Bagaimana Ummat Merusak Ulamanya?

 


        Benar. Jangan kita kira bahwa hanya ulama yang berpengaruh besar merusak umat. Kita tidak menyangka, perlahan tapi pasti, umat juga punya potensi besar merusak ulamanya. Kerusakan ini sebenarnya sering terjadi di bulan Ramadhan. Postingan ini adalah bagian dari refleksi penulis menjelang akhir Ramadhan tahun 1445 H ini. Dan tulisan ini bolehlah diperkenankan menjadi refleksi kita bersama menyambut Ramadhan tahun depan. Naudzubillah... ketika Umat membuat ulama lebih fokus pada yang material dari pada yang ideal. bagaimana bisa?

        Yang lagi kita evaluasi ini adalah pergeseran dinamika antara guru dan murid.  Dimana awalnya kan niat utama  ulama adalah  untuk menyampaikan yang  ideal; mengajarkan ilmu. Sementara umat memberikan uang kepada ulama sebagai tanda terimakasih. Di sini, memberi material hanyalah tradisi dan bukan yang utama. Sayangnya niat murni ini lama-lama tereduksi atau terdistorsi seiring waktu. Dimana umat memberi uang kepada ulama justru menjadi tradisi, sementara ulama menyampaikan ilmu hanyalah sekedar ritual belaka. Sekali lagi naudzubillah...

        Ada beberapa kondisi yang menandai terjadinya distorsi ini, beberapa tandanya adalah sebagai berikut:

  1. Ritualisasi: dimana-mana ulama menyampaikan konten ceramah yang sama dan sering berulang-ulang. Sementara kondisi umatnya yang merasa bosan, hadirnya pun sekedar formalitas biar dilihat orang. Terlihat dari semangat ibadah menurun di penghujung Ramadhan. Demikianlah, sedikit sekali  variasi atau inovasi keilmuan dalam majelis-majelis masjid.
  2. Kurangnya Keterlibatan Kritis: dimana umat hanya sekedar datang duduk dan diam. Pulang tarawih mau cepatnya saja dan ingin segera membuat kue di rumah. Tidak ada keterbukaan pikiran sepulang dari masjid. Jangankan ingin punya waktu diskusi dengan ulama, punya pertanyaan baru di kepala saja sudah tidak mungkin. Innalillahi.... inilah bentuk kematian Ideal umat karena terlalu banyak mikirin material

         Tidakkah kita sadari bahwa cri-ciri di atas sudah terjadi dimana-mana? Oleh karena itu, dari pada kita mulai menyalahkan ulama atas apa yang telah terjadi, mengapa kita tidak mulai menyalahkan diri kita sendiri sebagai umat? Berikut 2  kesalahan pokok  kita sebagai umat: 

  1. Kurangnya persiapan diri: sering kali ketika ke masjid, kita masih punya niatan yang buruk. Semacam biar dilihat orang. Akhirnya kita tidak lillah. Ke majelis ilmu tidakmenjaga wudhu, ngantuk menguap-nguap dalam majelis tanpa rasa malu. Bukankah proses ta'lim wa ta'lum adalah ritual yang sakral? Lalu mengapa kita sering menganggap remeh. Demikianlah kita sering mengabaikan hal-hal sepele.  
  2. Akhirnya kita banyak permintaan: mentang-mentang kita merasa membayar ulama, lalu kita seenaknya request materi ceramah. Atau yang lebih parah kita mulai pilah pilih ulama berdasarkan kriteria yang tidak ada hubungannya dengan  ilmu ceramah semisal, maunya ustadz yang lucu, biar ga ngebosenin kita mau ustadz yang bisa stand up seperti komika. Bukankah yang seperti ini sudah ngawur? Jangan lah terlalu melihat siapa yang menyampaikan, tetapi lebih fokus lah dengan apa yang disampaikan. Lagi pula bila kita memang orang yang berniat cari ilmu, kita harusnya belajar dari siapapun termasuk burung gagak yang berkoak-koak bertasbih. 

             Gegara kebanyakan umat manja seperti ini, Akhirnya ulama kita menjadi fokus pada material. Mereka menjadi mnuruti maunya jamaah. Jamaah pun lebih memilih ustadz yang populer, artis dan pande cerita dibandingkan ulama yang memang serius, pemikir dan akademis. Antar ulama pun menjadi rebutan jamaah, masjid mana yang amplopnya tebal. Hal-hal ini sudah menjadi rahasia umum. Mengapa masjid lebih fokus pada yang material seperti ini dibandingkan yang ideal?

        Untuk mengatasi masalah ini, panitia masjid perlu kerja sama dengan lembaga pendidikan. Aungkin perlu untuk mengevaluasi kembali pendekatan mereka dalam manajemen ta'lim. Mulai menggalakkan budaya yang menghargai keterlibatan yang sungguh-sungguh, umpan balik yang bermakna, dan dialog yang berkelanjutan antara ulama dan umat. 
            
Salam denga ulama adalah salam yang penuh hormat. Bukan salam tempel tanpa ikatan emosional akademis. Harus ada ntegritas dan komitmen untuk membina budaya belajar yang melebihi sekadar tradisi ritual dan formalitas belaka. Pengurus masjid harus lebih mendengarkan ulama dari pada jamaah. Bukan sebaliknya. Sebab ulama lah  yang paling tau permasalahan umat: lagi-lagi ulama yang paling tau ilmu apa yang paling  dibutuhkan umat. 

Tulisan ini juga terinspirasi dari curhatan keresahan seorang sahabat... 

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال