil, sesung­guhnya saudara perempuan kembaranmu itu tidak halal bagimu."

Tetapi Qabil menolak perkataan ayahnya itu dan tidak mau menuruti nasihatnya.
Akhirnya ayahnya berkata, "Hai anakku, suguhkanlah kurban. Begitu pula saudara lelakimu Habil. Maka siapa di antara kamu yang diterima kurbannya, dialah yang berhak mengawininya."


Qabil mempunyai mata pencaharian menggarap lahan sawah (petani), sedangkan Habil adalah seorang peternak. Maka Qabil menyuguhkan kurban berupa gandum, dan Habil mengurbankan se­ekor kambing yang gemuk lagi muda.

Menurut sebagian dari mereka, Habil mengurbankan seekor sapi betina. Maka Allah mengirimkan api yang putih, lalu api itu memakan kurban Habil. sedangkan kurban Qabil dibiarkannya. Dengan demikian, berarti kurban Habil diterima. Demikianlah menurut Ibnu Jarir.


Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang telah mencerita­kan bahwa pada saat itu tidak terdapat orang miskin yang akan diberi­nya sedekah (dari kurbannya), melainkan kurban tersebut hanya semata-mata dilakukan oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ketika kedua anak Adam sedang duduk, keduanya mengatakan, "Marilah kita menyuguhkan kurban." Dan tersebutlah bila seseorang menyuguhkan kurbannya, lalu kurbannya itu diterima oleh Allah, maka Allah mengirimkan kepadanya api, lalu api itu memakan kurbannya; jika kurbannya tidak diterima oleh Allah, maka api itu padam. Lalu keduanya menyuguhkan kurbannya masing-masing; salah seorang adalah penggembala, sedangkan yang lainnya petani.

Si peter­nak menyuguhkan kurban berupa seekor kambing yang paling baik dan paling gemuk di antara ternak miliknya, sedangkan yang lain berkurban sebagian dari hasil tanamannya. Lalu datanglah api dan turun di antara keduanya, maka api itu memakan kambing dan membiarkan hasil panen. Kemudian anak Adam yang kurbannya tidak diterima berkata kepada saudaranya yang kurbannya diterima, "Apakah nanti kamu berjalan di antara orang banyak, sedangkan mereka telah mengetahui bahwa engkau telah menyuguhkan suatu kurban dan ternyata kurban­mu diterima, sedangkan kurbanku tidak diterima dan dikembalikan kepadaku.

Tidak, demi Allah, manusia tidak boleh memandang diriku, sedangkan engkau lebih baik dariku." Kemudian Qabil berkata, "Aku benar-benar akan membunuhmu." Lalu saudaranya menjawab, "Apakah dosaku? Sesungguhnya Allah hanya mau menerima dari orang-orang yang bertakwa." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Asar ini menyimpulkan bahwa penyuguhan kurban yang dilakukan oleh keduanya bukan karena ada latar belakangnya, bukan pula karena memperebutkan seorang wanita, seperti apa yang telah disebutkan dari riwayat sejumlah ulama yang telah disebutkan di atas. Dan memang inilah pengertian yang tersimpulkan dari makna lahiriah firman-Nya yang mengatakan:

{إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لأقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ}

Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima(kurban) dari orang-orang yang bertakwa " (Al-Maidah: 27).

Konteks ayat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang membuat Qabil marah dan dengki ialah karena kurban saudaranya diterima, sedangkan kurban dirinya sendiri tidak diterima.Kemudian menurut pendapat yang terkenal di kalangan jumhur ulama, orang yang mengurbankan kambing adalah Habil, sedangkan yang mengurbankan makanan adalah Qabil; dan ternyata kurban Habil diterima, sedangkan kurban Qabil tidak.

Sehingga Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa kambing gibasy itulah yang dijadikan sebagai tebusan bagi diri Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Pendapat inilah yang lebih sesuai, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Hal yang sama telah dinaskan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, dan pendapat inilah yang termasyhur. Akan tetapi, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia pernah mengatakan, "Orang yang mempersembahkan kurban berupa hasil tani adalah Qabil, kurbannyalah yang diterima." Pendapat ini berbeda dengan apa yang sudah dikenal, barangkali Ibnu Jarir kurang baik dalam menghafal asar darinya.

Firman Allah .:

{إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ}

Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. (Al-Maidah:27)

Yakni dari orang yang bertakwa kepada Allah dalam mengerjakan hal tersebut.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Ala ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepadaku Safwan ibnu Amr ibnu Tamim' yakni Ibnu Malik Al-Muqri  yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Darda berkata, "Sesungguhnya bila ia merasa yakin bahwa Allah telah menerima baginya suatu salat, hal ini lebih ia sukai daripada dunia dan seisinya.Karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa' (Al-Maidah: 27).

Firman Allah .:

{لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ}

"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan seru sekalian alam.” (Al-Maidah: 28).Hal ini dikatakan oleh saudaranya yaitu seorang lelaki saleh yang kurbannya diterima oleh Allah— karena takwanya, di saat saudaranya mengancam akan membunuhnya tanpa dosa sedikit pun.

{لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأقْتُلَكَ}

Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. (Al-Maidah: 28)
Yakni aku tidak akan membalas perbuatanmu yang jahat itu dengan kejahatan yang semisal, karena akibatnya aku dan kamu menjadi sama berdosanya.

{إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ}

Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Tuhan seru sekalian alam.
Yaitu bila aku berbuat seperti apa yang hendak kamu perbuat, melainkan aku akan tetap sabar dan mengharapkan pahala Allah.  Abdullah ibnu Amr berkata, "Demi Allah, sesungguhnya dia (si terbunuh) adalah orang yang paling kuat di antara keduanya, tetapi ia tercegah oleh perasaan takut berdosa, yakni dia memiliki sifat wara'."  Karena itulah di dalam kitab Sahihain dari Nabi
disebutkan bahwa Nabi telah bersabda:

"إِذَا تَوَاجَهَ الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: "إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ".

Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan pedangnya masing-masing, maka si pembunuh dan si terbunuh dimasukkan ke dalam neraka (dua-duanya). Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau si pembunuh kami maklumi. Tetapi mengapa si terbunuh dimasukkan pula ke dalamnya?" Maka Nabimenjawab: Sesungguhnya dia pun berkemauan keras untuk membunuh temannya itu.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عَيَّاش بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بُسْر بْنِ سَعِيدٍ ؛ أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ عِنْدَ فِتْنَةِ عُثْمَانَ: أَشْهَدُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ، الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ، وَالْقَائِمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي". قَالَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ دَخَلَ عَلَيَّ بَيْتِي فَبَسَطَ يَدَهُ إليَّ لِيَقْتُلَنِي قَالَ: "كُنْ كَابْنِ آدَمَ".

Imam Ahmad semoga Allah merahmatinya, mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd, dari Ayyasy ibnu Abbas, dari Bukair ibnu Abdullah, dari Bisyr ibnu Sa'id, bahwa Sa'd ibnu Waqqas pernah menceritakan bahwa sehubungan dengan fitnah di zaman Khalifah Usman ia menyaksikan Rasulullah bersabda:Sesungguhnya kelak akan ada fitnah orang yang duduk di masa itu lebih baik daripada orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berlari. Sa'd ibnu Abu Waqqas bertanya, "Bagaimanakah menurutmu jika seseorang masuk ke dalam rumahku, lalu menggerakkan tangannya ke arah diriku untuk membunuhku?" .

Maka Rasulullah bersabda: Jadilah kamu seperti anak Adam (Habil). 
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Qutaibah ibnu Sa'id; dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Sehubungan dengan bab ini terdapat hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Khabbab ibnul Art, Abu Bakar, Ibnu Mas'ud, Abu Waqid, Abu Musa, dan Kharsyah. Sebagian dari hadis ini diriwayatkan dari Al-Lais ibnu Sa'd, dan di dalam sanadnya ditambahkan seorang lelaki.

Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan bahwa lelaki itu adalah Husain Al-Asyja'i.
Menurut hemat kami telah diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud melalui jalur Husain Al-Asyja'i. Untuk itu Abu Daud mengatakan bahwa:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ الرَّمْلِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ، عَنْ عَيَّاشِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ بُكَيْر، عَنْ بُسْر بْنِ سَعِيدٍ عَنْ حُسَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْجَعِيِّ؛ أَنَّهُ سَمِعَ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ دَخَلَ عَلَيَّ بَيْتِي وَبَسَطَ يَدَهُ لِيَقْتُلَنِي؟ قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُنْ كَابْنِ آدَم" وَتَلَا يَزِيدُ: {لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ}

Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Khalid Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl, dari Ayyasy ibnu Abbas, dari Bukair, dari Bisyr ibnu Sa'id, dari Husain ibnu Abdur Rahman Al-Asyja'i, bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas, menceritakan hadis ini dari Nabi. Untuk itu ia mengatakan, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu jika seseorang masuk ke dalam rumahku, lalu menggerakkan tangannya untuk membunuhku"? Maka Rasulullah menjawab melalui sabdanya: Jadilah kamu seperti anak Adam. Lalu membacakan firman-Nya: Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.(Al-Maidah:28).

Ayyub As-Sukhtiyani mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mula-mula mengamalkan ayat ini dari umat ini adalah Usman ibnu Affan, radhiallahu anhu, yaitu firman-Nya: “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Tuhan seru sekalian alam. (Al-Maidah: 28)”; Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مَرْحوم، حَدَّثَنِي أَبُو عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: رَكِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِمَارًا وَأَرْدَفَنِي خَلْفَهُ، وَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرَأَيْتَ إِنْ أَصَابَ النَّاسَ جوعٌ شَدِيدٌ لَا تَسْتَطِيعُ أَنْ تَقُومَ مِنْ فِرَاشِكَ إِلَى مَسْجِدِكَ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ ". قَالَ: قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "تَعَفَّفْ" قَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرَأَيْتَ إِنْ أَصَابَ النَّاسَ موتٌ شَدِيدٌ، وَيَكُونُ الْبَيْتُ فِيهِ بِالْعَبْدِ، يَعْنِي الْقَبْرَ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ " قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "اصْبِرْ". قَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَ النَّاسُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، يَعْنِي حَتَّى تَغْرَقَ حِجَارَةُ الزَّيْتِ مِنَ الدِّمَاءِ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ ". قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "اقْعُدْ فِي بَيْتِكَ وَأَغْلِقْ عَلَيْكَ بَابَكَ". قَالَ: فَإِنْ لَمْ أتْرَك؟ قال: "فأت من أنت منهم، فكن فِيهِمْ قَالَ: فَآخُذُ سِلَاحِي؟ قَالَ: "إذًا تُشَارِكُهُمْ فِيمَا هُمْ فِيهِ، وَلَكِنْ إِنْ خَشِيتَ أَنْ يُرَوِّعَكَ شُعَاعُ السَّيْفِ، فَأَلْقِ طَرْفَ رِدَائِكَ عَلَى وَجْهِكَ حَتَّى يَبُوءَ بِإِثْمِهِ وَإِثْمِكَ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Marwah, telah menceritakan kepadaku Abu Imran Al-Juni, dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Zar yang telah menceritakan bahwa Nabi mengendarai keledai dan memboncengku di belakangnya, lalu beliau Nabi bersabda: Hai Abu Zar, bagaimanakah pendapaimu jika manusia tertimpa kelaparan yang sangat hingga kamu tidak mampu bangkit dari tempat tidurmu untuk ke masjidmu, maka apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Zar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullahmenjawab, "Peliharalah kehormatanmu (jangan meminta-minta)."

Rasulullah bersabda, "Hai Abu Zar, bagaimanakah pendapatmu jika manu­sia tertimpa kematian yang sangat, sehingga rumahnya adalah kuburan, maka apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Zar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, 'Sabarlah." Lalu ditanya, "Hai Abu Zar, bagai­manakah menurutmu, kalau manusia satu sama lainnya saling membunuh, sehingga terjadi banjir darah, maka apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Zar menjawab.”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah bersabda.”Duduklah di dalam rumahmu dan kuncilah rapat-rapat pintu rumahmu.” Abu Zar bertanya, "Bagaimanakah jika aku tidak mau tinggal di rumah?”

 Rasulullah menjawab, "Maka datanglah kepada orang-orang yang kamu adalah sebagian dari mereka, kemudian bergabunglah dengan mereka.”Abu Zar bertanya "Berarti aku mengangkat senjataku?” Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Kalau demikian, berarti kamu ikut bersama dengan mereka dalam apa yang sedang mereka kerjakan. Tetapi jika kamu merasa takut akan kilatan pedang, maka tutupilah wajahmu dengan ujung kain selendangmu, agar dia (si pembunuh)membawa dosanya sendiri dan dosamu."

Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan, kecuali Imam Nasa’i melalui berbagai jalur dari Abu Imran Al-Juni, dari Abdullah ibnus Samit dengan lafaz yang sama. 
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Hammad ibnu Zaid, dari Abu Imran, dari Al-Musya'as ibnu Tarif, dari Abdullah ibnus Samit dari Abu Zar dengan lafaz yang semisal.  Imam Abu Daud mengatakan bahwa Al-Musya'as tiada yang menyebutkannya dalam hadis ini selain Hammad ibnu Zaid.

قَالَ ابْنُ مَرْدُويَه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ دُحَيْم، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَازِمٍ، حَدَّثَنَا قَبِيصَة بْنُ عُقْبَة، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ رِبْعِيّ قَالَ: كُنَّا فِي جِنَازَةِ حُذَيفة، فَسَمِعْتُ رَجُلًا يَقُولُ: سَمِعْتُ هَذَا يَقُولُ فِي نَاسٍ: مِمَّا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَئِنِ اقْتَتَلْتُمْ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى أَقْصَى بَيْتٍ فِي دَارِي، فلألجنَّه، فَلَئِنْ دَخَلَ عَليّ فُلَانٌ لَأَقُولُنَّ: هَا بُؤْ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ، فَأَكُونُ كَخَيْرِ

ابْنَيْ آدَمَ.

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Qubaisah ibnu Uqbah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Rib'i yang telah menceritakan, "Ketika kami sedang melayat jenazah Huzaifah, aku mendengar seorang lelaki berkata bahwa ia pernah mendengar je­nazah ini mengatakan di antara orang banyak apa yang pernah ia dengar dari Rasulullah yaitu: Sungguh jika kalian saling membunuh, aku benar-benar akan mencari suatu tempat yang paling sulit dicapai di dalam rumah­ku, dan sungguh aku benar-benar akan bersembunyi di tempat itu. Kalau ada si Fulan yang masuk kepadaku, maka aku akan katakan kepadanya, 'Hai, inilah dosaku dan dosamu, dan aku akan menjadi seperti salah seorang yang paling baik di antara dua orang anak Adam!'

Firman-Nya:

{إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ}

Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menja­di penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 29)

Ibnu Abbas, Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri. (Al-Maidah: 29); Makna yang dimaksud ialah "memikul dosa membunuhku dan dosamu yang lainnya yang kamu lakukan sebelumnya".Demikianlah menurut Tafsir Ibnu Jarir. 

Sedangkan menurut yang lainnya, makna yang dimaksud ialah "sesungguhnya aku bermaksud agar kamu kelak kembali dengan membawa semua dosaku, lalu dosa-dosa itu kamu pikul bebannya dan juga dosamu dalam membunuhku". Ini menurut suatu pendapat yang kujumpai bersumberkan dari Mujahid, tetapi aku merasa khawatir bila ini suatu kekeliruan, mengingat hal yang benar dari riwayatnya berpendapat berbeda. Yakni berbeda dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri. dari Mansur, dari Mujahid. 

Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan(membawa) dosa (membunuh). (Al-Maidah: 29); Yaitu karena kamu telah membunuhku. Dan lafaz “ismuka” yakni "dosa-dosamu sendiri yang telah kamu lakukan sebelum itu". Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Isa ibnu Abu Nujai', dari Mujahid.

Syibl telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) dan dosamu.sendiri. (Al-Maidah: 29); Makna yang dimaksud ialah bahwa sesungguhnya aku bermaksud agar kamu memikul semua dosa-dosaku dan dosa membunuhku, maka ka­mu kembali kelak dengan membawa dan memikul kedua dosa itu secara bersamaan.

Menurut hemat kami, telah terjadi suatu kesalahpahaman di kalangan orang banyak mengenai pendapat ini, dan mereka mengetengahkan sehubungan dengannya sebuah hadis yang tidak ada asalnya, yaitu:

مَا تَرَكَ الْقَاتِلُ عَلَى الْمَقْتُولِ مِنْ ذَنْبٍ

Tiada suatu dosa pun yang ditinggalkan oleh si pembunuh atas si terbunuh.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar telah meriwatyatkan sebuah hadis yang serupa dengan hadis di atas. tetapi tidak sama. 


حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا عَامِرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْأَصْبَهَانِيُّ، حدثنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا عتبة بن سعيد، عن هشام بْنِ عُرْوَة، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَتْلُ الصَّبْر لَا يَمُرُّ بِذَنْبٍ إِلَّا مَحَاهُ".

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali. telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Ibrahim Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Sa'id, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya. dari Sayyidah  Aisyah semoga Allah meridainya, yang telah menceritakan bahwa Rasulullah telah bersabda: Terbunuh dengan sabar, tiada melalui suatu dosa pun melainkan pasti dihapuskan karenanya.

Bila dibandingkan dengan hadis ini, maka hadis di atas tidak sahih; tetapi seandainya memang sahih, maka makna yang dimaksud ialah bahwa Allah menghapuskan dosa-dosa dari diri si terbunuh sebagai imbalan dari merasakan sakitnya mati.

Adapun jika diartikan bahwa dosa-dosanya dipikulkan kepada si pembunuh, maka pengertian ini tidak benar. Akan tetapi, pada sebagian orang kebanyakan pengertian ini sesuai, karena sesungguhnya si terbunuh kelak menuntut si pembunuh di hari peradilan Allah kelak. Maka diambilkan baginya sebagian dari kebaikan si pembunuh sesuai dengan perbuatan zalimnya. Apabila kebaikan si pembunuh telah habis, sedangkan dia masih belum dapat melunasinya, maka diambilkan sebagian dari dosa si terbunuh, lalu dibebankan kepada si pembunuh; dan barangkali si terbunuh tidak lagi mempunyai dosa karena semuanya telah dipikulkan kepada si pembunuhnya. Ada sebuah hadis sahih yang menyatakan hal ini bersumberkan dari Rasulullah ﷺ.

Dalam masalah seluruh mazalim (perbuatan-perbuatan aniaya), sedangkan perbuatan membunuh jiwa merupakan perbuatan zalim yang paling besar dan paling berat, wallahu a'lam.


Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar mengenai masalah ini ialah yang mengatakan bahwa takwil ayat adalah seperti berikut, "Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosamu karena kamu telah membunuhku." Pengertian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:  Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan(membawa) dosa (membunuh). (Al-Maidah: 29).

Adapun mengenai makna firman-Nya: dan dosamu. (Al-Maidah: 29); maka dosa tersebut adalah dosanya sendiri, seperti berbuat maksiat kepada Allah dalam amal perbuatan yang lain. Sesungguhnya kami katakan tafsir ini adalah tafsir yang benar, tiada lain karena ulama ahli takwil telah sepakat mengenainya, dan bahwa Allah telah memberitahu­kan kepada kita bahwa "setiap orang yang beramal, maka balasan amalnya adalah untuknya sendiri atau membinasakan dirinya (jika amalnya jahat)".

Apabila memang demikian ketetapan Allah pada makhluk-Nya, berarti tidak dapat dikatakan bahwa dosa-dosa si terbunuh diambil, lalu dibebankan kepada si pembunuh. Dan sesungguhnya si pembunuh hanya dihukum karena dosanya sendiri, yaitu perbuatan pembunuhan yang diharamkan dan dosa-dosa lainnya yang dikerjakannya sendiri, bukan dosa terbunuh yang dipikulkan atas dirinya. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir.

Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan suatu hipotesis sehubungan dengan masalah ini, yang kesimpulannya menyatakan "mengapa Habil menginginkan agar saudaranya—yaitu Qabil— memikul dosa membunuh dirinya dan juga dosa dirinya sendiri, padahal perbuatan membunuh jelas haram". Lalu Ibnu Jarir mengemukakan jawabannya, yang intinya mengatakan bahwa kedudukan Habil menjelaskan perihal dirinya dengan maksud agar Qabil jangan sampai melangsungkan niatnya; jika terjadi pembunuhan, maka bukan dia yang menjadi penyebabnya, melainkansemata-mata atas kehendak Qabil sendiri. Menurut hemat kami ucapan ini mengandung nasihat bagi Qabil seandainya ia mau menerimanya, dan sebagai peringatan untuknya seandainya dia menyadarinya.

Karena itulah Allah berfirman: Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri. (Al-Maidah: 29); Yaitu kamu menanggung dosaku dan dosamu sendiri. 

{فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ}

Maka kamu akun menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 29) Ibnu Abbas mengatakan bahwa Habil menakut-nakuti Qabil dengan siksaan neraka tetapi ia tidak takut dan tidak menghiraukannya. 

Firman Allah :

{فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ}

Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. (Al-Maidah: 30)

Yakni maka hawa nafsu Qabil merayu dan memacu dirinya untuk membunuh saudaranya, lalu ia membunuhnya, sesudah saudaranya memberikan nasihat dan peringatan di atas.
Dalam pembahasan yang lalu yaitu dalam riwayat yang bersumber­kan dari Abu Ja'far Al-Baqir alias Muhammad ibnu Ali ibnul Husain— disebutkan bahwa Qabil membunuh Habil dengan sebuah barang tajam yang digenggamnya.

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah ibnu Abdullah, juga dari sejumlah sahabat Nabibahwa setelah hawa nafsu Qabil mendorongnya untuk membunuh saudaranya, maka ia mencari-cari saudaranya untuk ia bunuh, lalu ia berangkat mencarinya di daerah puncak pegunungan.

Kemudian pada suatu hari ia datang kepada saudaranya yang saat itu sedang menggembalakan ternak kambingnya Ketika Qabil datang, Habil sedang tidur, lalu ia mengangkat sebongkah batu besar, kemudian ia pukulkan ke atas kepala Habil sehingga Habil mati seketika itu juga dan jenazahnya dibiarkan di padang (tanah lapang). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Diriwayatkan dari sebagian Ahli Kitab bahwa Qabil membunuh Habil dengan mencekik dan menggigitnya, sama halnya dengan hewan pemangsa yang membunuh mangsanya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ketika Qabil hendak membunuh Habil, maka Qabil membungkukkan lehernya (dengan maksud akan menggigitnya), maka iblis mengambil seekor binatang, lalu meletakkan kepala binatang itu di atas batu, lalu iblis mengambil sebuah batu dan memukulkannya ke kepala binatang itu hingga mati, sedangkan Qabil melihatnya.

Lalu ia mempraktekkan hal yang semisal terhadap saudaranya.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa Abdullah ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa Qabil memegang kepala Habil dengan maksud ingin membunuhnya, lalu ia hanya menekan kepalanya tanpa mengerti bagaimana cara membunuhnya. Kemudian datanglah iblis dan bertanya kepadanya, "Apakah kamu hendak membunuhnya?" Qabil menjawab, "Ya." Iblis berkata, "Ambillah batu ini dan timpakanlah ke atas kepalanya." Maka Qabil mengambil batu itu dan menimpakannya ke kepala Habil hingga kepala Habil pecah dan meninggal dunia.

Kemudian iblis segera datang menemui Hawa dan berkata, "Hai Hawa, sesungguhnya Qabil telah membunuh Habil." Maka Hawa ber­kata kepadanya, "Celakalah kamu, apakah yang dimaksud dengan terbunuh itu?" Iblis menjawab, "Tidak makan, tidak minum, dan tidak bergerak." Hawa menjawab, "Kalau demikian, itu artinya mati." Iblis berkata, "Memang itulah mati." Maka Hawa menjerit, hingga Adam masuk menemuinya ia masih dalam keadaan menangis menjerit. Lalu Adam mengulangi lagi pertanyaannya, dan Hawa masih tidak menjawab. Maka Adam berkata, "Mulai sekarang kamu dan semua anak perempuanmu menjerit, dan aku serta semua anak lelakiku berlepas diri dari perbuatan itu." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. 

Firman Allah :

{فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ}

Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. (Al-Maidah; 30)
Yakni merugi di dunia dan akhirat, dan memang tiada satu kerugian pun yang lebih besar daripada kerugian seperti ini.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ووَكِيع قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرّة، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُقتَل نَفْسٌ ظُلْمًا، إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki', keduanya mengatakan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Al-A'masy, dari Abdullah, ibnu Murrah, dari Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Tiada seorang pun yang terbunuh secara aniaya, melainkan atas anak Adam yang pertama tanggungan sebagian dari darahnya, karena dialah orang yang mula-mula mengadakanpembunuhan.

Hadis ini telah diketengahkan oleh Jamaah —selain Imam Abu Daud— melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, bahwa Ibnu Juraij telah mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan, "Salah satu dari kaki si pembunuh itu digantungkan berikut dengan betis dan pahanya sejak hari itu, sedangkan wajahnya dipanggang di matahari dan ikut berputar dengannya ke mana pun matahari bergulir. Pada musim panas terdapat api yang membakarnya dan pada musim dingin terdapat salju yang menyengatnya".

Hajjaj mengatakan bahwa Abdullah ibnu Amr pernah mengatakan, "Sesungguhnya kami benar-benar menjumpai anak Adam si pembunuh ini berbagi azab dengan ahli neraka dengan pembagian yang benar. Azab yang dialaminya adalah separo dari azab mereka semua."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hakim ibnu Hakim, bahwa ia pernah menceritakan sebuah riwayat dari Abdullah ibnu Amr yang telah berkata, "Sesungguhnya manusia yang paling celaka ialah anak Adam yang membunuh saudaranya (yakni Qabil), tiada setetes darah pun yang dialirkan di bumi ini sejak dia membunuh saudaranya sampai hari kiamat, melainkan ia kebagian dari siksaannya.

Demikian itu karena dialah orang yang mula-mula melakukan pembunuhan."
Ibrahim An-Nakha’i mengatakan bahwa tiada seorang pun yang terbunuh secara aniaya, melainkan anak Adam yang pertama dan iblis ikut bertanggung jawab terhadapnya. Hal ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Firman Allah .:

{فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الأرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَى أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ}

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia harus menguburkan jenazah saudaranya. Berkata Qabil, "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah:31).

As-Saddi telah meriwayatkan dalam sanad yang terdahulu sampai kepada para sahabat, bahwa ketika anak itu (Habil) meninggal dunia, maka pembunuhnya meninggalkannya di tanah lapang, tanpa menge­tahui bagaimana cara menguburnya. Maka Allah menyuruh dua ekor burung gagak yang bersaudara, lalu keduanya saling baku hantam hingga salah satunya mati, kemudian burung gagak yang menang menggali sebuah galian, lalu tubuh saudaranya itu dimasukkan ke dalam galian itu dan diurug dengan tanah. Ketika anak Adam si pembunuh itu melihatnya, ia berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

{قَالَ يَا وَيْلَتَى أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي}

Aduhai, celakalah aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini? (Al-Maidah: 31). Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa seekor burung gagak datang kepada seekor burung gagak lainnya yang telah mati, lalu ia mengurug tubuhnya dengan tanah hingga tertimbun. Maka berkatalah orang yang telah membunuh saudaranya itu: Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagakjini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudara­ku ini? (Al-Maidah: 31).

Ad-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Qabil menggendong tubuh saudaranya yang ia masukkan ke dalam sebuah karung di atas pundaknya selama satu tahun, hingga Allah menyuruh dua ekor burung gagak. Qabil melihat kedua ekor burung gagak itu menggali-gali di tanah, maka berkatalah Qabil:  mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini? (Al-Maidah: 31). Lalu ia menguburkan mayat saudaranya.
Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Qabil menggendong mayat saudaranya di atas pundaknya selama seratus tahun, tanpa mengerti apa yang harus ia lakukan terhadapnya; bila lelah, ia meletakkannya di tanah, hingga ia melihat seekor burung gagak mengubur seekor burung gagak lainnya yang telah mati.

Setelah menyaksikan pemandangan itu, ia berkata: Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini? Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah: 31)
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan ibnu Jarir.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa tatkala Qabil membunuh Habil, maka Qabil menyesali perbuatannya itu, lalu ia memeluk tubuh saudaranya yang telah mati itu hingga berbau, sedangkan burung-burung dan hewan-hewan pemangsa menunggu-nunggu di sekitarnya kapan ia membuang jenazah saudaranya, sebab mereka akan memakannya.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari sebagian ahli ilmu mengenai kitab terdahulu, bahwa setelah Qabil membunuhnya, maka ia tertegun kebingungan tanpa mengetahui apa yang akan dilakukan terhadap mayat saudaranya dan bagaimanakah cara menguburnya.

Demikian itu karena hal tersebut, menurut dugaan mereka, merupakan peristiwa pembunuhan yang pertama kalinya di kalangan Bani Adam dan juga permulaan orang yang mati, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya(Qabil) bagaimana dia menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil, "Aduhai, celaka aku. mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah: 31).

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, ahli kitab Taurat menduga bahwa ketika Qabil telah membunuh saudaranya Habil, Allah berfirman kepadanya,"Hai Qabil, di manakah saudaramu Habil?" Qabil menjawab, ''Saya tidak mengetahui, saya bukan orang yang ditugaskan untuk menjaganya." Allah berfirman, "Sesungguhnya darah saudaramu memanggil-manggil-Ku dari bumi sekarang. Kamu orang yang terlaknat di muka bumi yang telah membukakan mulutnya, lalu menelan darah saudaramu yang diakibatkan dari ulah tanganmu. Maka jika kamu bekerja di lahanmu, bumi tidak mau lagi memberikan tanamannya kepadamu, sehingga kamu menjadi ketakutan dan tersesat mengembara di bumi."

Firman Allah .:

{فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ}

Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah: 31)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Allah meliputinya (Qabil) dengan penyesalan dan kerugian.Demikianlah menurut pendapat mufassirin sehubungan dengan kisah ini, mereka semua sepakat bahwa para pelakunya adalah kedua anak Adam, seperti yang tersiratkan dari makna lahiriah Al-Qur'an.

Hal ini jelas dan gamblang. Tetapi Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Yusuf, dari Amr, dari Al-Hasan —yaitu Al-Basri— yang telah mengatakan bahwa kedua orang lelaki yang disebutkan di dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam menurut yang sebenarnya. (Al-Maidah: 27); adalah dua orang lelaki dari kalangan Bani Israil. bukan kedua putra Adam yang sesungguhnya, mengingat persembahan kurban hanya dilakukan oleh kalangan Bani Israiil.

Dan Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ adalah manusia yang mula-mula meninggal dunia.
Riwayat ini aneh sekali, dan dalam sanadnya masih perlu ada yang dipertimbangkan, karena sesungguhnya Abdur Razzaq telah meriwayat­kan dari Ma'mar, dari Al-Hasan, bahwa Rasulullah Sallallahu Alahi Wasallam. pernah bersabda: Sesungguhnya kedua putra Adam
عَلَيْهِ السَلاَمُ telah memberikan suatu contoh bagi umat ini, maka ambillah oleh kalian yang terbaik dari keduanya.Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rasulullah Sallallahu Alahi Wasallam telah bersabda: Sesungguhnya Allah telah membuat suatu perumpamaan untuk kalian melalui kedua putra Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ, maka ambillah oleh kalian contoh yang baik dari mereka dan buanglah oleh kalian contoh yang buruk dari mereka.

Hal yang sama telah diriwayatkan secara mursal oleh Bukair Ibnu Abdullah Al Muzanni yangsemuanya itu diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Salim ibnu Abul Ja'd mengatakan bahwa setelah anak Adam membunuh saudaranya, Nabi Adam tinggal selama seratus tahun dalam keadaan sedih, tidak tertawa sama sekali. Kemudian didatangi dan dikatakan kepadanya, "Semoga Allah menghidupkanmu dan membuat­mu bahagia."

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Gayyas ibnu Ibrahim, dari Abu Ishaq Al-Hamdani yang telah mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Talib pernah berkata,  Setelah anak Adam membunuh saudaranya, maka Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُmenangisinya, dan mengatakan: 'Negeri-negeri dan semua penduduknya telah berubah, kini warna bumi menjadi kelabu lagi buruk, semua yang berwarna kini telah layu dan berubah rasanya serta jarang wajah cantik yang berseri.

Kemudian Nabi Adam dijawab: ‘Hai ayah Habil, kini keduanya telah terbunuh, dan kehidupan kini menjadi sembelihan kematian, maut datang dengan kejahatannya, padahal dahulunya maut masih dalam keadaan takut, tetapi kini ia datang kepada kehidupan dengan suara lantangnya*

Menurut lahiriahnya Qabil disegerakan azabnya, seperti yang telah disebutkan oleh Mujahid dan Ibnu Jubair: kakinya digantung ke atas sejak hari ia melakukan pembunuhan, dan Allah menjadikan wajahnya menghadap ke arah matahari serta ikut berputar bersamanya sebagai siksaan dan pembalasan untuknya. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Sallallahu Alahi Wasallam pernah bersabda:

"مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرَ أَنْ يُعَجَّل اللَّهُ عُقُوبَتَهُ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخر لِصَاحِبِهِ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ البَغْي وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ"

Tidak ada suatu dosa pun yang lebih layak disegerakan siksaan-nya oleh Allah di dunia berikut siksaan di akhirat yang telah disediakan oleh Allah buat pelakunya selain dari bagyu (pem­bunuhan) dan memutuskan tali silaturahmi. Sedangkan kedua perbuatan tersebut telah terhimpunkan di dalam perbuatan Qabil. Maka kami hanya dapat mengatakan bahwa sesung­guhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami semua kembali.

Siapakah Yang Disembelih Nabi Ismail ataukah Nabi Ishaq ?

{وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (99) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ (108) سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111) وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (112) وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ (113) }

Artinya : Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab, "Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, "sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (yaitu).”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq . Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.

Allah menceritakan tentang kekasih-Nya Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمَُ bahwa sesungguhnya setelah Allah menolongnya dari kejahatan kaumnya dan ia merasa putus asa dari keimanan kaumnya, padahal mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang besar. Maka Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ hijrah dari kalangan mereka seraya berkata:

{إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ}

"Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerah­kanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Ash-Shaffat: 99-100). Yakni anak-anak yang taat sebagai ganti dari kaumnya dan kaum kerabatnya yang telah ditinggalkannya. Allah  berfirman:

{فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ}

Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (Ash-Shaffat: 101)

Anak ini adalah Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ karena sesungguhnya dia adalah anak pertamanya yang sebelum kelahirannya, dia telah mendapat berita gembira mengenainya. Dia lebih tua daripada Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ, menurut kesepakatan kaum muslim dan kaum Ahli Kitab, bahkan di dalam nas kitab-kitab mereka disebutkan bahwa ketika Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُmempunyai anak Nabi Ismail  عَلَيْهِ السَلاَمُ , ia berusia delapan puluh enam tahun. Dan ketika beliau mempunyai anak Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ, usia beliau sembilan puluh sembilan tahun.

Menurut mereka (Ahli Kitab), Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ diperintahkan oleh Allah  untuk menyembelih anak tunggalnya itu, dan dalam salinan kitab yang lain disebutkan anak pertamanya. Akan tetapi, mereka mengubahnya dan membuat-buat kedustaan dalam keterangan ini, lalu mengganti dengan Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ. Padahal hal tersebut bertentangan dengan nas kitab asli mereka. Sesungguhnya mereka menyusupkan penggantian dengan memasukkan Nabi Ishaq sebagai ganti Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ karena bapak moyang mereka adalah Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ, sedangkan Nabi Ismail  عَلَيْهِ السَلاَمُadalah bapak moyang bangsa Arab.

Orang-orang Ahli Kitab dengki dan iri hati kepada bangsa Arab, karena itu mereka menambah-nambahinya dan menyelewengkan arti anak tunggal dengan pengertian 'anak yang ada di sisimu,' karena Nabi  Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ telah dibawa pergi oleh Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ bersama ibunya ke Mekah. Takwil seperti ini merupakan takwil yang menyimpang dan batil, karena sesungguhnya pengertian anak tunggal itu adalah anak yang semata wayang bagi Nabi  Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ (saat itu). Lagi pula anak pertama merupakan anak yang paling disayang lebih dari anak yang lahir sesudahnya, maka perintah untuk menyembelih­nya merupakan ujian dan cobaan yang sangat berat.

Sejumlah ahlul 'ilmi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ, menurut apa yang telah diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf; sehingga ada yang menukilnya dari sebagian sahabat. Tetapi hal tersebut bukan bersumber dari Kitabullah, bukan pula dari sunnah. Dan saya dapat memastikan bahwa hal tersebut tidaklah diterima, melainkan dari ulama Ahli Kitab, lalu diterima oleh orang muslim tanpa alasan yang kuat. Yang jelas Kitabullah ini merupakan saksi yang menunjukkan kepada kita bahwa putra yang disembelih itu adalah Isma'il. Karena sesungguhnya Al-Qur'an telah menyebutkan berita gembira bagi Ibrahim akan kelahiran seorangputra yang penyabar dan menyebutkan pula bahwa putranya itulah Az-Zabih (yang disembelih).

Setelah itu disebutkan oleh firman-Nya:

{وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ}

Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat: 112)

Malaikat ketika menyampaikan berita gembira akan kelahiran Ishaq kepada Ibrahim mengatakan:

{إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ عَلِيمٍ}

Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim (Al-Hijr:53)

Dan firman Allah .:

{فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ}

maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71). Yakni dilahirkan bagi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ di masa keduanya (Ibrahim dan istrinya) seorang putra yang diberi nama Ya'qub عَلَيْهِ السَلاَمُ. Dengan demikian, Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ beroleh keturunan dan cucu.

Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa tidaklah mungkin Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُsemasa kecilnya, karena Allah telah menjanjikan kepada keduanya bahwa kelak Ishaq akan melahirkan keturunannya. Maka mana mungkin sesudah semuanya itu Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ diperintahkan agar di sembelih saat ia masih kecil. Dan lagi Nabi Ismail di sini mendapat julukan sebagai orang yang amat sabar, maka predikat inilah yang lebih pantas untuk kedudukan ini (sebagai anak yang rela disembelih).

Firman Allah .:

{فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ}

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. (Ash-Shaffat: 102)Yakni telah tumbuh menjadi dewasa dan dapat pergi dan berjalan bersama ayahnya. Disebutkan bahwa Nabi Ibrahim  عَلَيْهِ السَلاَمُsetiap waktu pergi menengok anaknya dan ibunya di negeri Faran, lalu melihat keadaan keduanya. Disebutkan pula bahwa untuk sampai ke sana Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ mengendarai buraq yang cepat larinya; hanya Allah-lah Yang Maha mengetahui.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata Al-Khurrasani, dan Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, (Ash-Shaffat: 102) Maksudnya, telah tumbuh dewasa dan dapat bepergian serta mampu bekerja dan berusaha sebagaimana yang dilakukan ayahnya.

{فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى}

Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! " (Ash-Shaffat: 102)

Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa mimpi para nabi itu adalah wahyu, kemudian ia membaca firman-Nya: Ibrahim berkata, "Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!"(Ash-Shaffat: 102)

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْجُنَيْدِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الملك الكرندي، حدثنا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ بْنِ يُونُسَ، عَنْ سِمَاك، عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ فِي الْمَنَامِ وَحْي"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Abu Abdul Malik Al-Karnadi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Israil ibnu Yunus, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda: Mimpi para nabi itu merupakan wahyu. Dan sesungguhnya Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ memberitahukan mimpinya itu kepada putranya agar putranya tidak terkejut dengan perintah itu, sekaligus untuk menguji kesabaran dan keteguhan serta keyakinannya sejak usia dini terhadap ketaatan kepada Allah Swt. dan baktinya kepada orang tuanya.

{قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ}

Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah­kan kepadamu.” (Ash-Shaffat: 102)Maksudnya, langsungkanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu untuk menyembelih diriku.

{سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ}

Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102). Ismail Alahi Sallam selalu menepati apa yang dijanjikannya. Karena itu, dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:

{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولا نَبِيًّا وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا}

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk salat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridai di sisi Tuhannya. (Maryam: 54-55).

Adapun firman Allah :

{فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ}

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya), dalam (Ash-Shaffat: 103). Setelah keduanya mengucapkan persaksian dan menyebut nama Allah untuk melakukan penyembelihan itu, yakni persaksian (tasyahhud) untuk mati. Menurut pendapat yang lain, aslama artinya berserah diri dan patuh. Nabi Ibrahim Alahi salam dan Nabi Ismail Alahi salam mengerjakan perintah Allah. sebagai rasa taat keduanya kepada Allah, dan bagi Ismail  عَلَيْهِ السَلاَمُsekaligus berbakti kepada ayahnya. Demikianlah menurut pendapat Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Ishaq, dan lain-lainnya.

Makna tallahu lil jabin ialah merebahkannya dengan wajah yang tengkurap dengan tujuan penyembelihan akan dilakukan dari tengkuknya dan agar Nabi Ibrahim Alahi salam tidak melihat wajahnya saat menyembelihnya, karena cara ini lebih meringankan bebannya. Ibnu Abbas radiallahu anhu, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya). (Ash-Shaffat: 103) Yakni menengkurapkan wajahnya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih dan Yunus. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abu Asim Al-Ganawi, dari Abut Tufail, dari Ibnu Abbas radiallahu anhu yang mengatakan bahwa ketika Nabi Ibrahim Alahi salam. diperintahkan untuk mengerjakan manasik, setan menghadangnya di tempat sa'i, lalu setan menyusulnya, maka Nabi Ibrahim Alahi salam menyusulnya.

Kemudian Jibril Alahi salam membawa Nabi Ibrahim Alahi salam ke jumrah 'aqabah, dan setan kembali menghadangnya; maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil hingga setan itu pergi. Kemudian setan menghadangnya lagi di jumrah wusta, maka Nabi Ibrahim Alahi salam melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil.

Kemudian Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ merebahkan Ismail pada keningnya, saat itu Nabi Ismail mengenakan kain gamis putih, lalu Ismail berkata kepada ayahnya, "Hai Ayah, sesungguhnya aku tidak mempunyai pakaian untuk kain kafanku selain dari yang kukenakan ini, maka lepaskanlah kain ini agar engkau dapat mengafaniku dengannya." Maka Ibrahim bermaksud menanggalkan baju gamis putranya itu.

 Tetapi tiba-tiba ada suara yang menyerunya dari arah belakang: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. (Ash-Shaffat: 104-105); Maka Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ menoleh ke belakang, tiba-tiba ia melihat seekor kambing gibasy putih yang bertanduk lagi gemuk. Ibnu Abbas mengatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarang kami masih terus mencari kambing gibasy jenis itu. Hisyam menyebutkan hadis ini dengan panjang lebar di dalam Kitabul Manasik.

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dengan panjang lebar dari Yunus, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ata ibnus Sa'ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Hanya dalam riwayat ini disebutkan Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ. Menurut riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas  tentang nama anak yang disembelih, ada dua riwayat. Tetapi riwayat yang terkuat adalah yang menyebutnya Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ, karena alasan yang akan kami sebutkan, insya Allah.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Dinar, dari Qatadah, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Bahwa dikeluarkan untuknya seekor kambing gibasy dari surga yang telah digembalakan sebelum itu selama empat puluh musim gugur (tahun). Maka Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ melepaskan putranya dan mengejar kambing gibasy itu. Kambing gibasy itu membawa Nabi Ibrahim ke jumrah ula, lalu Nabi Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Dan kambing itu luput darinya, lalu lari ke jumrah wusta dan Ibrahim mengeluarkannya dari jumrah itu dengan melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil. Kambing itu lari dan ditemuinya ada di jumrah kubra, maka ia melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil. Pada saat itulah kambing itu keluar dari jumrah, dan Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ menangkapnya, lalu membawanya ke tempat penyembelihan di Mina dan menyembelihnya.

Ibnu Abbas radiallahu anhu melanjutkan, "Demi Tuhan yang jiwa Ibnu Abbas berada di tangan kekuasaan-Nya, sesungguhnya sembelihan itu merupakan kurban yang pertama dalam Islam, dan sesungguhnya kepala kambing itu benar-benar digantungkan dengan kedua tanduknya di talang Ka'bah hingga kering."Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim yang mengatakan bahwa Abu Hurairah  berkumpul bersama Ka'b, lalu Abu Hurairah menceritakan hadis dari Nabi Sallallahu ‘alahi wasallam sedangkan Ka'b menceritakan tentang kisah-kisah dari kitab-kitab terdahulu. Abu Hurairah radiallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi Sallahu ‘Alahi Wasalam bersabda:

"إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً، وَإِنِّي قَدْ خَبَأتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ"

Sesungguhnya masing-masing Nabi mempunyai doa yang mustajab, dan sesungguhnya aku menyimpan doaku sebagai syafaat buat umatku kelak di hari kiamat. Maka Ka'b bertanya kepadanya, "Apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah.?" Abu Hurairah menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, atau semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya, maukah kuceritakan kepadamu tentang perihal Nabi Ibrahim Alahi salam.?" Ka'b melanjutkan perkataannya, bahwa sesungguhnya ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya Ishaq, setan berkata.”

Sesungguhnya jika tidak kugoda mereka saat ini, berarti aku tidak dapat menggoda mereka selamanya." Nabi Ibrahim alahi salam berangkat bersama anaknya dengan tujuan akan menyembelihnya, maka setan pergi dan masuk menemui Sarah, lalu berkata, "Ke manakah Nabi Ibrahim pergi bersama anakmu?" Sarah menjawab, "Ia pergi membawanya untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya Ibrahim pergi bukan untuk suatu keperluan, melainkan ia pergi untuk menyembelih anaknya." Sarah bertanya, "Mengapa dia menyembelih anaknya?" Setan berkata, "Ibrahim mengira bahwa Tuhannya telah memerintahkan kepadanya hal tersebut." Sarah menjawab, "Sesungguhnya lebih baik baginya bila menaati Tuhannya."

Lalu setan pergi menyusul keduanya. Setan berkata kepada anak Nabi Ibrahim, "Ke manakah ayahmu membawamu pergi?" Ia menjawab," Untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya dia pergi bukan untuk suatu keperluan, tetapi ia pergi untuk tujuan akan menyembelihmu." Ia bertanya, "Mengapa ayahku akan menyembelihku?" Setan menjawab, "Sesungguhnya dia mengira bahwa Tuhannya telah memerintahkan hal itu kepadanya." Ia berkata, "Demi Allah, sekiranya Allah yang memerintahkannya, benar-benar dia akan mengerjakannya."

Setan putus asa untuk dapat menggodanya, maka ia meninggalkannya dan pergi kepada Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ lalu bertanya, "Ke manakah kamu akan pergi dengan anakmu ini ?"  Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ menjawab, "Untuk suatu keperluan." Setan berkata, "Sesungguhnya engkau membawanya pergi bukan untuk suatu keperluan, melainkan engkau membawanya pergi dengan tujuan akan menyembelihnya." Nabi Ibrahim  عَلَيْهِ السَلاَمُ bertanya, "Mengapa aku harus menyembelihnya ?" Setan berkata, "Engkau mengira bahwa Tuhanmu lah yang memerintahkan hal itu kepadamu." Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ berkata, "Demi Allah, jika Allah  memerintahkan hal itu kepadaku, maka aku benar-benar akan melakukannya." Setan putus asa untuk menghalang-halanginya, lalu ia pergi meninggalkannya.

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Yunus ibnu Yazid, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa sesungguhnya Amr ibnu Abu Sufyan ibnu Usaid ibnu Jariyah As- Saqafi pernah menceritakan kepadanya bahwa Ka'b pernah berkata kepada Abu Hurairah; lalu disebutkan hal yang semisal dengan panjang lebar. Dan di penghujung kisahnya disebutkan bahwa lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ, bahwa sesungguhnya Aku memberimu suatu doa yang Kuperkenankan bagimu.

Maka Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berdoa kepada-Mu, semoga Engkau memperkenankannya. Semoga siapa pun di antara hamba-Mu yang bersua dengan-Mu, baik dari kalangan orang terdahulu maupun dari kalangan orang yang terkemudian, dalam keadaan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun, semoga Engkau memasukkannya ke dalam surga."

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ خَيَّرَنِي بَيْنَ أَنْ يَغْفِرَ لِنِصْفِ أُمَّتِي، وَبَيْنَ أَنْ أَخْتَبِئَ شَفَاعَتِي، فَاخْتَبَأْتُ شَفَاعَتِيَ، وَرَجَوْتُ أَنْ تُكَفِّرَ الجَمْ لِأُمَّتِي، وَلَوْلَا الَّذِي سَبَقَنِي إِلَيْهِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ لَتَعَجَّلْتُ فِيهَا دَعْوَتِي، إِنِ اللَّهَ لَمَا فَرَّجَ عَنْ إِسْحَاقَ كرْبَ الذَّبْحِ قِيلَ لَهُ: يَا إِسْحَاقُ، سَلْ تُعْطَهُ. فَقَالَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَتَعَجَّلَنَّهَا قَبْلَ نَزَغَاتِ الشَّيْطَانِ، اللَّهُمَّ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِكَ شَيْئًا فَاغْفِرْ لَهُ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Sallahu Alahi Waslam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menyuruhku untuk memilih, apakah separuh dari umatku mendapat ampunan ataukah doa permohonan syafaatku diterima. Maka aku memilih syafaatku diterima dengan harapan semoga sejumlah besar dari umatku diampuni dosa-dosanya. Seandainya tidak ada hamba saleh yang mendahuluiku, tentulah aku menyegerakan doaku itu. Sesungguhnya ketika Allah membebaskan Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ dari musibah penyembelihan, dikatakan kepadanya, "Hai Ishaq, mintalah, niscaya kamu diberi." Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ berkata, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh aku akan menyegerakan doaku ini sebelum setan menggodaku. Ya Allah, barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun, berilah dia ampunan dan masukkanlah ke dalam surga."

Hadis ini garib lagi munkar; Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam daif hadisnya, dan saya merasa khawatir bila di dalam hadis ini terdapat tambahan yang disisipkan, yaitu ucapan, "Sesungguhnya setelah Allah  membebaskan Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ dari musibah penyembelihan," hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Jika hal ini terpelihara, maka yang lebih mirip kepada kebenaran dia tiada lain adalah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Dan sesungguhnya mereka (Ahli Kitab) telah mengubahnya dengan Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُkarena dengki dan iri terhadap bangsa Arab, seperti alasan yang telah dikemukakan di atas.Lagi pula mengingat manasik dan penyembelihan kurban itu tempatnya tiada lain di Mina, yaitu bagian dari kawasan tanah Mekah, adalah tempat Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ berada, bukan Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ. Karena sesungguhnya Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ  berada di tanah Kan'an, bagian dari negeri Syam.

Firman Allah .:

{وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا}

Dan Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu!" (Ash-Shaffat: 104-105). Yakni sesungguhnya engkau telah mengerjakan apa yang telah dilihat dalam mimpimu itu hanya dengan membaringkan putramu untuk disembelih. As-Saddi dan lain-lainnya menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim alaihi salam sempat menggorokkan pisaunya, tetapi tidak dapat memotong sesuatu pun, bahkan dihalang-halangi antara pisau dan leher Nabi Ismail  عَلَيْهِ السَلاَمُ oleh lempengan tembaga. Lalu saat itu juga Nabi Ibrahim alahi salam diseru: sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. (Ash-Shaffat: 105)

Firman Allah :

{إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ}

sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Ash-Shaffat: 105)

Yakni demikianlah Kami palingkan hal-hal yang tidak disukai dan hal-hal yang menyengsarakan dari orang-orang yang taat kepada Kami, dan Kami jadikan bagi mereka dalam urusannya jalan keluar dan kemudahan. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At-Talaq: 2-3)

Ayat yang menceritakan kisah penyembelihan ini dijadikan dalil oleh sejumlah ulama Usul untuk menyatakan keabsahan nasakh sebelum melakukan pekerjaan yang diperintahkan, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama dari kalangan Mu'tazilah. Tetapi penunjukkan makna dalam ayat ini sudah jelas, karena pada mulanya Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ agar menyembelih anaknya, kemudian Allah menasakh (merevisi)nya dan mengalihkannya menjadi tebusan (yakni kurban). Dan sesungguhnya tujuan utama dari perintah ini pada mulanya hanyalah untuk menguji keteguhan dan kesabaran Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ}

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat: 106).

Maksudnya, ujian yang jelas dan gamblang, yaitu perintah untuk menyembelih anaknya. Lalu Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ bergegas mengerjakannya dengan penuh rasa berserah diri kepada Allah dan tunduk patuh kepada perintah-Nya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى}

dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. (An-Najm: 37)

Adapun firman Allah Swt.:

{وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ}

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107)

Sufyan As- Sauri telah meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari Abut Tufail dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya:Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Yakni dengan kambing gibasy yang berbulu putih, gemuk, lagi bertanduk yang telah diikat di pohon samurah. Abut Tufail mengatakan bahwa mereka (berdua) menemukannya dalam keadaan telah terikat di pohon samurah yang ada di Bukit Sabir.

As-Sauri telah meriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khasyam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas  yang mengatakan bahwa kambing gibasy itu telah digembalakan di surga selama empat puluh tahun. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ya'qub As-Saffar, telah menceritakan kepada kami Daud Al-Attar, dari Ibnu Khasyam' dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas  yang mengatakan bahwa batu besar yang ada di Mina di lereng Bukit Sabir adalah batu tempat Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ menyembelih tebusan anaknya Ishaq  عَلَيْهِ السَلاَمُ .

Kambing gibasy yang gemuk lagi bertanduk turun dari Bukit Sabir menuju ke tempat Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُseraya mengembik, lalu Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ menyembelihnya. Kambing itu juga yang dipakai kurban oleh anak Adam, lalu diterima, dan kambing itu disimpan hingga dijadikan tebusan untuk Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ.Telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa kambing gibasy itu hidup bebas di dalam surga hingga dikeluarkan dari Bukit Sabir, dan pada leher kambing itu terdapat bulu yang berwarna merah.

Disebutkan dari Imam Al-Hasan Al-Basri, bahwa nama kambing gibasy yang dijadikan kurban oleh Nabi Ibrahim alaihi salam adalah Jarir.Ibnu Juraij mengatakan bahwa menurut Ubaid ibnu Umair, Nabi Ibrahim alaihi salam menyembelihnya di maqam Ibrahim.Menurut Mujahid, Nabi Ibrahim alaihi salam menyembelihnya di Mina di tempat penyembelihan kurban sekarang.

Hasyim telah meriwayatkan dari Sayyar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah memberikan fatwa kepada orang yang bernazar akan menyembelih dirinya, lalu Ibnu Abbas memerintahkan kepadanya agar menggantinya dengan menyembelih seratus ekor unta. Sesudah itu ia berkata bahwa seandainya dia memberikan fatwa kepadanya agar menyembelih seekor kambing gibasy, tentulah hal itu sudah mencukupi baginya. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107).Menurut pendapat yang sahih, tebusan tersebut berupa seekor kambing gibasy.

As-Sauri telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash-Shaffat: 107) Ibnu Abbas mengatakan bahwa sembelihan itu adalah seekor kambing gunung. Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa tidaklah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ ditebus melainkan dengan seekor kambing gunung dari Aura yang diturunkan untuk Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ dari Bukit Sabir.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ، عَنْ خَالِهِ مُسافع ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ: أَخْبَرَتْنِي امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ -وَلدت عَامَّةَ أَهْلِ دَارِنَا-أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ طَلْحَةَ -وَقَالَ مَرَّةً: إِنَّهَا سَأَلَتْ عُثْمَانَ: لِمَ دَعَاكَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: قَالَ: "إِنِّي كنتُ رَأَيْتُ قَرْنَيِ الْكَبْشِ، حِينَ دَخَلْتُ الْبَيْتَ، فَنَسِيتُ أَنْ آمُرَكَ أَنْ تُخَمِّرَهُمَا، فَخَمَّرْهما، فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ فِي الْبَيْتِ شَيْءٌ يَشْغَلُ الْمُصَلِّيَ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepadaku Mansur, dari pamannya (yaitu Musafi' dan Safiyyah binti Syaibah) yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seorang wanita dari Bani Salim yang telah melahirkan sebagian besar penduduk perkampungan kami, bahwa Rasulullah Salallahu ‘Alahi Wasalam mengirimkan utusan kepada Usman ibnu Abu Talhah  (pemegang kunci Ka'bah). Wanita itu pernah bertanya kepada Usman, "Mengapa Nabi memanggilmu ?" Maka Usman menjawab, bahwa Rasulullah bersabda kepadanya: Sesungguhnya aku melihat sepasang tanduk saat memasuki Ka'bah, dan aku lupa untuk memerintahkan kepadamu agar menutupinya dengan kain. Karena itu, tutupilah sepasang tanduk itu dengan kain, sebab tidak patut bila di dalam Ka'bah terdapat sesuatu yang mengganggu kekhusyukan orang yang salat (di dalamnya).

Sufyan mengatakan bahwa kedua tanduk itu masih tetap tergantung di dalam Ka'bah hingga Ka'bah mengalami kebakaran dan keduanya ikut terbakar.Hal ini merupakan bukti tersendiri yang menunjukkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail alaihi salam Karena sesungguhnya orang-orang Quraisy menerimanya secara turun-temurun dari para pendahulu mereka generasi demi generasi, sampai Allah mengutus Rasul­Nya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

  1. Berikut ini sebuah pasal yang mengemukakan asar-asar yang ditemukan dari ulama Salaf tentang siapakah sebenarnya anak yang disembelih itu berdasarkan penelitian Ibnu Katsir

Berikut ini dikemukakan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ishaq alaihi salam. Hamzah Az-Zayyat telah meriwayatkan dari Abu Maisarah rahimahullah yang mengatakan, bahwa Nabi Yusuf   عَلَيْهِ السَلاَمُ pernah mengatakan kepada raja dalam alasannya, "Apakah engkau menginginkan makan bersama denganku, sedangkan aku adalah Yusuf ibnu Ya'qub nabiyyullah ibnu Ishaq sembelihan Allah ibnu Ibrahim kekasih Allah."As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Sinan, dari Ibnu Abul Huzail bahwa Yusuf mengatakan hal yang sama kepada raja.

Sufyan As-Sauri  rahimahullah telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari ayahnya yang mengatakan, bahwa Musa عَلَيْهِ السَلاَمُ pernah mengatakan dalam doanya, "Ya Tuhanku, mereka selalu mengatakan demi Tuhannya Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub. Mengapa mereka selalu mengatakan hal tersebut?" Allah menjawab "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang tidak membandingkan sesuatu dengan-Ku, melainkan dia pasti memilih-Ku. Dan sesungguhnya Ishaq  telah rela demi Aku untuk disembelih, selain itu dia adalah seorang yang lebih dermawan. Dan sesungguhnya Ya'qub itu manakala Kutambahkan kepadanya cobaan, maka makin bertambah pulalah baik prasangkanya kepada-Ku."

Syu'bah telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas yang telah menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki membanggakan dirinya dihadapan Ibnu Mas'ud radiallahu anhu. Lelaki itu berkata, "Aku adalah Fulan bin Fulan bin para tetua yang terhormat." Maka Abdullah ibnu Mas'ud r.a. berkata bahwa orang yang patut mengatakan demikian adalah Yusuf ibnu Ya'qub ibnu Ishaq Zabihullah (sembelihan Allah) ibnu Ibrahim kekasih Allah.

Riwayat ini sahih bersumber dari Ibnu Ma'sud. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa dia adalah Ishaq. Juga telah diriwayatkan dari Al-Abbas dan Ali ibnu Abu Talib hal yang semisal. Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Ishaq dan Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Az-Zuhri, dari Abu Sufyan, dan Al-Ala ibnu Jariyah dari Abu Hurairah radiallahuanhu dan Ka'bul Ahbar yang telah mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ.

Pendapat-pendapat yang telah disebutkan di atas hanya Allah Yang Maha Mengetahui— semuanya bersumber dari Ka'bul Ahbar. Ketika masuk Islam di masa pemerintahan Khalifah Umar, ia bercerita kepada Umar bin Khattab tentang apa yang terkandung di dalam kitab-kitab terdahulunya. Dan barangkali Umar bin Khattab sendiri mau mendengarkannya sehingga orang-orang pun mau mendengarkan apa yang ada pada Ka'bul Ahbar, bahkan menukil darinya segala sesuatu yang ada padanya, baik yang telah dipalsukan maupun yang masih asli.

Akan tetapi, bagi umat ini hanya Allah Yang Maha Mengetahui tidak memerlukan suatu huruf pun dari apa yang ada pada Ka'bul Ahbar itu. Al-Bagawi telah meriwayatkan suatu pendapat yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq, yang menurutnya bersumber dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan Al-Abbas, sedangkan dari kalangan tabi'in bersumber dari Ka'bul Ahbar, Sa'id ibnu Jubair. Qatadah, Masruq, Ikrimah, Ata. Muqatil. Az-Zuhri, dan As-Saddi. Al-Bagawi mengatakan bahwa hal ini dikatakan oleh salah satu di antara dua riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dan telah disebutkan mengenai masalah ini dalam sebuah hadis yang seandainya hadis tersebut terbukti kesahihannya, tentulah kita mau mengatakannya dengan penuh kepercayaan, tetapi sayangnya sanad hadis tersebut tidak sahih.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Habbab, dari Al-Hasan ibnu Dinar, dari Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari Al-Hasan, dari Al-Ahnaf ibnu Qais, dari Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalm. dalam suatu hadis yang di dalamnya disebutkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq.Akan tetapi, di dalam sanad hadis di atas terdapat dua perawi yang daif, yaitu Al-Hasan ibnu Dinar Al-Basri berpredikatmatruk, dan Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an hadisnya munkar (tidak dapat diterima).

Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya dari ayahnya, dari Muslim ibnu Ibrahim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an dengan sanad yang sama secara marfu'. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Mubarak ibnu Fudalah telah meriwayatkannya dari Al-Hasan, dari Al-Ahnaf, dari Al-Abbas. Dan sanad riwayat ini lebih sahih ketimbang yang sebelumnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

  1. Dasar-Dasar yang menyebutkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ predikatnya sahih dan dapat dijadikan sebagai pegangan Berdasarkan Kitab Ibnu Katsir

Di atas telah disebutkan suatu riwayat dari Ibnu Abbas  yang mengatakan bahwa dia adalah Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, Sa'id ibnu Jubair, Amir Asy-Sya'bi, Yusuf ibnu Mahran, Mujahid, dan Ata serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas  bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, .telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Qais, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas, bahwa anak yang dikurbankan itu adalah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Dan orang-orang Yahudi mengira bahwa dia adalah Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ, orang-orang Yahudi itu telah dusta. Israil telah meriwayatkan dari Saur, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang telah mengatakan bahwa anak yang disembelih adalah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ.

Ibnu AbuNajih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa dia adalahNabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Hal yang sama telah dikatakan oleh Yusuf ibnu Mahran. Asy-Sya'bi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Dan ia pernah melihat sepasang tanduk gibasy itu di dalam Ka'bah.Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Dinar dan Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan Al-Basri; ia tidak pernah meragukan masalah ini bahwa anak yang diperintahkan oleh Allah agar Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُmenyembelihnya di antara salah seorang dari kedua anaknya adalah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ.

Ibnu Ishaq mengatakan, ia pernah mendengar Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa anak yang Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ diperintahkan oleh Allah untuk menyembelihnya di antara kedua putranya adalah Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Dan sesungguhnya kami benar-benar menjumpai keterangan hal ini di dalam Kitabullah. Demikian itu ialah bahwa setelah Allah  selesai mengutarakan kisah anak yang disembelih di antara kedua anak Ibrahim, lalu ia berfirman: Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. (Ash-Shaffat: 112) Dan firman Allah :Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71)

Yakni dia akan mempunyai anak, dan anaknya itu akan mempunyai anak. Jadi tidak mungkin Allah memerintahkan kepada Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ agar menyembelih Ishaq, sedangkan Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ telah dijanjikan akan mempunyai keturunan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, Dengan demikian, tiada lain putra yang Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ diperintahkan untuk menyembelihnya hanyalah Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ia mendengar Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi sering mengatakan hal ini.

Ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Buraidah ibnu Sufyan Al-Aslami, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, bahwa ia pernah menceritakan hal ini kepada Umar ibnu Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai khalifah karena saat itu Muhammad ibnu Ka'b ada bersamanya di negeri Syam Lalu Umar ibnu Abdul Aziz berkata, "Sesungguhnya berita ini merupakan suatu berita yang belum pernah saya perhatikan, dan sesungguhnya aku hanya berpendapat seperti apa yang engkau katakan.”

Selanjutnya Umar ibnu Abdul Aziz memanggil seorang lelaki Yahudi yang ada di negeri Syam yang telah masuk Islam dan berbuat baik dalam Islamnya. Dahulu lelaki itu termasuk salah seorang dari ulama mereka (Yahudi); Lalu Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz bertanya kepadanya, "Manakah di antara kedua putra Ibrahim yang diperintahkan agar disembelih?" Saat itu Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi berada di samping Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz. Lelaki itu menjawab, "Demi Allah, hai Amirul Mu-minin, sesungguhnya orang-orang Yahudi benar-benar mengetahui hal tersebut, tetapi mereka dengki terhadap kalian bangsa Arab bila bapak moyang kalian yang disebutkan dalam perintah Allah dan keutamaan yang dimilikinya saat menghadapi perintah Allah berkat kesabarannya. Mereka berbalik mengingkari hal tersebut dan menduganya bahwa yang disembelih itu adalah Nabi Ishaq  عَلَيْهِ السَلاَم  karena Ishaq   عَلَيْهِ السَلاَمُadalah bapak moyang mereka. Hanya Allah Yang lebih mengetahui mana yang sebenarnya, yang jelas Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ adalah seorang yang taat kepada Allah "

Abdullah putra Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang anak yang disembelih itu, Nabi Ismail  عَلَيْهِ السَلاَمُ ataukah Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ. Maka Imam Ahmad menjawab bahwa putra yang disembelih itu adalah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ. Ia menyebutkan hal ini di dalam Kitabuz Zuhud-nya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa anak yang disembelih itu yang benar adalah Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ.

Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abut Tufail, Sa'id ibnul Musayyab, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Mujahid, Asy-Sya'bi, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dan Abu Ja'far alias Muhammad ibnu Ali serta Abu Saleh, bahwa mereka telah mengatakan anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ.

Al-Bagawi di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa pendapat yang sama dikatakan oleh Abdullah ibnu Umar, Sa'id ibnul Musayyab, As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri, Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dan Al-Kalbi, juga menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, dan pendapat yang sama diriwayatkan pula dari Abu Amr ibnul Ala.

Sehubungan dengan hal ini Ibnu Jarir telah meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Dia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ammar Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaid ibnu Abu Karimah, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdur Rahim Al-Khaltabi, dari Abdullah ibnu Muhammad Al-Atabi  (salah seorang putra Atabah ibnu Abu Sufyan), dari ayahnya, bahwa telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Sa'id, dari As-Sanabiji yang mengatakan, bahwa ketika kami berada di tempat Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan, orang-orang yang hadir membicarakan tentang anak yang disembelih, apakah dia Nabi  Ismail ataukah nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ. Lalu Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan berkata, "Kalian bertanya kepada orang yang tepat."

Mu'awiyah melanjutkan bahwa pada suatu hari ketika kami para sahabat berada di tempat Rasulullah Sallallahu ‘alahi wa sallam , maka beliau kedatangan seorang lelaki yang berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku sebagian dari apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu sebagai harta fai', wahai putra kedua orang yang disembelih."

Rasulullah Salallahu Alahi Wasalam tersenyum mendengar hal itu. Lalu ada yang bertanya (kepada Mu'awiyah), "Wahai Amirul Mu-minin, siapakah kedua orang yang disembelih itu?" Maka Mu'awiyah menjawab, bahwa ketika Abdul Muttalib diperintahkan untuk menggali (ulang) sumur zam-zam, ia bernazar kepada Allah, bahwa jika segala sesuatunya dilancarkan oleh Allah dalam urusannya itu, dia akan menyembelih salah seorang putranya. Mu'awiyah melanjutkan kisahnya, bahwa ternyata setelah dilakukan undian (di antara anak-anaknya) pilihan jatuh kepada Abdullah (ayahanda Nabi Sallallahu alaihi wasalam ). Tetapi paman-pamannya yang dari pihak ibu melarangnya, dan mereka mengatakan, "Tebuslah anakmu ini dengan seratus ekor unta." Akhirnya Abdul Muttalib menebusnya dengan seratus ekor unta. Dan orang kedua yang disembelih adalah Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ.

Hadis ini garib sekali, dan Al-Umawi telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab Magazi-nya, telah menceritakan kepada kami sebagian dari teman-teman kami, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaid ibnu Abu Karimah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdur Rahman Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Muhammad Al-Atabi (salah seorang anak Atabah ibnu Abu Sufyan), telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami As-Sanabiji, bahwa ia pernah menghadiri Majelis Mu'awiyah. Lalu kaum yang hadir membicarakan tentang Ismail عَلَيْهِ السَلاَمُ atau Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ anak yang disembelih itu, kemudian disebutkan hal yang semisal.

Dan sesungguh­nya Ibnu Jarir melakukan suatu kekeliruan dengan memilih pendapat yang mengatakan Zabih adalah Ishaq terhadap firman Allah Swt.: Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat sabar. (Ash-Shaffat: 101). Ia menakwilkan bahwa kabar gembira ini adalah yang menyangkut kelahiran Ishaq, padahal yang sebenarnya adalah firman Allah : dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq). (Az-Zariyat: 28).

Dan ia menjawab tentang berita gembira akan kelahiran Ya'qub عَلَيْهِ السَلاَمُdari Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ , bahwa hal itu terjadi setelah dia sampai pada usia sanggup berusaha (bekerja). Dan merupakan suatu hal yang tidak mustahil bila Ishaq  عَلَيْهِ السَلاَمُ mempunyai anak lain selain Ya'qub عَلَيْهِ السَلاَمُ. Ibnu Jarir mengatakan, 'Adapun mengenai sepasang tanduk yang digantungkan di Ka'bah, bisa saja keduanya (Ibrahim dan Ishaq) memindahkannya dari negeri Kan'an (ke Mekah).'" Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa di antara ulama ada yang berpendapat bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ, dan penyembelihannya dilakukan di Kan'an. '

Apa yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya ini bukan merupakan suatu pendapat yang benar, bukan pula merupakan hal yang pasti. Bahkan jauh sekali dari kebenaran, mengingat apa yang telah disimpulkan oleh Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail, merupakan pendapat yang lebih kuat dan lebih sahih serta lebih terbukti kebenarannya; hanya Allah  Yang Maha Mengetahui.

  1. Siapa yang Disembelih Menurut Muhammad Husein Haekal ?

Mohammad Husain Haekal merupakan salah satu Intelektual Muslim yang berpengaruh di dunia. Mohammad Husain Haekal terkenal di timur dan barat setelah ia berhasil menyelesaikan  buku berjudul “Hayatu Muhammad (Kehidupan Muhammad). Mohammad Husain Haekal dilahirkan pada tanggal 30 Agustus 1888 di desa Kafr Ghannam, wilayah Mesir Hilir. Haekal lahir dari keluarga yang berada, terpandang dan berpengaruh.

Dalam karyanya “Hayatu Muhammad ”,  Ia menyatakan bahwa beberapa ahli sejarah berselisih pendapat tentang penyembelihan Nabi Ismail Alahi salam serta kurban yang telah dipersembahkan Nabi Ibrahim Alahi salam. Apakah sebelum kelahiran Nabi Ishaq Alahisalam atau sesudahnya ? Ahli sejarah Yahudi berpendapat bahwa yang disembelih itu Nabi Ishaq Alahisalam bukan Nabi Ismail Alahisalam. Dalam kitab Qisasul Anbiya’ karya Syaikh Abdul Wahab an-Najjar berpendapat bahwa yang disembelih itu adalah Nabi Ismail Alahisalam. Argumen ini diambil dari kitab Taurat sendiri.

 Karena pada saat itu Ismail Alahisalam adalah putera satu-satunya Nabi Ibrahim Alahisalam sebelum Nabi Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ lahir. Dalam menafsirkan peristiwa di Q.S 37 : 103-104, Abdullah Yusuf Ali dalam karyanya “The Holy Qur’an” menyebutkan bahwa versi Islam mungkin dapat dibandingkan dengan versi Yahudi dan versi Kristen menurut Injil Perjanjian Lama yang sekarang.

Untuk menganggungkan cabang keluarga yang lebih muda yakni keturunan dari Nabi Ishaq alahisalam (leluhur bangsa Yahudi) sebagailawan cabang yang lebih tua keturuanan Nabi Ismail alahisalam (leluhur bangsa Arab) maka cerita turun menurun orang Yahudi ,menyebutkan bahwa sang kurban itu adalah Nabi Ishaq (dalam Kitab Kejadian xxii, 1-18). Nabi Ishaq alahisalam lahir ketika Nabi Ibrahim alahisalam berusia 100 tahun (dalam kitab Kejadian xxi.5) sementara Nabi Ismail alahisalam lahir ketika Nabi Ibrahim berumur 86 tahun (kitab kejadian xvi.16). Ini berarti Nabi Ismail alahisalam lebih tua 14 tahun dibandingkan Nabi Ishaq alahisalam. Selama dalam umur 14 tahun itu, Nabi Ismail alahisalam adalah anak satu-satunya Nabi Ibrahim alahisalam.

Dalam Injil Perjanjian Lama kitab Kejadian disebutkan bahwa : Ambilah anakmu yang tunggal itu , yang engkau kasihi ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu Gunung yang akan Ku katakan padamu. Jadi jelas yand dikorbankan itu anak yang tunggal saat itu yakni Nabi Ismail alahisalam bukan Nabi Ishaq. Tanah Moria sendiri tidak jelas dimana namun orang-orang Ahli kitab menjadikan Moria di Yerusalem untuk membenarkan Kitab Kejadian tersebut.

 

 

 

 

 

BAB II

Pelaksanaan Qurban dalam Tinjauan Syariat Islam dan Fiqih Kontemporer

             I.     Hukum Berqurban (Al Adla-Hi) dalam Syariat Islam

Kata “Al Adla-hi” itu, jamaknya dari kata “Udlhiyatun” dengan dhommah hamzah. Boleh kasrah hamzah dan boleh pula dibuang hamzah itu dengan fathah dha”, sehingga menjadi dhahhiyyah. Seakan-akan kata itu diambil dari nama waktu itu diisyaratkan penyembelihan Qurban. Berdasarkan itu maka dinamailah hari itu dengan Hari Raya Idul Adha. Dari sunnah terdapat riwayat dari Anas bin Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata,

ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir(HR. Bukhari no. 5558 dan Muslim no. 1966). Dalam Hadis Lain disebutkan bahwa :

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا” – رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Al Hakim menshahihkannya. Akan tetapi ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini mauquf, yaitu hanyalah perkataan sahabat. (HR. Ahmad 14: 24 dan Ibnu Majah no. 3123. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

 

Hadis ini dijadikan dalil (dasar) tentang kewajiban berqurban atas orang yang mempunyai kemampuan, karena sesungguhnya takala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang mampu berqurban namun tidak melaksanakannya untuk tidak mendekati tempat Shalat itu menunjukan bahwa dengan meninggalkan Qurban maka dia telah meninggalkan kewajibannya. Seakan-akan Nabi bersabda “ Tidak ada gunanya Shalat dengan meninggalkan kewajiban Qurban ini”. Kewajiban Qurban ini berdasarkan pula firman Allah : , فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Fashalli Lirabbika wanhar (Lalu Shalatlah kamu kepada Tuhanmu dan berqurbanlah). Juga berdasarkan Hadis dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ بَيْتٍ في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة

 

Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berkurban," (HR Abu Dawud). Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam itu menunjukan kewajiban berqurban. Mengenai kewajiban Qurban ini menjadi pendapat Imam Abu Hanifah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian Ulama lainnya. Imam Abu Hanifah semoga Allah merahmatinya mewajibkan Qurban atas Muslim yang kaya maupun yang miskin. Sebagian Ulama juga berpendapat bahwa hukum berqurban itu tidak wajib karena Hadis yang pertama tadi adalah Hadis Mauquf (sanadnya hanya sampai kepada Sahabat Nabi). Sedangkan Hadis yang kedua, dinilai lemah  karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Kata Al-Khathabi : sesungguhnya Abu Ramlah itu orang yang tidak dikenal.

Lalu Firman Allah : فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ, ditafsirkan beragam oleh para Ulama. Seandainya benar ayat itu menjadi landasan wajib Qurban maka ayat tersebut menunjukan bahwa penyembelihan Qurban itu sesudah Shalat Ied. Jadi, ayat itu hanya menentukan waktu penyembelihan Qurban bukan menunjukan wajibnya. Seakan-akan Allah berfirman : Apabila kamu menyembelih Qurban maka lakukanlah sesudah Shalat Ied. Sesungguhnya Ibnu Jarir telah meriwayatkan Hadis dari Anas semoga Allah meridainya menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah menyembelih Qurban selama beliau Shalat Ied lalu beliau diperintahkan lebih dahulu kemudian menyembelih Qurban.

Oleh karena kelemahan beberapa Dalil (dasar) tentang kewajiban berkurban itu, maka Mayoritas Sahabat Nabi, para Tabi’in, dan Fuqaha (ahli fiqih) menyatakan bahwa berqurban itu hukumnya Sunnah Muakkadah. Ibnu Hazm semoga Allah merahmatinya berkata bahwa tidak benar dari seorang Sahabat pun dari para sahabat itu yang berpendapat bahwa Qurban itu wajib. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali Imma Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha :

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, ) dan seseorang di antara kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya”. Imam Syafi’i semoga Allah merahmatinya, berkata  Sesungguhnya sabdanya : “ seseorang di antara kamu ingin berqurban” itu menunjukan tidak wajibnya berkurban.  

Imam al-Baihaqi meriwayatkannnya dari sanad yang lain dengan susunan matan bahwa Nabi Muhammad Shallallu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Telah diwajibkan atasku berqurban dan tidak diwajibkan atas kamu sekalian”. Semua praktik para Sahabat Nabi menunjukan tidak wajibnya berkurban. Jadi, jelas bahwa hukum berqurban menurut Mayoritas Ulama adalah Sunnah Muakkdah. 

Sekedar penjelasan, Sunnah menurut Fuqaha adalah sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh syara’ kita mengerjakannya tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjukan kepada harus dilakukan. Prof. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya “ Pengantar Hukum Islam Jilid II” menjelaskan bahwa Sunnah artinya pekerjaan itu disuruh kita kerjakan, diberi pahala hanya saja tidak dihukumi berdosa orang yang meninggalkannya, hanya saja orang yang tidak mengerjakannya boleh jadi mendapat pencelaan, karena ia tidak memenuhi tujuan agama (syariat) atau yang lebih baik dikerjakan walaupun boleh ditinggalkan.

Perbedaan Sunnah dengan Mandub adalah jika Sunnah ialah yang selalu dikerjakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam dan Mandub ialah yang dikerjakan Nabi hanya sekali dua kali saja (jarang dilakukan) menurut Al-Qadli Husain semoga Allah merahmatinya. Ahli Ushul Fiqih membagi Sunnah kepada dua yaitu Sunnah Had-yin yaitu segala pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban agama dan Sunnah Za’idah yaitu segala pekerjaan yang Nabi kerjakan dan masuk urusan adat kebiasaan dan tidak ada celaan meninggalkannya.

Sementara Ulama Madzhab Syafi’iyah membagi Sunnah atas dua yaitu Sunnah Muakkadah yaitu sesuatu yang tetap Rasull kerjakan atau yang lebih baik dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa dia bukan Fardhu dan Sunnah Ghairu Muakkadah yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasull kerjakan sperti Shalat empat rakaat sebelum Shalat Dzuhur.

Jadi, yang dimaksud Hukum berqurban Sunnah Muakkadah adalah sesuatu yang lebih baik dikerjakan oleh setiap Muslim karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak meninggalkannya dan sesungguhnya pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam ada teladan yang baik dan sempurna. Jika seseorang bernazar untuk berqurban maka hukumnya ia wajib melaksanakannya.

 

 

 

II.     Waktu Penyembelihan Hewan Qurban

Mengenai waktu penyembelihan qurban dijelaskan dalam hadits berikut,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” Dalam Hadis lain disebutkan bahwa :

عَنْ جُنْدَبٍ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ النَّحْرِ صَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ »

Dari Jundab bin Sufyan, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut ‘Bismillah’.  

Jundab bin Sufyan semoga Allah merahmatinya pernah berhari raya Qurban bersama Rasulullah. Saat Nabi berkhutbah Shalat Ied, beliau melihat seseorang menyembelih seekor Kambing lalu Nabi bersabda : Barangsiapa yang menyembelih sebelum Shalat Ied maka hendaklah dia menyembelih seekor Kambing lagi sebagai gantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelihnya maka hendaklah dia menyembelih dengan menyebut nama Allah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Musli,m semoga Allah merahmati mereka.

Imam Syafi’i dan Imam Abu Daud semoga Allah merahmati mereka, berkata waktu penyembelihan hewan Qurban itu apabila sudah terbit Matahari dan setelah berlangsung Shalat Ied. Jadi, mayoritas Ulama berpendapat tidak sah Qurban sebelum selesai Shalat Ied dan dua khutbahnya. Selanjutnya seluruh Ulama bersepakat (Ijma’) bahwa waktu penyembelihan hewan Qurban itu dimulai dari hari ke sepuluh bulan Dzulhijah hingga dua hari sesudahnya.

  III. Hewan-Hewan yang Tidak Sah Dijadikan Hewan Qurban

Dalam hadits no. 1359, disebutkan,

 

وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – “أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا  وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَة ُ . وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان َ

Dari Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata, “Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” Dikeluarkan oleh yang lima (empat penulis kitab sunan ditambah dengan Imam Ahmad). Dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban semoga Allah merahmatinya. Imam Al-Hakim semoga Allah merahmatinya menyatakan bahwa walau Hadis ini tidak diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, semoga Allah merahmatinya tetapi Hadis ini Sahih. Imam Ahmad bin Hanbal semoga Allah merahmatinya, bekata : Alangkah bagusnya Hadis itu. Imam At-Tirmidzi  semoga Allah merahmatinya, menyatakan Hadis itu Hasan.

Imam Syafi’i semoga Allah merahmatinya, berkata : Bukti hewan itu pincang adalah apabila dia terlambat dari Kambing atau hewan lain karena pincangnya itu. Terdapat juga larangan berkqurban dengan hewan yang Mushfirah yaitun hewan yang sangat kurus kering sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab An-Nihayah. Dilarang juha hewan yang Al Mashfurah yaitu hewan yang tidak mempunyai telinga. Yang Musta’shilah yaitu hewan yang patah tanduk dari pangkalnya. Hewan yang Najqa’u yaitu hewan yang sakit matanya serta dilarang juga hewan yang Kasra’u yaitu hewan yang patah kakinya.

  IV.     Batasan Umur Hewan yang Dapat Di Qurbankan

وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ” – رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Janganlah kalian menyembelih kecuali Musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah Jadza’ah dari domba.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim, (HR. Muslim no. 1963). Musinnah adalah hewan yang tumbuh gigi yang berumur dua tahun masuk tiga tahun dari semua bianatang ternak dari Unta, Sapi, Kambing dan yang lebih kecil dari itu. Hadis itu menjadi dasar sebagian kecil Ulama menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak sah berqurban dengan hewan yang  berumur 4 tahun masuk 5 tahun (Jadz’ah) dalam semua kedaan kecuali sulit mendapatkan Musinnah.

Ibnu Umar dan Imam Az-Zuhri semoga Allah meridai mereka, menyatakan bahwa tidak sah berqurban dengan hewan Jadz’ah sekalipun dalam kesulitan. Selanjutnya, mayoritas Ulama berpendapat bahwa sah berqurban dengan hewan Kibas yang berumur 4 tahun masuk 5 tahun secara mutlak. Mereka menafsirkan sunnah saja berqurban dengan hewan yang Musinnah.

 Sebagai titik temunya adalah jika kesulitan mendapatkan Musinnah maka boleh berqurban dengan hewan berumur 4 tahun masuk 5 tahun. Unta minimal berumur 5 tahun lebih atau telah masuk tahun ke-6, Sapi atau kerbau minimal berumur 2 tahun lebih atau telah masuk tahun ke-3, Domba berumur 1 tahun lebih atau sudah berganti gigi,  Kambing berumur 2 tahun lebih atau masuk tahun ke-3

Sebagai tambahan, Ulama sudah sepakat boleh berqurban dengan semua hewan ternak dan mereka hanya berbeda pendapat hewan mana yang lebih utama.Yang lebih utama adalah Kambing berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitab Subulussalam karya Imam As-Shan’ani menyebutkan ada riwayat dari Asma’ semoga Allah meridainya, ia berkata bahwa : Kami berqurban bersama Rasulullah dengan seekor Kuda. Dan Abu Hurairah semoga Allah meridainya pernah berqurban dengan seekor Ayam jantan. Dan jika riwayat Abu Hurairah ini benar maka itu hanyalah Ijtihad beliau semata.

   V.     Hukum Berkurban Satu Ekor Kambing untuk Satu Keluarga

Dalil bahwa satu qurban bisa berserikat pahala untuk satu keluarga yaitu hadits dari ‘Atho’ bin Yasar, ia berkata :

سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1505 dan Ibnu Majah no. 3147. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ada Hadis riwayat Ibnu Majah. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah,

 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ. رواه أبن ماجه

Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, “Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih dua ekor kambing kurban pada waktu Idul Kurban. Saat menghadapkan keduanya beliau mengucapkan: ‘Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). Ya Allah (ini adalah) dari-Mu dan untuk-Mu, dari Muhammad dan umatnya.’.”Kemudian Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ

Bismillah, Allahumma taqobbal min Muhammad wa aali Muhammad, wa min ummati Muhammad yang artinya "Dengan nama Allah Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad." Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam ketika menyembelih hewan Qurban berdoa “Ya Allah terimalah dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad” dan ini dijadikan dalil kuat bahwa boleh berqurban satu ekor Kambing untuk satu keluarga.

Selanjutnya, Dalam buku  Hukum-Hukum Fiqih Islam karya Prof. Muhammad Hasbi ash-shiddiqiey menyebutkan bahwa Imam Malik semoga Allah merahmatinya berkata bahwa boleh berqurban satu ekor Kambing untuk satu orang dan boleh juga satu ekor Kambing untuk satu rumah. Imam As-Shan’ani semoga Allah merahmatinya, dalam kitab Subulussalam menyebutkan kesepakatan Ulama bahwa satu ekor Kambing sah untuk satu orang dan untuk keluarganya atau rumah tangga berdasarkan perbuatan Nabi. Imam Malik semoga Allah meridainya dalam kitab Al-Muwatha’ menyatakan bahwa berdasarkan riwayat dari Abu Ayub Al-Anshari berkata bahwa : Kami berqurban seekor Kambing yang disembelih oleh seorang untuk dirinya dan keluarga rumah tangganya.

 Selanjutnya, seekor Unta untuk tujuh orang dan seekor Sapi juga untuk tujuh orang. Ishaq ibn Rahawih berpendapat satu ekor Sapi boleh untuk 10 orang. Boleh 7 orang tersebut berserikat menyembelih seekor Unta atau Sapi baik mereka satu rumah maupun berlainan rumah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seekor Unta itu untuk sepuluh orang.  Ibnu Rusyd kitab Bidayatul Mujtahid menyebutkan bahwa kesepakatan Ulama menyatakan bahwa tidak boleh perkongsian lebih daripada 7 orang untuk seekor Sapi dan seekor Unta.

Selanjutnya, Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam pernah berqurban dalam Haji Wada sebanyak enam puluh tiga ekor Unta untuk diri beliau dan menyerahkan kepada Imam Ali bin Abu Thalib semoga Allah meridainya, berupa tiga puluh tujuh ekor unta, jadi semuanya seratus ekor Unta. Jadi jika seseorang memiliki kelebihan harta dan kemampuan maka ia boleh dan lebih baik jika berqurban menyembelih hewan Qurban dengan jumlah yang banyak seperti yang dilakukan Nabi dan Imam Ali bin Abu Thalib.

 VI.   Cara Menyembelih Hewan Qurban

Hadis dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

 “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR.Muslim). Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Standarisai Halal, syarat Penyembelihan menurut syariat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.   Yang boleh menyembelih hewan adalah orang yang beragama Islam dan akil balig (dewasa).

2.   Cara penyembelihan adalah sah apabila dilakukan dengan :

a.         Membaca “bismilah (dengan menyebut nama Allah)” saat menyembelih;

b.        Menggunakan alat pemotong yang tajam;

c.         Memotong sekaligus sampai putus saluran pernafasan/tenggorokan (hulqum), saluran makanan, dan kedua urat nadi;

d.        Pada saat pemotongan, hewan yang dipotong masih hidup.

3.   Pada dasarnya pemingsanan hewan (stunning) hukumanya boleh dengan syarat tidak menyakiti hewan yang bersangkutan dan sesudah di stunning hewannya masih hidup (hayat mustaqirrah).

4.   Pemingsanan secara mekanik, dengan listrik, secara kimiawi ataupun cara lain yang dianggap menyakiti hewan hukumnya tidak boleh.

Ketika akan menyembelih hewan Qurban maka hewan tersebut harus dihadapkan ke arah kiblat dan ketika menyembelih mengucapkan doa Sementara itu, apabila hendak menyembelih hewan kurban, maka dapat membaca doa sebagai berikut:

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

Arab-latin: rabbanā taqabbal minnā, innaka antas-samī'ul-'alīm, Artinya: "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

  VII. Cara Pembagian Hewan Qurban

Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا ، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا ] فِى الْمَسَاكِينِ[  ، وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا شَيْئًا

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah). Dalam hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil sembelihan qurbannya kepada orang miskin.

Dalam Kitab Subulussalam disebutkan Hadis itu menunjukan bahwa hewan Qurban itu disedekahkan kulit-kulitnya dan kotorannya untuk pupuk sebagaimana disedekahkan daging-daging dan tulang-tulangnya. Tidak boleh (Haram) hukumnya penyembelih mengambil sedikitpun  dari daging atau bagian tubuh hewan  Qurban itu sebagai upahnya dan ini merupakan kesepakatan Ulama.

 Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyebutkan bahwa Ulama sepakat bahwa tidak boleh menjual daging Qurban dan Ulama ada yang berpendapat boleh menjual kulitnya tetapi hasil dari penjualan kulit itu harus dibagikan semuanya kepada orang yang menerima Qurban.

Selanjutnya, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “ Apabila sudah hari ke 10 Dzulhijjah dan seseorang di antara kamu sekalian hendak berqurban maka jangan hendaknya dia jangan memotong rambut dan kukunya sedikitpun”. Maksud Hadis ini adalah bagi orang yang berqurban agar pada tanggal 10 Dzulhijjah agar tidak memotong kuku dan rambut orang yang mau berqurban agar tidak ada bagian tubuhnya yang terlepas sebelum diampuni dosanya oleh Allah. Tetapi sebagian Ulama menyatakan bahwa hal tersebut adalah Sunnah bukan termasuk haram.

Selanjutnya disunnahkan juga bagi orang yang mau berqurban untuk mensedekahkan daging Qurbannya dan memakannya sebagian. Mayoritas Ulama menyatakan bahwa hewan Qurban itu dibagi atas sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir dan miskin dan sepertiga lagi untuk orang yang berqurban. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Makanlah kamu sekalian, sedekahkanlah dan simpanlah sebagian”.

 Tidak dibenarkan orang yang ditugaskan menyembelih hewan Qurban menikmati atau memakan bagian-bagian tubuh hewan Qurban yang akan dibagikan karena semua bagian tubuh hewan Qurban tersebut adalah hak si penerima hewan Qurban dan orang yang berqurban. Sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaban setiap tindakan dan perbuatan. Selanjutnya para Ulama membolehkan membagian daging hewan Qurban kepada orang-orang bukan Islam.

Selanjutnya, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya : “ Saya melarang kamu membagi daging Qurban itu lebih dari tiga hari agar cukup pemberian orang yang mampu kepada orang yang tidak mampu, maka makanlah sesuatu yang nampak ada bagimu, sedekahkanlah dan simpanlah sebagian”.

Selanjutnya, Dalam kitab “ Kado Sang buah Hati” karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah disebutkan bahwa boleh hukumnya aqiqah dan kurban digabung jika bertepatan dengan hari kurban karena tercapainya tujuan dengan satu penyembelihan. Jika ia menyembelih dengan niat beraqiqah dan berkurban maka hal itu boleh menurut sebagian besar Ulama.

  VIII.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Hukum Qurban dengan Hewan yang Terkena Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Tahun 2022

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa hukum berqurban dengan hewan yang terkena penyakit kuku dan mulut (PMK)  bernomor 32 tahun 2022 yang isinya bahwa :

a.    Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan seperti lepuh ringan pada cela kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, keluar air liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan Qurban;

b.   Hewan yang terkena PMK dengan gejala klins kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban;

c.    Hewan yang terkena PMK dengan gejala klins berat dan sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang dibolehkan Qurban (tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah) maka hewan sembelihan itu dianggap sedekah bukan hewan Qurban.

d.   Pelobangan pada telinga hewan (ear tag) atau pemeberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan itu sudah divaksin atau sebagai identitasnya tidak menghalangi keabsahan hewan Qurban itu.

Umat Islam yang akan berkurban dan penjual hewan Qurban wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan Qurban memenuhi syarat sah khususnya dari segi kesehatan dengan standar yang ditetapkan pemerintah. Umat Islam Islam yang melaksanakan Qurban tidak harus menyembelih sendiri dan/atau menyaksikan langsung peroses penyembelihan.

Bab III

Hikmah Berqurban dalam Islam

Memahami Qurban bisa dilakukan dari berbagai aspek dan dalam pembahasan ini akan dikaji secara hikmah . Ibnu Sina dalam Ath-tha’biyat mendefiniskan hikmat sebagai mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek manurut kadar kemampuan manusia.

Hikmah Qurban yang pertama adalah agar kita memperkuat keyakinan dan keimanan kepada Allah (memperkuat Tauhid).  Prof. Ismail Raji’ al-Faruqi dalam karyanya “ Tawhid “its implications for thought and life” menyebutkan bahwa secara tradisional dan ungkapan yang sederhana, Tauhid adalah keyakinan  dan kesaksian bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”. Pernyataan yang sangat singkat ini mengandung makna  yang paling agung dan paling kaya dalam seluruh khazanah Islam.

Syarat sah diterimanya Qurban oleh Allah adalah Tauhidnya harus benar. Jika Tauhidnya rusak maka sebanyak apapun dan sebaik apapun Qurban tidak ada nilainya dihadapan Allah. Seperti halnya Qabil yang membunuh Habil karena Qabil mengalami kecacatan Tauhid hal ini menyebabkan  hilangnya rasa taqwa dalam diri Habil yang membuat dirinya diliputi rasa dengki dan melakukan dosa teramat besar yakni membunuh saudaranya sendiri.

Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah disebutkan bahwa : Ia (Qabil) berkata, "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa." "Sungguh, kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dari dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itu­lah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.

Oleh sebab itu, dalam buku “ Rumah Tangga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam” karya H.M.H Al-hamid al-Husaini disebutkan bahwa Imam Hasan bin Ali bin Abu Thalib semoga Allah meridhainya berpesan agar menjauhkan diri dari sifat iri hati karena iri hati adalah printis kejahatan karena iri hati Qabil membunuh Habil. Dalam melaksanakan Qurban dan menerima Qurban haruslah berusaha menghilangkan rasa iri hati dan memperbaiki Tauhidnya. Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 32 : “ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain”.

Iri hati hanya diperbolehkan kepada orang yang yang dikaruniai ilmu oleh Allah dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah lalu ia menginfakannya di jalan Allah. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “ Mukaasyafatul Quulub” menyebutkan  orang yang tidak takut kepada Allah akan selalu mengeluarkan rasa permusuhan, kebohongan, kedengkian dari dalam hatinya dan kedengkian itu dapat merusak kebaikan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Sesungguhnya dengki itu akan membakar hangus kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar”.

Ibadah Qurban harus berupaya menghilangkan sifat iri atau dengki. Salah satu penyebab iri hati pada orang lain adalah merasa diri terkena penyakit kegagalan sama halnya dengan Qabil yang merasa gagal mempersembakan Qurban kepada Allah. Untuk itu David J. Schwartz dalam bukunya “ Berpikir dan Berjiwa Besar” menyebutkan bahwa untuk mengatasi dari penyaki kegalalan maka pelajarilah orang lain secara cermat untuk menemukan mengapa ia dapat berhasil dan kemudian terapkan prinsip penghasil keberhasilan pada kehidupan.

Kemudian, jangan menjadi orang yang suka berangan-angan kosong dan memboroskan energi mental untuk bermimpi menjadi  orang yang berhasil mencapai tujuan tanpa usaha untuk mendapatkan keberhasilan. Kita tidak akan menjadi berhasil hanya melalui nasib baik, keberhasilan datang dari usaha dan pengusaan prinsip-prinsip yang menghasilkan keberhasilan. Selain itu cara agar menghilangkan  rasa dengki dan iri hati adalah selalu bersyukur dan jangan suka membandingkan diri terhadap keberhasilan orang lain namun berusaha dan bertawakal itu lebih utama.

Yang kedua, hikmah Qurban dalam Islam dapat kita ambil dari sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail salam sejahtera atasnya. Nabi Ismail salam sejahtera atasnya, rela mengorbankan  jiwanya (nafsnya) untuk mematuhi perintah Allah, Nabi Ismail salam sejahtera atasnnya juga rela tubungnya dicincang-cincang demi kepatuhan terhadap Allah. Lantas yang menjadi Muhasabah (bercermin) diri bagi kita adalah sudah sejauh manakah kita mengorbankan pemikiran, Qalbu dan nafs serta harta kita untuk beribadah kepada Allah atau berbagai nikmat yang dianugerahkan kepada kita apakah hanya menjauhkan diri kita daripada mengingat Allah ?

Hari Raya Qurban menjadi muhasabah bagi kaum Muslimin dan Mukminin. Peristiwa penyembelihan Nabi Ismail salam sejahtera atasnya yang dilakukan Nabi Ibrahim salam sejahtera atasnya juga memberikan pesan penting bagi kaum Muslimin yakni pentingnya mendidik dan memiliki keluarga yang Rabbaniyah, dekat dengan Allah. Karena mustahil Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim mampu melaksanakan perintah Allah tersebut jika sebelumnya Nabi Ibrahim tidak membekali pendidikan yang benar sesuai ajaran Islam kepada Nabi Ismail.

Ketika kaum Muslimim merayakan Hari Raya Qurban dan menyaksikan hewan-hewam disembelih dengan dengan mengucapkan kalimat Allah yang Agung, takbir, tahmid dan tahlil kemudian menyantap hewan Qurban itu dengan nikmat maka pada saat itu hewan-hewan yang dagingnya dicincang-cincang dan disantap itu akan meminta pertanggungjawban kepada kita di hadapan Allah, hewan-hewan itu rela mengorbankan nyawanya untuk Syariat Islam lantas sudah sejauh manakah kontribusi kita kepada Islam dan sejauh manakah kecintaan kita kepada Syariat dan syiar-syiar Islam. Untuk itu perlu ada Muhasabah (perenungan diri) dan diikuti terus berupaya beribadah mendekatkan  diri kepada Allah Yang Maha Agung.

Hikmah yang ketiga adalah,  Nabi Ismail dipilih Allah untuk disembelih bukan Nabi Ishaq, padahal Nabi Ismail dari kangan Arab dan keturunan seorang mantan budak yaitu Sayyidah Hajar salam sejahtera atasnya, artinya disitu adalah dengan itu Allah hendak memberikan suatu pengajaran pada seluruh ciptaaannya bahwasanya yang membeda-bedakan  insan yang satu dengan yang lain  adalah iman dan amal shaleh yang  menghasilkan taqwa. Allah tidak memebeda-bedakan bangsa Arab dan non-Arab seperti kaum Ahli Kitab.

Oleh karena itu Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam Pidatonya nyang terakhir dalam Haji Wada dan Piagam Madinah selalu mengumandangkan pesan egalitarianisme. Jadi, ketika kita bersikap membeda-bedakan status bangsa dan merasa bangsanya terhebat maka pesan spritual Qurban tidak akan tercapai.

Hikmah keempat adalah, Ibadah Qurban meningkatkan ibadah sosial yang sudah banyak diabaikan kaum Muslimin pada dewasa ini. Karen Amstrong dalam bukunya “ Sejarah Tuhan” menyebutkan bahwa praktik terpenting dalam Islam adalah kaum Muslimin memiliki kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara dimana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak, pesan moral Al-Qur’an sangat sederhana yakni janganlah menimbun kekayaan dan mencari keuntungan bagi diri sendiri tetapi bagilah kemakmuran secara merata  dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir-miskin”.

Dengan adanya ibadah Qurban ini, Islam menghendaki orang-orang Muslim yang mammpu agar tidak melupakan fakir-miskin dan kaum yang lemah dengan cara memberi mereka makanan berupa hewan daging Qurban. Untuk itu, kaum Muslimin dengan perayaan Hari Raya Qurban diminta oleh Allah senantiasa meningkatkan ibadah sosial sehingga tidak hanya sibuk meratakan dahinya di atas sajadah.

Hikmah yang kelima adalah, dengan adanya hari raya Qurban ini, umat Islam kembali diingatkan untuk mencintai syariat Islam, mendirikan Shalat sesuai dengan firman Allah yangb berbunyi : , فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْFashalli Lirabbika wanhar (Lalu Shalatlah kamu kepada Tuhanmu dan berqurbanlah). Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyebutkan Orang-orang Muslim sekarang banyak yang ketakutakan dengan syariat Islam karena terlalu lama termakan propaganda Kolonialisme. Padalah syariat Islam itu indah, menyebarkan rahmat dan mengajarkan untuk saling berbagi seperti Qurban ini.

Hikmah keenam adalah perayaan hari raya Qurban untuk mengingatkan kembali sejarah para Nabi dan Rasull serta umat-umat terdahulu sebelum kita, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah yang terjadi dan meyakini kebenarannya walau kita sendiri tidak pernah melihat apa yang terjadi sesungguhnya. Banyak Intelektual Muslim seperti Dr. Thaha Hussein (mantan Rektor Universitas Alexsandria, Mesir) yang mengingkari sejarah-sejarah yang termaktub dalam Al-Qur’an termasuk sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alaihisalam, ia walau buta namun hafal Al-Qur’an dan menguasai ilmu keislaman namun ia dalam bukunya “Syair-Syair Jahiliyah” tidak yakin akan sejarah dalam Al-Qur’an dan menyebutnya sebagai dongeng-dongeng jahiliyah.

Oleh sebab itu, kita umat Muslim wajib mempelajari sejarah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Islam secara keseluruhan agar dengan hal tersebut kita dalam mengambil pelajaran.

Hikmah ketujuh, meningkatkan Taqwa. Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib pernah bertanya pada muridnya yaitu Imam Asy-Syibliy. Apakah saat menyembelih hewan  Qurban telah berniat memotong belenggu ketamakan dan kerakusan ? Apakah telah berniat hendak menghayati kehidupan yang bersih dari dosa dan noda ? Apakah juga telah bertekad mengikuti jejak Nabi Ibrahim yang rela melaksanakan perintah Allah menyembelih putera kesayangannnya sendiri ? jika belum maka berarti belum berqurban sebenarnya.

Jadi, orang yang berqurban dan menerimanya harus berniat membersihkan dirin dari ketamakan dan kerakusan, berniat menghayati kehidupan yang bersih dari noda dan dosa. Jika telah berniat dan berusaha dengan cara berupaya melaksanakan ibadah wajib, sunnah dan muamalah (sosial kemasyarakatan) maka akan menghasilkan rasa takut pada Allah dan ia akan dikategorikan sebagai orang yang bertaqwa.

Takwa berarti melindungi diri dari akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat. Nenurut Prof. Fazlur Rahman , takwa istilah tunggal yang terpenting di dalam Al-Qur’an. Takwa pada tingkatan tertinggi menunjukan keperibadian manusia yang benar-benar utuh dan integral. Orang yang bertakwa mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi berbagai macam persoalan hidup dan dapat melihat sinar yang menerangi jalan ditengah-tengah malam gelap gulita. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita termasuk orang yang bertakwa. Amin.

Kesimpulan : Ibadah Qurban telah dilaksanakan sejak Nabi Adam alaihisalam yang tujuannya mensucikan dari noda dan dosa serta mengajarkan kita untuk saling berbagi pada fakir dan msikin. Hukum melaksanakan ibadah Qurban adalah sunnah muakkad.

Saran  : Berqurbanlah sesuai syariat Islam karena hanya ibadah yang sesuai syariat Islam saja yang mendapatkan pahala disisi Allah.

Catatan : Demikian tulisan ini, Saran dan kritikan sangat kami butuhkan namun kritiklah sesuai dengan adab dan etika. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada orang-orang yang mampu melaksanakan Qurban dan melancarkan rezekinya. AMIN

 

Bab V

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al Karim dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam;
  2. Imam Malik bin Anas. Kitab Hadis Al-Muwaththa’ ;
  3. Muhmmad Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu wal Marjan : Kumpulan Hadis Shahih Bukhari dan Muslim;
  4. Imam al-Munziri, Ringkasan Shahih Muslim.
  5. Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Kitab Subulussalam jillid 4;
  6. Tafsir Ibnu Katsir terbitan Sinar Baru Algesindo;
  7. Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terbitan Pustaka al-Kautasr;
  8. Prof. Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Gukum-Hukum Fiqih Islam, Bulan Bintang 1952: Jakarta.
  9. Prof. Dr. Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam jilid II,terbitan Bulan Bintang
  10. Imam Al-Ghazali, Menyingkap Rahasia Qalbu, penerbit Amelia Surabaya
  11. Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Kado Sang Buah Hati, terbitan Al-Qawam
  12. Ibnu Katsir, sejarah para Nabi terbitan Pustaka al-Kautsar
  13. H.M.H Al-Hamid al-Husaini, Rumah Tangga Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam, terbitan Pustaka Hidayah
  14. Muhammad Husain Haekal, Hayatu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, terbitan Lentera
  15. Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah terbitan Pustaka al-Kautsar
  16. Prof. Ismail Raji’ al-Faruqi, Tauhid, terbitan Pustaka
  17. David J. Schwartz, Berpikir dan Berjiwa Besar, terbitan Binarupa Aksara
  18. Prof. Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqiey, Falsafah Hukum Islam, terbitan Bulan Bintang



Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال