Tadabbur Hakikat Toleransi dalam Islam

Penulis: Bapa Abdullah Lewo*

Toleransi dalam Islam merupakan persoalan yang menarik dan penting untuk dikaji, karena banyak di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman yang kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar” atau dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim. 


Lebih tragis dan ironis lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian orang Islam untuk mendukung eksistensi aliran sempalan bahkan sesat baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah, dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antar umat beragama, padahal yang dikorbankan adalah akidah umat Islam.

Oleh karena itu, diperlukan kajian tentang bagaimana sesungguhnya konsep toleransi dalam Islam baik berdasarkan Alquran maupun Hadis, yang belakangan semakin absurd (dikaburkan). Umat Islam harus memahami secara  benar tentang konsep toleransi ini, sehingga tidak terjebak pada ketidaktahuan  dan menjadi sasaran empuk propaganda pemikiran yang merusak Islam. 

Dalam konteks ini, kajian singkat toleransi ini penting, atau meminjam istilah Yusuf Qardhawi, ia ditujukan untuk menjelaskan konsepsi yang sebenarnya (taudîh al-haqâiq), menghilangkan keragu-raguan (izâlah as-subuhât), serta melurus-kan persepsi yang keliru (tashîh al-afhâm).

Pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri, karena terkait erat dengan suatu realitas lain yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi, yaitu pluralisme (Arab: ta’addudiyyat).

Dengan demikian untuk mendapatkan pengertian tentang toleransi yang baik, maka pemahaman yang benar mengenai pluralisme adalah suatu keniscayaan. Kajian tentang tentang toleransi pada tulisan ini merujuk pada makna asli kata samâhah dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan). 

Akan tetapi, makna memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan tetap bersandar pada Alquran dan Hadis.

Dalam hadis Rasulullah SAW ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti Islam.  

Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi dalam Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari apa yang disampaikan dalam Alquran.

Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :     

حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)."

Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis dalam toleransi beragama merupakan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang hak dan yang batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis adalah sikap yang menganggap semua agama sama. 

Sementara sikap toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai dan menghormati keyakinan dan agama lain di luar Islam, bukan menyamakan atau mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu sendiri.

Toleransi dalam beragama bukan berarti boleh bebas menganut agama tertentu, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. 

Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan  akan adanya agama-agama lain dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing. sebagaimana Allah SWT berfirman:

لآإِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ

Artinya: "Tidak ada paksaan dalam beragama."

Ayat ini didalam Aisarut Tafasir karya Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi di tafsirkan bahwa: Tidak ada pemaksaan bagi seseorang untuk masuk ke dalam agama Islam, akan tetapi seseorang dapat memeluknya atas pilihan dan keinginannya sendiri.

Toleransi antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu pihak ke pihak lain. 

Sebagai implementasinya dalam praktek kehidupan sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalamkehidupan sehari-hari.

Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memulia-kan dan saling tolong-menolong.

Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, Alquran menegaskan dalam QS. Al-Kafirun ayat 1-6 yang artinya:

"Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukku agamaku."

Latar belakang turunnya ayat ini (asbấb an-nuzủl), ketika kaum kafir Quraisy berusaha membujuk Rasulullah SAW, "Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami (menyembah berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun pula." 

Setelah Rasulullah SAW membacakan ayat ini kepada mereka maka berputus-asalah kaum kafir Quraisy, sejak itu semakin keras sikap permusuhan mereka kepada Rasulullah SAW. 

Dua kali Allah SWT memperingatkan Rasulullah SAW: "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah Tuhan yang aku sembah." 

Artinya, umat Islam sama sekali tidak boleh melakukan peribadatan yang diadakan oleh non-muslim, dalam bentuk apapun.

Ayat ini menegaskan, bahwa semua manusia menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Sebaliknya, tidak mungkin manusia meng-anut beberapa agama dalam waktu yang sama atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. 

Oleh sebab itu, Alquran menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. 

Dalam memahami toleransi, umat Islam tidak boleh salah kaprah. Toleransi terhadap non-muslim hanya boleh dalam aspek muamalah (perdagangan, industri, kesehatan, pendidikan, sosial, dan lain-lain),tetapi tidak dalam hal akidah dan ibadah. Islam mengakui adanya perbedaan, tetapi tidak boleh dipaksakan agar sama sesuatu yang jelas-jelas berbeda.

*) Mahasiswa STAI Syubbanul Wathon Magelang

Editor: Adis Setiawan


Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال