Melihat Dunia Dakwah Islam Indonesia Masa Modern: Ketika Kredibilitas Seringkali Kalah Oleh Popularitas

Penulis: Dhonni Dwi Prasetyo*

Islam disebut sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yakni Islam adalah agama yang ajaran syari’at-nya menjadi pelopor & penebar kasih sayang bagi seluruh umat manusia dan segala hal yang telah diciptakan oleh Allah SWT. 

Ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini telah menyebar ke seluruh pelosok penjuru dunia, tak terkecuali negara kita Indonesia—yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. 


Bila kita mau sejenak membaca dan mengingat ulang sejarah, maka tersebarnya agama Islam secara luas ini tak terlepas dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW yang penuh pengorbanan, namun oleh beliau tetap dibawakan dengan ramah dan penuh kasih sayang. 

Hal ini tercatat dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah yang menuturkan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW ketika mendakwahkan agama Islam kepada semua pihak, termasuk pula kepada kaum kafir yang sangat membencinya, bahkan tak segan ingin membunuhnya. 

Dewasa ini, sedikit banyak kehidupan kita telah diwarnai dengan penemuan berbagai produk teknologi canggih yang membuat kita dapat melakukan interaksi sosial dengan sesama, berbagi pengetahuan, mencari hiburan, dan hal-hal lainnya secara cepat dan mudah. 

Kehadiran produk-produk teknologi informasi & komunikasi tersebut memungkinkan semua orang yang memiliki akses untuk berbuat segala sesuatu yang mereka inginkan, termasuk di antaranya adalah berbagi ilmu pengetahuan keagamaan alias dakwah Islamiyyah digital yang dilakukan oleh beberapa kalangan tertentu –yang biasa dikenal dengan sebutan influencer muslim. 

Kemunculan aktivitas dakwah Islamiyyah digital ini tentu saja menimbulkan dampak positif dan negatif sebagaimana kemunculan produk-produk teknologi informasi & komunikasi yang kian masif saat ini. 

Memang benar adanya bahwa kehadiran dakwah Islamiyyah yang menghiasi dunia maya ini sedikit banyak membantu dan mempermudah umat Islam—khususnya umat Islam perkotaan yang sangat sibuk dengan aktivitas pekerjaannya, sehingga hampir tidak memiliki waktu untuk belajar agama secara langsung kepada tokoh agama/ sejenisnya- dalam menggali ilmu-ilmu keagamaan. 

Namun, di satu sisi, kehadiran dakwah Islamiyyah di era modern ini juga memberikan peluang kepada semua orang (yang belum tentu ahli/ pakar pada bidang keagamaan, sehingga otoritas dan kredibilitas keilmuannya belum jelas) dapat mengemukakan ilmu-ilmu atau pendapat keagamaannya di media sosial yang mereka punya. 

Satu kondisi yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketika ada oknum influencer muslim yang hanya bermodal wajah rupawan, pandai public speaking dan punya alat pembuat konten lengkap –meski mereka belum memiliki basic ilmu keagamaan yang memadai, atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan keagamaan secara intensif sebelumnya—turut serta dalam aktivitas dakwah Islamiyyah digital. 

Tentu saja realita demikian ini membahayakan umat Islam—khususnya yang masih awam dalam ilmu keagamaan-- karena kehadiran mereka membuat umat Islam ‘mengonsumsi’ ilmu keagamaan yang tidak jelas sumber data/dalilnya. 

Selanjutnya, mengingat bahwa sikap dasar manusia dewasa ini rata-rata suka hal yang instan dan serba cepat, termasuk dalam belajar ilmu agama, membuat kehadiran oknum influencer muslim yang belum tentu memiliki kredibilitas dan otoritas keilmuan ini digemari oleh banyak khalayak. 

Di samping itu, kehadiran ustadz/ah digital yang punya popularitas tinggi ‘ini’ juga menggeser peran sentral para kiai kampung dalam membimbing umat Islam, sehingga para kiai kampung (yang cenderung sudah jelas kredibilitas dan otoritas keilmuannya, namun tidak punya popularitas tinggi) ini mulai banyak ditinggalkan oleh umatnya sendiri. 

Bila terus-menerus terjadi, kondisi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya bias keilmuan antara informasi keilmuan yang valid dan tidak. Bias keilmuan ini sendiri mengakibatkan kebingungan dalam diri umat Islam, khususnya yang masih awam, dalam mencari ilmu agama, dan bila sampai salah paham, akibatnya mereka menjadi berpaham salah—mereka jadi radikal, intoleran, dsb, gegara mendapat ajaran agama yang tidak tepat. 

Melalui tulisan ini, penulis bukan berarti tidak menghargai kebebasan berpendapat orang lain, akan tetapi berpendapat dalam hal keagaman ini memang perlu kredibilitas dan otoritas keilmuan yang memadai, bukan sekadar berbekal popularitas semata. 

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Quraish Shihab, salah seorang ahli tafsir Alqur’an hebat Indonesia, dalam salah satu kesempatan kajian beliau bahwa “memang sulit menghalangi orang berpendapat soal agama mereka, tapi seharusnya mereka sadar bahwa setiap ilmu memiliki syarat. Tidak semua bebas berpendapat tanpa otoritas.”  

Secara tersirat kalimat tersebut mengandung makna bahwa, memang setiap orang punya hak untuk berpandangan, namun dalam hal persoalan agama seharusnya seseorang sadar adanya syarat sebelum berturur kata terkait persoalan agama (perlu adanya kredibilitas & otoritas keilmuan).  Oleh sebab itu, dengan adanya realita demikian, penulis mengemukakan beberapa gagasan berikut:

Pertama, para cendekiawan muslim yang punya kredibilitas dan otoritas keilmuan, khususnya yang masih muda, harus ikut terjun di dunia dakwah digital. Mereka harus turut mengimbangi konten-konten keagamaan ‘sembarangan’ dengan konten-konten yang ‘berkualitas dan kredibel’. Mindset yang harus ditanamkan adalah bila yang ‘pandai’ tidak mau mengurusi pendidikan umat, maka pendidikan umat akan diurusi oleh yang ‘bodoh’. 

Hal ini sebagaimana dunia politik, yang bila diisi oleh mereka yang gila jabatan, maka rusaklah dunia perpolitikan tersebut. Begitu pun dengan dunia dakwah digital. Maka, slogan jawa “sing waras ngalah” tidak relevan dalam persoalan dakwah digital ini, karena bila kehadiran ustadz/ah digital yang ilmunya ‘karbitan’ tidak diimbangi dengan ustadz/ah digital yang ‘matang sempurna’ keilmuannya, kemaslahatan umat akan terancam dan dipertaruhkan, sebab bisa jadi mereka menerima materi yg tidak tepat dan bahkan membahayakan atau menyesatkan.

Kedua, kaderisasi ulama’ / intelektual muslim perlu dilakukan. Hal ini sangat perlu dan bisa dilakukan dengan cara para santri yang masih muda saat ini diberikan fasilitas pendidikan keagamaan yang memadai dan diberikan bimbingan pembelajaran yang intensif, sehingga di masa depan ulama’ alias intelektual muslim akan banyak terlahir dan siap membimbing umat. 

Ketiga, organisasi keagamaan harus turut serta dan senantiasa mengawal jalannya dua strategi dunia dakwah digital sebagaimana dua point di atas. Organisasi keagamaan besar yang ada di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’, harus turun tangan dan mengawal langsung dengan cara saling bersinergi dan bahkan menggandeng pemerintah negara untuk merealisasikan strategi dunia dakwah digital tersebut di atas secara konkret, di samping senantiasa membuat inovasi atau terbosan baru sesuai kebutuhan zaman.

Dengan demikian InSyaAllah dakwah Islam yang rahmatan lil alamin akan senantiasa tercipta dan membawa kebermanfaatan dan kemaslahatan bagi umat Islam dalam khalayak luas. Wallahu a’lamu bishshowaab.

*) Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah & Alumnus Universitas Negeri Semarang.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال