Viralitas vs Moralitas: Apa Pendapat Para Filsuf Islam?

 


Hari-hari ini kita dihadapkan dengan salah satu persoalan moral yang sangat serius. Salah satu misalnya adalah fenomena "no viral, no justice", jangan harap keadilan kalau tidak bisa viral. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang tidak bisa memviralkan kasusnya? Apakah mereka hanya bisa pasrah terhadap takdir saja? Sebab hanya orang-orang yang viral yang dianggap benar. Dan orang tidak bisa viral pastilah dianggap salah. Sebelum era digital internet masalah moral sudah runyam. Apalagi Sekarang ditambah dengan adanya sosmed, Masalah moral hari ini semakin pelik.

Namun sebelum kita merenungkan masalah moral ini, tidak usah lah perlu jauh-jauh dahulu menghubungkannya dengan viral sosmed. Persolan moral memang masalah yang sulit. Saking sulitnya ini berkaitan langsung dengan akidah. Oleh karena itu, Mari kita pahami dulu persoalan moral ini seperti yang telah dibahas para ulama islam terdahulu. Filsuf Muslim terdahulu sudah terlibat banyak perdebatan tentang moral. bila kita memahami moralitas sesuai kacamata filsuf Islam ini, maka kita akan paham dengan berbagai persoalan moral yang sedang viral sekarang ini. InsyaAllah.

Ketika bicara moral, Dalam Islam, dulunya ada dua mazhab pemikiran yang cukup terkenal berkaitan dengan konsep kehendak bebas versus determinisme. Dua mazhab itu adalah Jabariah dan Qadariah. Jabariah cenderung ke arah determinisme yang kuat, percaya bahwa manusia tidak memiliki kebebasan kehendak dan semua tindakan mereka sudah ditentukan oleh Allah. Sebaliknya, Qadariah terlalu percaya kehendak bebas manusia, percaya bahwa individu memiliki kekuatan penuh atas tindakan mereka dan Allah tidak menentukan setiap kejadian dalam kehidupan manusia.

Dalam rangka menengahi 2 mazhab itu, masing-masing filsuf islam punya cara pandangnya sendiri. Berikut adalah "Landasan Filosofis" yang menggali lebih dalam tentang aspek filosofis dari etika dan moralitas dalam Islam:

1.       Ketika bicara moral, para filsuf islam itu sampai pada perdebatan tentang kebebasan manusia dan ikatan takdir. Apakah semua tindakan kita bergantung kepada kehendak Allah atau kita punya kemampuan bebas untuk membuat pilihan moral. Berdirilah  mazhab teologi Ash'ari, Al-Ash'ari mengembangkan doktrin yang berusaha menyatukan kehendak bebas manusia dengan predestinasi ilahi. Beliau mengajukan konsep "kasb" yang menyatakan bahwa tindakan manusia adalah hasil dari penciptaan Allah, tetapi manusia memiliki tanggung jawab atas pemerolehan tindakan tersebut.

2.       Mirip dengan  Al-Ghazali: Dalam karyanya "Tahafut al-Falasifah" (The Incoherence of the Philosophers), Al-Ghazali membantah beberapa argumen filsuf sebelumnya tentang kehendak bebas dan determinisme. Dia menekankan bahwa Allah adalah penyebab utama semua peristiwa tetapi juga mengajarkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih, yang bertanggung jawab secara moral atas tindakan mereka.

3.       Ketika bicara moral, para filsuf islam juga sampai membahas tentang Sifat Kebaikan dan Kejahatan. Siapa yang menciptakan kebaikan, apakah Allah juga menciptakan kejahatan? Datanglah Ibn Sina (Avicenna). Ibn Sina membahas sifat kebaikan dan kejahatan dalam konteks tujuan akhir manusia dan kesempurnaan. Dia menganggap kebaikan adalah potensi paling alami dalam diri kita sedangkan kejahatan hanyalah sebagai kekurangan atau ketiadaan kebaikan yang seharusnya ada. Ini sama seperti bahwa kegelapan itu tidak ada. Yang ada hanyalah ketiadaan cahaya. Begitu pula dengan dingin itu tidak ada. Yang ada hanyalah ketiadaan panas.

4.       Ini hampir sama dengan pendapat Ibnu Rusyd. Namun beliau sangat berfokus pada potensi akal manusia. Pentingnya akal dalam memahami teks agama dan bagaimana ini berhubungan dengan tindakan moral manusia. Dengan logika Aristotelian, beliau punya kritikan dengan pandangan Al-Ghazali. Meskipun begitu, Dia berargumen bahwa pengetahuan dan akal manusia adalah alat untuk memahami kehendak ilahi dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bertindak dengan kehendak bebasnya.

5.       Sama pula dengan Al-Kindi: Dalam berbagai tulisannya, Al-Kindi mengajak kita  menggunakan filsafat Yunani dan logika untuk memahami dan mendefinisikan prinsip-prinsip etika Islam. Dia percaya bahwa akal manusia adalah kunci untuk mendekati kebenaran ilahi.

6.       Tapi jangan lupa juga dengan Ibn Taymiyyah, bahwa meskipun kita punya kehendak bebas dan akal kita, kita tetap mempertanggungjawabkan segalanya kepada Allah. Wanti-wanti ini diperkuat oleh Ibn Hazm: Dalam karyanya yang berjudul "Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa al-Nihal", Ibn Hazm mengkritik kita yang  menggunakan akal secara berlebihan ketika membahas moral.

Dari pendapat-pendapat para ulama itu, pada akhirnya kita sadar, meskipun viralisme yang sedang diidap oleh masyarakat, dan ini adalah bagian dari takdir Allah atas dunia yang serba digital ini. Tapi tetap saja  akal punya posisi penting, kita tidak bisa bergantung pada keviralan. Kita tetap bisa mencegah segala kejahatan tanpa perlu menunggu algoritma keviralan. Karena viral juga hanyalah bentuk lain dari sifat ingin pamer manusia. artinya tetap kita juga yang memberikan pengaruh keviralan itu. Lalu mengapa kita tidak mempamerkan kebaikan akal kita? Mulailah dengan memviralkan moral yang baik. Ini adalah bentuk Ittiba’ perjuangan keadilan yang paling pertama yang bisa kita lakukan. InsyaAllah keviralan kebaikan kita bisa menghilangkan keviralan kejahatan dimana-mana. Sekian.

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال