Konflik di Papua Yang Melibatkan Tuntutan Kemerdekaan Oleh Kelompok Separatis dan Respon Militer Oleh Pemerintah Indonesia

Penulis: Nur Hidayah Puspita Sari* 

Sebagai pengamat konflik Papua, penulis berupaya mendekati penyelesaian melalui pendekatan agama dan perdamaian, penulis yakin pendekatan ini tidak hanya berfokus pada aspek politik dan ekonomi, tetapi juga mengandalkan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang dapat menyatukan kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. Konflik di Papua memiliki akar yang mendalam, mencakup, masalah sejarah, politik, ekonomi, dan sosial. 


Bagi banyak orang Papua, konflik ini memiliki dimensi yang lebih dalam, termasuk aspriasi untuk otonomi yang lebih besar atau kemerdekaan penuh. Namun, untuk nmencapai penyelesaian yang berkelanjut, kita harus mempertimbangkan berbagai perspektif, termasuk pendekatan agama dan perdamaian.

Pertama, mari kita pertimbangkan pendekatan agama. Papua adalah rumah bagi beragam agama dan keyakinan spiritual. Agama-agama ini, baik itu Kristen, Katolik, Islam, atau kepercayaan tradisional, memiliki potensi sebagai sumber inspirasi untuk perdamaian. 

Dalam ajaran agama-agama ini, terdapat nilai-nilai seperti kasih sayang, toleransi, keadilan, dan perdamaian yang dapat memandu kedua belah pihak menuju rekonsiliasi dan penyelesaian yang adil. 

Dengan menggali nilai-nilai ini, kita dapat membangun jembatan antara komunitas Papua dan pemerintah pusat, serta antara berbagai kelompok di Papua sendiri. Ajaran Kristen tentang perdamaian dan rekonsiliasi, di mana Yesus Kristus mengajarkan untuk mencintai sesama, bahkan musuh. 

Dalam konteks konflik Papua, ini bisa diartikan sebagai panggilan untuk mencari perdamaian dan memaafkan kesalahan masa lalu demi masa depan yang lebih baik. Demikian pula, dalam Islam, terdapat nilai-nilai seperti kedamaian, keadilan, dan persaudaraan yang dapat menjadi dasar untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. 

Kedua, mari kita tinjau pendekatan perdamaian. Perdamaian bukan hanya tentang mengakhiri konflik secara fisik, tetapi juga tentang membangun keadilan sosial, ekonomi, dan politik yang mendasar. 

Salah satu langkah penting adalah menciptakan ruang untuk dialog yang inklusif dan bermakna antara semua pihak yang terlibat. Ini berarti melibatkan tidak hanya pemerintah pusat dan kelompok separatis, tetapi juga masyarakat Papua secara luas, termasuk perempuan, pemuda, dan kelompok minoritas. 

Dialog Papua 2020 adalah langkah awal yang baik, tetapi harus diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk memperkuat proses dialog tersebut. Ini termasuk memastikan bahwa semua pihak merasa didengar dan dihormati, serta membangun kepercayaan antara kedua belah pihak. 

Selain itu, proses ini harus didukung oleh lembaga-lembaga independen, seperti lembaga perdamaian atau mediator netral, yang dapat membantu memfasilitasi dialog dan mencapai kesepakatan yang berkelanjutan. 

Namun, penyelesaian konflik Papua bukan hanya soal politik dan ekonomi. Ini juga melibatkan upaya untuk membangun kembali kepercayaan dan hubungan antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat. 

Langkah-langkah konkret diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan hak asasi manusia di Papua, termasuk akses yang lebih baik terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. 

Dengan demikian, untuk mencapai penyelesaian yang efektif bagi kedua belah pihak, kita perlu mengadopsi pendekatan holistik yang menggabungkan aspek agama, perdamaian, dan pembangunan. 

Ini berarti tidak hanya fokus pada aspek politik, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang dapat menginspirasi kedua belah pihak untuk bekerja sama menuju masa depan yang lebih baik. 

Dengan pendekatan ini, saya percaya bahwa kita dapat menciptakan ruang bagi perdamaian yang berkelanjutan di Papua dan mencapai impian atas kedamaian yang adil dan berkelanjutan.

Sebagai pengamat yang berusaha menemukan solusi untuk konflik di Papua, saya meyakini bahwa solusi yang efektif harus meliputi beberapa aspek penting, seperti dialog yang inklusif, peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta penerapan keadilan dan kebebasan bagi semua pihak yang terlibat. 

Selain itu, penting untuk menghormati hak asasi manusia, mempromosikan perdamaian, dan membangun kepercayaan antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua.

Salah satu ayat Al-Quran yang relevan dengan kasus ini adalah Surah Al-Hujurat (49:13), yang menyatakan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya:"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Ayat ini menekankan pentingnya saling mengenal dan saling menghormati antar manusia, tanpa memandang perbedaan suku, ras, atau etnis. Dalam konteks konflik Papua, ayat ini menyoroti perlunya menghormati hak-hak asasi manusia semua orang Papua, tanpa memandang latar belakang etnis atau agama mereka. 

Ini menekankan bahwa kedamaian dan keadilan hanya dapat dicapai melalui saling pengertian dan kerjasama yang mendasar pada nilai-nilai kemanusiaan bersama.

Teori "double movement" yang diusulkan oleh Fazrul Rahman menggambarkan fenomena di mana terdapat dua arah gerakan yang bertentangan dalam masyarakat, yang akhirnya menghasilkan kompromi atau keseimbangan di antara kedua kekuatan tersebut. 

Teori ini didasarkan pada pemikiran Karl Polanyi dalam bukunya "The Great Transformation". Menurut teori ini, masyarakat modern mengalami tekanan dari dua arah berlawanan: gerakan pasar yang berusaha mengkomodifikasi semua aspek kehidupan, dan gerakan proteksi yang bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif perubahan cepat dan komersialisasi berlebihan. 

Hal ini menciptakan dinamika kompleks dalam masyarakat yang menghasilkan gerakan ganda, yang pada akhirnya dapat menciptakan stabilitas atau keseimbangan sementara.

Dalam konteks konflik Papua, konsep teori "double movement" dapat dipahami sebagai upaya berlawanan antara aspirasi otonomi atau kemerdekaan sebagian masyarakat Papua dan upaya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah negara. 

*) Program Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin & Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال