Narasi dan Historis Perintah Haji (2)

Haji adalah satu-satunya ibadah dalam Islam yang bercorak historis, dalam arti ibadah ini merujuk kepada serangkaian peristiwa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya. Ibadah haji, sebagaimana halnya ibadah lainnya, mempunyai hikmah dan fungsi tertentu baik bagi individu, maupun bagi masyarakat.



Peristiwa haji, sebagaimana peristiwa sejarah pada umumnya, mempunyai nilai tertentu bagi masyarakatnya. Demikian pula halnya dengan nilai-nilai sejarah haji perlu diwarisi agar ibadah haji itu lebih bermakna dalam merubah sikap dan perilaku seorang haji sehingga mencapai haji mabrur.

Thawaf

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa setelah selesai membangun kembali Ka’bah, Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail dengan bimbingan Allah, melaksanakan haji yang diawali dengan thawaf. Thawaf adalah salah satu bentuk ibadah yang dilaksanakan di Baitullah, selain termasuk salah satu bahagian dari ibadah haji.

Dalam kedudukan seperti itu, thawaf tercatat sebagai inti ibadah haji. Telah dijelaskan bahwa haji sebelum Nabi Ibrahim dilaksanakan hanya dengan thawaf. Pada masa Nabi Muhammad, thawaf merupakan satu-satunya bahagian dari ibadah haji yang dikerjakan tiga kali, thawaf qudum, thawaf ifadhah, dan thawaf wada’.

Perulangan itu seakan-akan menunjukkan pentingnya thawaf dan menekankan pada pemantapan nilai historis thawaf itu bagi seorang haji. Nilai historis atau fungsi thawaf ketika mula pertama diperintahkan oleh Allah Swt. Menurut pendapat sebagian ulama, thawaf itu untuk pertama diperintahkan kepada para malaikat untuk bertaubat kepada Allah.

Dengan maksud yang sama, bertaubat kepada Allah, Nabi Adam juga diperintahkan oleh Allah untuk membangun sejenis Baitul Makmur di bumi yang disebut Ka’bah kemudian melaksanakan thawaf. Demikian pula Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk membangun kembali Ka’bah, dan menyeru agar umat manusia datang bertawaf untuk bertaubat kepada Allah. Sedangkan bagi Nabi Ibrahim dan Ismail, thawaf itu bemilai sukrullah, kesyukuran kepada Allah Swt. berkenaan dengan telah selesainya tugas membangun kembali Ka’bah.

Bersyukur atas nikmat Allah adalah suatu nilai moralitas yang sangat dihargai dan sebaliknya mengingkari nikmat-Nya, termasuk sikap yang sangat dicela oleh Allah. Sementara itu menurut Aisyah, istri Rasulullah SAW thawaf itu dimaksudkan untuk dzikrullah, agar tertanam rasa dekat selalu kepada Allah SWT taqarrub ilallah. Demikianlah, ada tiga nilai penting thawaf dan merupakan pula nilai utama haji yaitu senantiasa bertaubat kepada Allah, selalu merasa dekat dengan Allah, dan senantiasa bersyukur atas nikmat Allah.

Sa’i

Latar belakang sejarah sa’i adalah peristiwa pencarian air oleh Hajar, isteri Ibrahim AS untuk putranya Ismail. Menurut tradisi Islam, Hajar dan Ismail yang masih kecil, ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim, kehabisan air. Telah dijelaskan bahwa untuk menyediakan air bagi Ismail yang kehausan.

Hajar mencari air dengan mundar-mandir antara dua bukit Shafa dan Marwah yang letaknya tidak terlalu jauh dari putranya berada. Peristiwa mondar-mandir Hajar ketika mencari air antara Shafa dan Marwah dijadikan bahagian dari manasik Nabi Ibrahim dan kemudian Nabi Muhammad.

Sa’i yang dilaksanakan dengan berlar-lari dan tergopoh-gopoh merupakan lambang dari nilai ijtihad, kerja keras dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan suatu rezki dari Allah Swt. Sa’i adalah lambang dari kesungguhan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mau sukses dalam kehidupan duniawinya.

Selain itu dari, sa’i terpetik juga nilai ketekunan dan kegigihan dalam setiap usaha serta ketegaran dan kesabaran dalam menghadapi setiap tantangan. Ada satu nilai lagi yang agaknya mendasari semua nilai terdahulu yaitu cinta terhadap anak. Keseluruhan nilai itu telah diperlihatkan oleh Hajar, wanita yang harus membesarkan anaknya dalam tantangan yang begitu keras.

Pelemparan Jumrah

Nabi Ibrahim dalam rangka melaksakan haji, tiba di Mina dalam perjalanan menuju Arafah. Di sini, Nabi Ibrahim, menurut beberapa sumber yang dhaif, digoda oleh setan untuk tidak melaksanakan haji.

Untuk melawan setan itu, Jibril memerintahkan Nabi Ibrahim untuk bertakbir sambil melempar setan yang berada di jumratul aqabah dengan tujuh buah batu kerikil. Demikian pula halnya dengan setan yang berad di jumratul ula dan jumratul wustha, sehingga makhluk musuh manusia itu menghilang.

Demikianlah makna dari simbol pelemparan jumrah adalah perlawanan terhadap setan yang selalu menjerumuskan manusia untuk berbuat kejahatan dan mencegah untuk berbuat kebaikan. Manusia tidak boleh menyerah kepada setan yang selalu mengajak kepada kejahatan dan mencegah perbuatan kebaikan.

Jadi ketegaran dan kegigihan dalam menghadapi setiap tantangan dan hambatan baik yang besar, menengah atau kecil sekalipun adalah nilai yang hendaknya dihayati dari pelemparan tiga jamrah itu. Suatu nilai lain yang dapat ditangkap dari pelemparan jumrah itu adalah pengusiran setan yang bercokol dalam diri manusia itu sendiri.

Setiap batu yang dilemparkan keluar adalah simbol dari keluarnya setan dari diri yang melempar itu. Setan yang berada dalam tubuh manusia berupa hawa nafsu jelek adalah musuh yang terbesar dan terberat.

Wukuf di Arafah

Boleh jadi ketika kali pertama melaksanakan haji, Nabi Ibrahim belum bertemu dengan banyak orang yang datang melaksanakan haji. Tetapi, menurut persangkaan kolektif umat Islam, paling tidak di Indonesia, Arafah adalah tempat pertemuan Adam dan Hawa, nenek moyang umat manusia itu.

Arafah adalah sebuah simbol pertemuan anak cucu Adam dan Hawa. Yang jelas dalam wukuf di Arafah itu, telah terjadi pertemuan dan perkenalan antar anak cucu Adam dan Hawa yang datang dari penjuru dunia. Dalam proses pelaksanaan haji, hanya wukuf di Arafah merupakan momentum untuk pertemuan seluruh jamaah haji pada waktu dan tempat yang sama.

Bagian lain dari proses haji itu jamaah haji boleh tidak berada bersama-sama pada satu tempat dan waktu tertentu. Wukuf adalah simbol persamaan antar umat manusia, persamaan simbol-simbol pisik dan persamaan kegiatan peribadatan. Dengan persamaan itu diharapkan akan timbul rasa persaudaraan antara sesama manusia, anak cucu Adam AS.

Selain tempat pertemuan, Arafah adalah simbol pengenalan diri sendiri. Tatkala wukuf selain doa dan dzikir kepada Allah diperlukan pikir untuk pengenalan terhadap diri sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri melalui perenungan terhadap kesalahan dan dosa yang telah pernah dilakukan, terhadap waktu yang telah mungkin telah dilalui dengan sia-sia tanpa amal shaleh, dan perenungan terhadap harta yang telah dihabiskan untuk hal-hal yang tak bermanfaat. Pun, perenungan terhadap mereka yang telah pernah di alami dan sebagainya. Akhir dari perenungan itu adalah taubat dan istighfar.

Ketika di Arafah, seorang yang sedang wukuf melaksanakan shalat berjamaah, kemudian berdoa dan berzikir secara individual, menunjukan bahwa dalam hidup ini diperlukan tiga kesadaran yaitu kesadaran terhadap Tuhan, kesadaran terhadap diri sendiri, dan kesadaran terhadap sesama manusia. Akhir dari perjalanan haji adalah perubahan ke Arab yang lebih baik dalam beramal, bersikap, dan berprilaku sebagai pertanda hajjan mabruran.

Dan tentu saja, untuk mendapatkan haji mabrur, seorang haji harus melaksanakan haji sesuai aturan formalnya disertai penghayatan terhadap nilai-nilai historis haji sehingga berpengaruh terhadap sikap, perilaku, dan pemikirannya. Dengan begitu, ia mencapai haji mabrur. Wallahu a’lam bisshawaab.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula Digital Daily News Jatim.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال