Kritik Sosial dalam Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa

Oleh: Renci

Setelah menonton film Tuhan Izinkan Aku Berdosa, penulis mengamati bahwa film ini menunjukkan beberapa kenyataan yang tersekap. Kenyataan bahwa tidak semua ‘ahli’ agama adalah mereka yang tidak pernah salah.


Kenyataan perihal para politikus yang menggunakan simbol agama  adalah mereka yang bisa pura-pura, kenyataan bahwa manusia memiliki beragam topeng. Film garapan Hanung Bramantyo ini merupakan adaptasi dari buku berjudul Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan.

Sebelumnya, tabun 2018 saat penulis masih menjadi mahasiswa, penulis telah menuntaskan buku tersebut. Karya Muhidin Dahlan ini penulis habiskan dalam 3 hari lantaran rasa penasaran saya terhadap isisnya. Judul yang sangat kontroversial, bahkan waktu itu penulis takut meletakkan buku di atas meja belajar. Khawatir kalau orang rumah membaca judulnya, dan langsung salah paham.

Sekelumit Catatan

Menyaksikan film ini, mungkin akan ada banyak tafsiran dan tanggapan dengan beragam sudut pandang. Akan muncul perspektif bahwa film ini justru terkesan memberikan stigma negatif terhadap gerakan Islam. Pasalnya, film ini berangkat dari kekecewaan Kiran terhadap organisasi Islam yang dianutnya, gerakan yang banyak menampilkan dogma dan pemahaman-pemahaman tekstual. Pun, film ini juga menampilkan penyimpangan seorang Muslim yang awalnya taat beralih ke dunia seks bebas, narkoba dan dunia gelap.

Dilain sisi, menurutku film ini tidak bermaksud untuk memperburuk citra Islam. Melalui film ini, justru menyadarkan kita bahwa gerakan Islam yang berisi dogma-dogma memang nyata adanya. Oknum yang menggunakan simbol agama sebagai kendaraan politik juga memang fenomena yang tidak bisa ditutupi keberadaannya.

Bahwa orang-orang yang menyerukan agama, tetap memiliki potensi bahwa mereka adalah orang yang juga kerap melakukan kesalahan—bahkan dosa besar. Nidah Kirani, seorang aktivis perempuan yang mencoba membuka ruang-ruang tersebut.

Pesan dalam film ini memang tidak seharusnya digeneralisir. Tidak semua Muslim munafik, tidak semua gerakan Islam radikal, dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak semua orang yang terlihat kotor adalah yang paling hina. Melalui film ini emosional kita akan benar-benar dikuras.

Kebiadaban dosen yang merangkap menjadi germo, kemunafikan calon pemangku kepentingan yang menarasikan nilai-nilai Islam merangkap menjadi laki-laki yang mencari pemuas nafsu dari seorang ‘pelacur’, pertunjukan aktvis laki-laki yang mencalonkan diri menjadi ketua Hima tetapi justru dia adalah seorang yang ‘memakai’ Kiran lebih dulu, dan kebusukan-kebusukan yang sebenarnya itu dekat dengan kita tetapi kita tidak pernah mengungkap serta melihat kebenarannya. 

Tetapi sekali lagi, melalui pesan ayah Kiran di detik-detik terakhir film ini, bahwa tidak semua Muslim itu jahat. Ini hanya sebuah perjalanan yang kebetulan mempertemukan Kiran dengan dunia-dunia yang sebelumnya dia anggap baik, dia anggap suci. Tidak semua gerakan Islam mendogma aktivisnya, tidak semua gerakan Islam memperlakukan aktivisnya sebagai kerbau yang dicocok hidungnya tanpa boleh berpikir dan mendiskusikan ide-ide.

Film ini juga memperlihatkan adegan fulgar. Sebagaimana dalam bukunya juga terdapat beberapa diksi yang fulgar. Mengutip pada buku Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur pada halaman 194, “Hubunganku dengannya tak kurang dan tak lebih semata seksnya saja untuk pelampiasan kekosonganku.” Begitupun pada filmnya, terdapat beberapa adegan yang cukup fulgar.

Mungkin akan ada kritikan bahwa film ini tidak cocok bagi anak muda yang sedang mencari jati dirinya. Tetapi menurutku, meski tidak secara langsung disuguhkan tawaran sinar yang membimbing kekosongan jiwa dan pikiran Nidah Kirani setelah petualangannya yang hancur-hancuran.

Kalimat di akhir film yang Kiran sampaikan menyadarkan kita bahwa kita perlu mengamalkan Islam dengan bahagia, tanpa merasa ditakuti neraka ataupun tertarik dengan tawaran syurga. Sehingga, film ini tidak bermaksud untuk menjerumuskan anak muda pada hal-hal negatif, ada pesan tersirat dalam film ini bahwa sehancur apapun kita dikecewakan manusia, tempat paling teduh adalah kembali kepangkuan Tuhan.

Pesan Moral dalam Film TIAB

Meski ada pandangan yang menganggap bahwa film ini adalah film yang merendahkan citra gerakan Islam, tetapi sebenarnya film ini juga dapat dinikmati sebagai film yang sarat akan pesan-pesan moral. Setelah menonton film ini, setidaknya terdapat empat pesan yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, perempuan boleh melawan. Melawan yang dimaksud dalam hal ini bukan menyoal perlawanan fisik, melainkan menjadi perempuan boleh kritis dan mendobrak kemapanan sosial yang sebenarnya salah.

Melalui film ini menunjukkan bahwa Kiran adalah sosok perempuan yang tidak lemah, bisa bertanya dan kritis terhadap sesuatu yang menurutnya tidak benar. Hal ini terlihat saat Kiran harus berhadapan dengan sosok ulama yang justru memfitnah Kiran dan ingin menjadikan Kiran sebagai istri ketiga. 

Selain berhadapan dengan sosok ulama, Nidah Kirani juga berurusan dengan seorang politikus yang agamis. Yang karenannya, Kiran harus dihadapkan dengan penyiksaan tak berkesudahan. Mengungkap kebusukan politikus tersebut, akibatnya Kiran mendapatkan hukuman yang membuat penonton seperti naik roller coster. Jujur, di bagian ini, saya nangis sesenggukan. 

Tidak cukup dua tokoh ternama, Kiran juga berurusan dengan seorang dosen yang menjadi germonya. Dosen yang terkesan baik, ramah dan bijaksana, tetapi jauh dalam kegelapan, dosen itu justru menjadi germo atas tubuh Kiran.

Ketiga tokoh yang memiliki nama dan otoritas dilingkungannya justru tidak melemahkan pilihan dan sikap Kiran. Tujuan Kiran satu; membuka topeng-topeng orang yang selalu menjadikan agama sebagai kendaraan untuk kepentingan.

Kedua, tidak menjadi seseorang yang mudah percaya. Dalam film ini ada satu pesan yang sepertinya sangat ditonjolkan. “Jika aku dan kamu berbicara, siapa yang paling dipercaya?” Pesan ini muncul sebagai penegasan bahwa di masyarakat, strata sosial memiliki pengaruh dalam membentuk dan membangun asumsi publik.

Abu Darda yang sebenarnya memfitnah Kiran tetap memiliki banyak pengikut, teman Kiran yang awalnya menemani titik nadir Kiran, politikus yang menggunakan agama sebagai kedok kampanye, dosen dengan citra akademisnya yang justru memanfaatkan Kiran.

Mereka semua memiliki personal branding yang baik dimata sosial, sehingga apa yang disampaikan oleh Kiran akan salah meski pada kenyataannya Kiran sedang membicarakan fakta. Melalui film ini, sudah cukup menjadi pelajaran penting untuk kita agar tidak mudah mempercayai seseorang hanya dengan label sosialnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak seharusnya mudah didogma dan menelan mentah-mentah suatu kalimat. Sebab, apa yang dipercayai oleh banyak orang belum tentu itu adalah sebuah kebenaran.

Ketiga, woman suport woman. Kalimat ini mungkin tidak asing bagi para aktivis perempuan yang mencoba mendeklarasikan gerakan untuk saling suport perempuan. Meskipun dalam film ini digambarkan latar kejadiannya adalah gang sempit di Yogyakarta yang sesak dengan kegelapan, tapi ada satu pesan baik yang aku lihat dalam film ini, yaitu sosok mbak Ami.

Peran mbak Ami adalah seorang germo yang memang terang-terangan memiliki citra buruk di depan masyarakat. Tetapi mbak Ami justru menjadi garda terdepan yang melindungi Nidah Kirani. Walaupun mbak Ami tersesat di dunia gelap, mbak Ami adalah sosok perempuan yang tidak sepakat dengan pilihan Kiran; menjadi pelacur dan mencoba dunia gelap.

Ditengah titik nadir yang Kiran alami, mbak Ami menjadi ibu yang menasihati Kiran. Mungkin akan ada anggapan bahwa woman suport woman di sini justru saling mendukung keburukan, tetapi bisa kita lihat bahwa sebenarnya mbak Ami adalah peran yang tidak pernah rela akan jalan yang Kiran pilih. Sosok mbak Ami memperlihatkan kepada kita, bahwa orang yang kita lihat buruk sebenarnya adalah manusia yang juga berpotensi memiliki welas asih.

Keempat, menjadi orang yang biasa-biasa saja. Selepas menonton film ini, hal yang penulis refleksikan adalah untuk menjadi orang yang biasa saja. Tidak terlalu fanatik pada sosok agamis, tidak juga terlalu menjudge orang-orang didunia gelap.

Setiap orang memiliki perjalanan dan pergulatan spiritualnya masing-masing, tugas kita hanya menjadi hamba yang taat. Tetap berdakwah dan menyampaikan pesan kebaikan tanpa merasa paling baik. 

Refleksi; Renungan dalam Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa

Selama menonton, benar-benar dibuat campur aduk. Sekilas tertawa, tapi langsung dibuat marah. Nangis sesenggukan, tutup mata karena ketakutan, dan beragam respon yang cepat berganti hanya dalam hitungan detik.

Saya ikut merasakan pedihnya Kiran memperjuangkan hidupnya, sebagai seorang perempuan yang juga pernah mengalami titik nadir dalam hidup, saya tidak menyalahkan Kiran. Meski saya tahu betul, dalam kecamata ideal, apa yang Kiran lakukan adalah pilihan yang salah. Tapi, perjalanan spiritual setiap orang beda-beda.

Keyakinan terhadap Tuhan terkadang tidak ditemukan dalam forum kajian, tapi justru pada pencarian yang sangat panjang dan berliku. Jika disekitar kita menemui Kiran pada diri teman kita, kolega, atau siapapun, tolong tidak cepat untuk memberi label buruk. Perjalanan setiap orang beda, dan kita tidak bisa menyelami perasaan mereka.

Hal yang seharusnya kita lakukan adalah merangkul, bukan malah mengkutuk. Kita memang perlu terus memupuk iman, pada akhirnya Kiran kembali memahami bahwa apa yang ia alami adalah ujian dan cobaan untuk meningkatkan kualitas pemahaman dia terhadap Tuhan.

Rasa sakit hati, frustasi, dan perasaan-perasaan lainnya berhasil Aghniny Haque bawakan dengan baik. Hal ini membuat perasaan penonton benar-benar ikut merasakan dan menyelami apa yang sedang Kiran alami.

Sebagai penonton, aku juga berpikir bahwa mungkin diluar sana ada banyak Kiran yang tersekap oleh pelaku yang memiliki otoritas agama dan citra baik di depan publik. Bahwa kejahatan juga marak terjadi di tempat yang diaebut ruang aman, sayangnya tidak banyak korban yang berani bersuara dikarenakan pelaku adalah mereka yang menang secara strata sosial. 

Terakhir, refleksi yang perdetik ini saya tanamkan di dalam diriku adalah; kita manusia biasa yang rentan salah, sehingga tidak pantas rasanya jika terlalu menilai kesalahan orang lain. Hal yang seharusnya terus diupayakan adalah memapankan diri untuk terus bergerak menjadi hamba yang taat dan senantiasa mengejar ridho Tuhan. 

Dan satu lagi, selepas menonton film ini tetap harus kritis terhadap adegan maupun dialog-dialog yang disajikan. Ada beberapa hal yang perlu ditekankan, bahwa kita tidak lantas menormalisasi dosa. Pilihan Kiran untuk terjerumus ke dalam sebuah lubang dosa tetap salah, tetapi coba kita juga lihat dari sudut pandang lain bahwa setiap orang akan melalui proses yang berbeda, jadi tidak perlu berlebihan menjudge orang yang sedang salah.

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال