Menelusuri Pola Penistaan Agama dari Tahun 2021-2024

Penulis: Ilma Nurlaila*

Melihat banyaknya kasus tentang penistaan agama dari tahun ke tahun, lebih tepatnya pada tahun 2021-2024, yang mana hal itu dapat mengancam perdamaian dan stabilitas sosial di masyarakat, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini.


Kasus-kasus penistaan agama tersebut tentunya memerlukan beberapa solusi atau cara yang baik untuk mengatasinya, seperti dengan melakukan pendekatan yang berlandaskan nilai-nilai agama dan perdamaian. 

Selain itu, penting juga untuk memahami lebih dalam tentang dinamika sosial dan politik yang ada agar dapat merespon situasi dengan lebih bijaksana dan efektif. 

Dengan demikian, pendekatan yang komprehensif dan inklusif, yang melibatkan pemahaman mendalam tentang konteks sosial, politik, dan keagamaan, diharapkan mampu meredakan ketegangan dan mendorong terciptanya harmoni serta stabilitas di tengah masyarakat yang majemuk.

Perbedaan pola penistaan dari tahun ke tahun

Pola penistaan agama pada tahun 2021-2024 menunjukkan beberapa variasi yang menarik untuk dicermati, di mana variasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti konteks politik, sosial, dan budaya yang secara dinamis mengalami perubahan dari waktu ke waktu. 

Pada pembahasan artikel ini pola penistaan agama lebih terkait dengan isu-isu politik yang kontroversial atau peristiwa tertentu yang memicu keributan antar kelompok.  

Seperti Kasus Muhammad Kace adalah kasus politik kontroversial atau peristiwa yang memicu keributan antar kelompok. Pada bulan Agustus 2021, Muhammad Kace melakukan tindakan penistaan agama yang menjadi viral di media sosial. 

Kasus dugaan penistaan agama oleh TVOne menarik perhatian penelitian analisis framing pemberitaan dan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. (Mantri, 2022)

Kasus kontroversial yang melibatkan Ferdinand Hutahaean, seorang politisi dan aktivis Indonesia, terjadi pada tahun 2022. Kasus ini disebut sebagai "Kasus Kaleidoskop 2022: Ferdinand Hutahaean Terjerat Kasus Penistaan Agama."

Ferdinand Hutahaean menjadi subjek kontroversi besar setelah cuitannya di Twitter, sebuah platform media sosial, yang dianggap menyinggung agama Islam. 

Dalam cuitannya, dia menulis beberapa kata yang dianggap merendahkan dan menghina Islam. Cuitan tersebut cepat menyebar di media sosial dan menarik perhatian masyarakat. 

Ada berbagai tanggapan terhadap cuitan tersebut. Sebagian besar orang Indonesia, terutama orang Islam, tersinggung dan marah. Mereka menuntut Ferdinand Hutahaean bertanggung jawab atas pernyataannya dan menuduh dia melakukan penistaan agama. (Yuantisya, 2022)

Pada tahun 2023, pola penistaan agama mengalami pergeseran yang signifikan, di mana penistaan agama lebih banyak terkait dengan masalah sosial ekonomi atau konflik antar budaya. Perubahan ini menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial dan ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap persepsi masyarakat terhadap agama tertentu. 

Seperti contoh penistaan agama yang terkait di tahun 2023 adalah kasus yang melibatkan seorang aktivis muda bernama Panji Gumilang yang diduga melakukan penistaan agama. 

Kasus Panji Gumilang dimulai ketika dia memposting konten di media sosial yang dianggap merendahkan agama Islam, yang menimbulkan kecaman dan protes dari banyak orang, terutama dari masyarakat Islam. Kasus Panji Gumilang ini tidak terlibat dalam kasus penistaan agama karena dia tidak terlibat dalam kegiatan politik atau partai politik tertentu. 

Namun, reaksi dan tanggapan dari pihak-pihak politik terhadap kasus tersebut, terutama terkait dengan cara mereka menanganinya, dapat memiliki konsekuensi politik. Sejumlah politisi dan partai politik mungkin mencoba memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan politik mereka sendiri. 

Mereka mungkin mencoba mendapatkan dukungan dari kelompok agama tertentu atau menunjukkan komitmen mereka terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. (Chaterine, 2023)

Tidak hanya itu pada tahun 2024 dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh oknum pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berinisial AK. Dalam kasus tersebut AK diduga melakukan penistaan agama dengan menginjak kitab suci salah satu agama. Sebaliknya, dalam cuplikan video penistaan agama yang diduga dilakukan AK telah dibagikan di media sosial. 

Pada postingan itu menunjukkan seorang pria dengan salah satu kakinya menginjak kitab suci agama tertentu. Diceritakan bahwa AK sengaja menginjak kitab suci untuk menunjukkan kepada sang istri bahwa dia tidak selingkuh. Menginjak kitab suci salah satu agama, yang diduga dilakukan oleh AK, dapat dianggap sebagai tindakan penistaan agama yang sangat sensitif dalam situasi ini. (Nurcahyo, 2024)

Sebagai posisi pengamat, saya melihat penistaan agama sebagai masalah yang kompleks yang dapat mengancam stabilitas dan perdamaian masyarakat. 

Untuk menangani masalah ini, prinsip agama dan perdamaian sangat penting, serta pemahaman dinamika sosial dan politik saat ini. Pada kejadian ini sering kali memanfaatkan sentimen keagamaan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu, sehingga memicu reaksi keras dari berbagai pihak.  

Menurut saya untuk menyelesaikan konflik di media, saya akan menekankan betapa pentingnya pendekatan yang berbasis pada pembicaraan, pembelajaran, dan pemahaman. media juga harus melaporkan penistaan agama dengan benar. Mereka harus menghindari sensationalisme dan memastikan bahwa liputan mereka tidak menimbulkan konflik atau memperkeruh suasana.

Alasan terjadi pola yang sama 

Seakan tidak belajar pola penistaan agama dari tahun ke tahun, hal itu disebabkan oleh faktor-faktor yang masih belum terselesaikan pada masa sebelumnya. Seperti, konflik antar kelompok yang belum terselesaikan bahkan meningkatkan tingkat penistaan agama. Selain itu juga, kurangnya langkah-langkah preventif atau tindakan penegakan hukum yang kurang tegas, dan membuat pola tersebut masih terjadi.

Pihak-pihak politik sering menggunakan sentimen keagamaan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Dalam situasi seperti ini, penistaan agama sering digunakan sebagai cara untuk mengubah pendapat publik atau mendapatkan dukungan politik yang lebih besar. 

Kejadian-kejadian ini sering kali memanfaatkan sentimen keagamaan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu, sehingga memicu reaksi keras dari berbagai pihak.  

Teori dalam pendekatan Max Weber

Max Weber adalah seorang sosiolog dan ahli teori politik yang dapat dihubungkan dengan pendekatan ini. Dia terkenal karena pendekatannya yang berorientasi pada pemahaman yang mendalam tentang fenomena sosial dan politik, serta penekanannya pada analisis kontekstual yang kompleks. 

Dalam konteks artikel ini, pemeriksaan tahunan tentang tingkat penistaan agama mencerminkan pendekatan Weberian untuk memahami dinamika sosial dan politik.

Pengamatan tentang bagaimana kasus penistaan agama seringkali dikaitkan dengan masalah politik yang kontroversial, serta bagaimana sentimen keagamaan digunakan untuk mencapai tujuan politik. Hal ini mencerminkan pemahaman yang dalam tentang hubungan yang kompleks antara agama, politik, dan masyarakat. 

Pandangan Weber tentang pentingnya rasionalitas dan pemahaman yang mendalam dalam menghadapi tantangan sosial dan politik dan pentingnya pendekatan berbasis pembicaraan, pembelajaran, dan pemahaman dalam menangani konflik di media. 

Dengan demikian, artikel tersebut dapat dianggap sebagai contoh dari pendekatan ilmuwan sosial karena menempatkan penekanan pada pemahaman dan diskusi sebagai solusi dan melakukan analisis menyeluruh tentang perbedaan pola penistaan agama dari tahun ke tahun.

Salah satu ayat Alqur’an yang relevan dengan kasus penistaan agama yaitu QS. Al-Hujurat (49:11). Ayat ini menekankan betapa pentingnya menghormati orang lain dan tidak menghina mereka, terutama dalam kasus penistaan agama. Dengan mengingat bahwa Allah mengetahui siapa yang lebih baik dari yang lain.

Setiap orang harus berhati-hati dalam bertindak atau mengucapkan kata-kata yang bisa saja merendahkan atau menyakiti orang lain. Ayat ini mengingatkan bahwa penistaan agama adalah tindakan yang melanggar prinsip-prinsip moral dan etika Islam, dan itu merupakan perbuatan yang buruk dan tidak pantas dilakukan oleh seorang mukmin.

*) Mahasiswa Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال