Amul Jama'ah: Titik Balik Sejarah Islam dan Warisan Sayyidina Hasan

Penulis: Anisatusshofiyah*

Sejarah kepemimpinan Islam mewariskan cerita amat penting dan kompleksitas peristiwa yang menarik untuk dikaji. ‘Amul Jama’ah sebagai suatu tahun persatuan menjadi salah satu peristiwa sejarah Islam yang memberikan dampak besar pada keberlanjutan sejarah Islam pada masa setelahnya. 


‘Amul Jama’ah menjadi tanda berakhirnya perang saudara yang dikenal sebagai fitnah pertama. Periode perang saudara dikenal dengan periode penuh gejolak, yang mewariskan cerita kelam dalam sejarah Islam, yang menandai perpecahan dan pertumpahan darah antar sesama muslim. 

Peristiwa ini berakar pada kematian Utsman bin Affan yang saat itu memegang tonggak kekuasaan umat Islam. Kematian Utsman bin Affan ini digadang dilakukan oleh sekelompok pemberontak yang melancarkan aksinya pada tahun 656 M. 

Kelompok melakukan aksinya didasarkan atas ketidakpuasan akan kepemimpinan Utsman bin Affan, yang dituduh melakukan nepotisme dan korupsi.

Ali bin Abi Thalib sorang yang dianggap mumpuni dalam menjalankan roda pemerintahan selepas kekosongan pemerintahan selepas meninggalnya Utsman bin Affan dibaiat oleh masyarakat Iraq dan mayoritas umat muslim sebagai pengganti Utsman bin Affan. 

Penuntutan darah dan pengusutan kematian Utsman menjadi akar masalah yang menjalar dan digunakan oleh pihak Muawiyah sebagai dalih dari sikap oposisinya terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Ia menyatakan penolakan tegas terhadap bai’at Ali sebelum tuntutan pengusutan kasus kematian Utsman terpenuhi (Nurul Hak, 2019) 

Ali bin Abi Thalib yang mendapat tuntutan penuntasan kasus pembunuhan berada dalam posisi sulit, sebab ia memandang kasus ini sebagai suatu hal yang kompleks dan membutuhkan waktu dan kehati-hatian dalam penyelesaiannya mengingat begitu bayak orang yang terlibat. 

Kondisi tersebut menimbulkan kekecewaan yang mendalam pada beberapa pihak sehingga berbuntut pada meletusnya berbagai perang saudara, salah satunya yakni perang Jamal yang terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh Aisyah RA dengan pasukan Ali bin Abi Thalib peperangan ini menjatuhkan korban ratusan jiwa. 

Tragedi peperangan ini menjadi tragedi terbesar sepanjang sejarah yang belum pernah dirasakan oleh kaum muslimin sepanjang masa. Dimana yang dahulunya pedang digunakan sebagai penebas kepala musuh Islam, akan tetapi kala itu pedang menjadi penebas tubuh saudara dan teman sesama muslim. (Gunawan, G., 2023)

Perang saudara yang meletus setelah terjadinya perang Jamal yakni perang Shifin yang di nakhodai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan atas tuntutan yang sama, yakni pengusutan kasus kematian Utsman dan penghukuman pelakunya. Peristiwa ini tentu menjatuhkan tak sedikit korban dari kedua belah pihak yang saling berperang. (Masduki, 2008)

Peperangan ini diakhiri dengan peristiwa arbitrase yang menimbulkan 2 kekuasaan dan kekhalifahan dalam satu masa, yakni Muawiyah dengan kekuasaan yang berada di Syiria dan Ali bin Abi Thalib yang berada di Iraq. 

Peristiwa arbitrase ini tak elaknya dianggap merugikan pihak Ali bin Abi Thalib dan menimbulkan kekecewaan dari berbagai pihak. Muawiyah dipandang sebagai gubernur yang melakukan oposisi terhadap khalifah tapi memiliki kedudukan setara dengan khalifah. 

Kekecewaan ini melahirkan golongan baru yang bernama Khawarij, dimana golongan ini mulanya merupakan pasukan pendukung Ali bin Abi Thalib. Pasukan ini juga melakukan pemberontakan, yang pada akhirnya menjadi dalang dalam pembunuhan Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh Ibnu Muljam pada tanggal 19 Ramdhan tahun 40H/661 M.

Melihat kekacauan dan perpecahan umat Islam yang menimbulkan berbagai kelompok, Hasan Bin Ali bin Abu Thalib yang kala itu ditunjuk sebagai pengganti kepemimpinan ayahnya berpikir bahwasanya 2 kekuatan umat Islam ini apabila diteruskan dapat menjadikan pertumpahan darah yang lebih parah daripada pertumpahan darah yang pernah terjadi sebelumnya. 

Konflik dan perpecahan juga menjadi suatu peristiwa yang pastinya tak terelakkan yang harus segera diakhiri. Keadaan masyarakat Iraq yang kala itu berada di bawah kekuasaannya menjadi pertimbangan lebih baginya, Hasan bin Ai menyadari bahwa masyarakat Iraq bersedia menaatinya akan tetapi tidak bersedia untuk membelanya dan mengikuti perintahnya. 

Kesadaran itu menimbulkan inisiatif Hasan bin Ali untuk menyerahkan tampuk kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai usaha untuk menyatukan kaum muslim dan menghindari pertumpahan yang berkelanjutan. 

Maka ‘Amul Jama’ah ini sebagai peristiwa penting yang mencerminkan sikap kebijaksanaan dalam kepemimpinan Hasan Bin Ali. 

Hasan bin Ali menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan dengan beberapa persyaratan, diantara-nya; 

1) Hasan memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dengan syarat Muawiyah harus berpegang teguh pada Kitabullah, Sunah Rasul, dan Khalifah yang Shaleh 

2)Muawiyah tidak akan mengangkat khalifah setelahnya dan persoalan Khalifah setelahnya menjadi urusan umat muslim 

3) Jaminan keselamatan diri dan harta semua orang. (Rustan, 2020)

Muawiyah menyetujui syarat yang diajukan Hasan, dan menerima bai’at dari penduduk Kuffah serta resmi menjadi Khalifah pada tahun 661 M. Tahun tersebut disebut sebagai Tahun persatuan atau ‘Amul Jamaah yang menorehkan sejarah besar dalam sejarah pemerintahan islam. 

Hasan bin Ali sebagai sosok pemimpin yang peduli dan mengutamakan persatuan umat islam. Tindakan yang diambil oleh Hasan ini juga merealisasikan kebijaksanaan dan keteladanan yang beliau miliki dalam menyelesaikan konflik dimana ia dengan tegas mengambil keputusan di tengah keadaan yang sulit. 

Sikap Hasan bin Ali ini menandakan bahwa beliau tidak gila akan kekuasaan melainkan mengutamakan kemaslahatan umat daripada kepentingan pribadi. Dalam Nubuwwah nya, Nabi Muhammad juga telah menyebutkan menyatakan bahwasanya cucunya Hasan adalah seorang pemimpin yang suatu saat nanti akan menjadi penengah dan pendamai antara 2 kelompok besar yang berseteru.

Akan tetapi janji yang dipegang Muawiyah dalam menjalankan kepemimpinannya tidak terealisasikan dengan baik, terbukti saat Muawiyah lengser dari kepemimpinannya dan menunjuk putranya Yazid bin Muawiyah sebagai penggantinya. 

Dengan itu, Muawiyah telah mengingkari kesepakatan yang telah ia buat, dan menandakan munculnya fase baru dalam sejarah Islam dimana kepemimpinan tidak lagi didasarkan atas musyawarah mufakat dalam memilih pemimpin akan tetapi berubah menjadi sistem kepemimpinan yang monarki absolut dan turun temurun. 

Maka muncullah Dinasti Umayyah sebagai Dinasti Islam pertama dalam sejarah kepemimpinan Islam.

Dari peristiwa ‘Amul Jama’ah disimpulkan bahwa kepemimpinan Hasan bin Ali ini patut menjadi teladan dan contoh bagi pemimpin masa kini yang mengedepankan nilai-nilai persatuan dan perdamaian diatas kepentingan pribadi meskipun ia berhak atas kepemimpinan yang ia miliki. 

Tindakan yang beliau ambil ini mencerminkan sikap kesabaran, keadilan, kedermawanan, dan kebijaksanaan seorang pemimpin. Hasan bin Ali sebagai sosok pemimpin yang karismatik. keputusannya menjadi langkah gemilang kepemimpinannya. Karena tak dipungkiri apabila langkah ini tidak diambil, maka peperangan, perselisihan dan konflik tak kian mereda dan mengakibatkan ribuan nyawa melayang dalam peperangan.

*) Mahasiswi Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi UIN Sunan Ampel Surabaya

Daftar Pustaka

Gunawan, G. (2023). Implikasi Perang Jamal dan Shiffin dalam Islam Serta Pengaruhnya Terhadap Sejarah Politik Islam (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara).

Masduki. (2008). Khalifah Ali bin Abi Thalib:: Awal Tragedi Perang Saudara dalam Sejarah Islam. Al-Fath, 2(2), 164–168.

Nurul Hak. (2019). Rekayasa Sejarah Islam: Daulah Bani Umayyah di Syria (41-132 H/660-750 M).

Rustan, N. A. (2020). Konflik Bani Hasyim Dan Bani Umayyah (Konflik Politik Ali Bin Abi Thalib Dan Muawiyah Bin Abi Sufyan). In Skripsi IAIN ParePare.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال