Makna Halal Bihalal Menurut Prof Muhammad Quraish Shihab

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab menjabarkan mengenai makna Halal bihalal. Menurutnya, Halal bihalal adalah kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal, diimpit oleh satu huruf (kata penghubung) “ba’. Kalau kata majemuk tersebut diartikan seperti yang ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni acara maaf memafkan pada hari lebaran, maka dalam halal bihalal terdapat unsur silaturahim.

Silaturahim

Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab “shilat” dan “rahim”. Kata “shilat” berakar dari kata “washl” yang berarti “menyambung” dan “menghimpun”. Ini berarti hanya yang terputus dan terserak yang dituju oleh “shilat” itu. Sedangkan kata “rahim” pada mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang, sehingga berarti pula “peranakan (kandungan)”, karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Salah satu bukti yang paling kongkrit tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Karena itu kata “shilat” diartikan pula dengan “pemberian” atau “hadiah”.

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam, mendefinisikan orang yang bersilaturahim dengan sabda beliau : “laysa al-muwashil bil mukafi’ wa lakin al-muwashil’an tashil man qatha’ak” yang artinya “Bukanlah bersilaturahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian tetapi yang bersilaturahim adalah yang menyambung apa yang putus” (Hadis Riwayat Imam Bukahri).

Halal Bihalal

Kita tidak menemukan dalam Al-Qur’an atau Hadis suatu penjelasan tentang arti Halal bihalal. Istilah itu khas dari Indonesia. Istilah Halal bihalal dapat memberikan tiga arti yang berbeda atau paling tidak, salah satunya dapat mempunyai arti yang lebih dalam daripada arti yang dikandung oleh dua pengertian lainnya. Perbedaan tersebut timbul akibat perbedaan posisi berpijak atau, boleh jadi, juga akibat perbedaan disiplin ilmu tempat seseorang memandang.

Kalau berbicara dari segi hukum, kita dapat berkata bahwa kata “halal” adalah lawan kata “haram”. Haram adalah sesuatu terlarang . Dalam konteks Halal bihalal dari tinjauan hukum, menjadikan sikap kita yang tadinya haram atau tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Tetapi jika ditinjau dari segi hukum, pendapat ini mempunyai kelemahan karena apakah yang dimaksud Halal bihalal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal walaupun didalamnya terdapat pula yang Makruh ? dari segi kebahasan Makruh artinya sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan demikian jika Halal bihalal diartikan dari segi tinjauan hukum maka tidak mendukung terciptanya hubungan yang harmonis.

Dari segi linguistik (kebahasaan), makna Halal bihalal adalah menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut atau mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Kalau kita pahami Halal bihalal dari segi kebahasaan maka seakan-akan kita menginginkan sesuatu yang mengubah hubungan kita dari tadinya keruh menjadi jernih dan dari yang terikat menjadi bebas, walapaun hal itu belum tentu haram.

Sepanjang penelitian penulis (Prof Dr. Muhammad Quaraish Shihab), dalam Al-Qur’an terdapat kata “halal”, halal yang terdapat dalam enam ayat dan berada dalam lima surah. Dua diantaranya dirangkaian dengan kata “haram” dan “kecaman” seperti Q.S An-Nahl ayat 116 dan Q.S Yunus ayat 59. Sedangkan keempat sisanya selalu dikaitkan dengan “kulu (makan)” dan “thayibbah (yang baik)”. Allah berfirman : “ Fa kulu mimma ghanimtum halalan thaiyyiba” (Q.S 8:69”.

Prof.Dr. ‘Abdul Halim Mahmud memahami kata “makan” pada firman Allah yang berbunyi : “Wa la ta’kulu mimma lam yudzkar ismu Alllah ‘alayh” (Janganlah makan sesuatu yang tidak disebut nama Allah didalamnya), merupakan sebagai larangan makan dan melakukan aktivitas apa saja yang tidak didasari oleh keridhaan Allah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Ini menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut dari seseorang untuk memafkan orang lain tetapi lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang melakukan kesalahan terhadapnya.

Dan dari sini dapat dipahami mengapa Al-Qur’an dari 18 kali, Allah menyebutkan cinta-Nya terhadap orang yang memiliki sifat-sifat terpuji dengan menggunakan kata “Yuhibb” di lima tempat diantaranya ditujukan kepada Al-muhsinin (orang-orang yang memperlakukan orang lain lebih baik daripada perlakukan orang itu diatasnya atau berbuat baik kepada orang yang bersalah dan berbuat baik atas orang yang berbuat baik.

Dari sini kesan Halal bihalal bukan saja menuntut agar seseorang memafkan orang lain tetapi juga agar berbuat baik terhadap siapapun. Itulah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia yang dituntut Al-Qur’an dan itu juga yang harus menjadi landasan filosofis bagi setiap orang yang melakukan halal bihalal. Hakikat yang dituju Halal bihalal bukan saja saat Idul Fitri tetapi setiap saat menyangkut aktivitas manusia.

Maaf-memafkan

Baik silaturahim dan Halal bihalal dituntut untuk saling memafkan. Kalau merujuk pada Al-Qur’an 3:134 akan ditemukan bahwa seorang Muslim yang bertakwa dituntut atau dianjurkan untuk mengambil satu dari tiga sikap : menahan amarah, memafkan dan berbuat baik terhadapnya. Kata “Maaf” berasal dari Al-Qur’an yaitu “Al-Afwu” yang berarti menghapus, karenanya memafkan artinya menghapus bekas-bekas luka dihatinya.

Berdasarkan teks-teks keagamaan, para pakar menuntut dari seseorang yang memohon maaf dari orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak melakukannya lagi. Adakah peringkat lebih tinggi daripada al-afwu ? ada,yaitu al-shafhu artinya kelapangan. Orang yang mencapai al-shafhu yaitu orang yang melapangkan dadanya sehingga mampu menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.Ar-Ragib al-Asfahani menyatakan bahwa Al-safhu lebih tinggi nilainya daripada memafkan karenanya buka lembaran baru dan tutup lembaran lama. Wujudkan sikap Ihsan karena itulah yang paling disukai Allah.

Rabiul Rahman Purba, S.H

Rabiul Rahman Purba, S.H (Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia, Pematangsiantar, Sumatera Utara dan penulis Artikel dan Kajian Pemikiran Islam, Filsafat, Ilmu Hukum, Sejarah, Sejarah Islam dan Pendidikan Islam, Politik )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال