Al-Qur’an sebagai Mitos

 




Mitos menurut perspektif Timur mitos adalah cerita yang kerap kali disakralkan. Nilai kesakralannya bahkan terwujud dalam praktisi-praktik ritual. Semua ritual tersebut berasal dari narasi yang diceritakan secara turun-temurun. Cerita-cerita inilah yang menjadi kepercayaan di masyarakat. Ketika  banyak masyarakat yang meyakini dan menerapkannya, mitos tidak sekedar menjadi tradisi/ kebudayaan. Mitos juga menjadi aliran kepercayaan bahkan agama baru. Bahkan, jika kita menyebut keyakinan tradisi itu dengan mitos, maka sebutan mitos itu adalah sebuah penghinaan. Demikianlah mitos dianggap sebagai sesuatu yang sakral dalam idealita orang timur.

Sebelum masuk pembicaraan sisi Al-Qur’an, kali ini kita akan membicarakan tentang mitos dalam perspektifnya orang Barat. salah satunya adalah mitos menurut Roland Barthes, seorang filosof semiotika. Menurut Semiotika Barthes, mitos tidak lebih dari sekedar cerita yang dibuat oleh institusi tertentu.  Entah untuk tujuan baik atau tidak, peran mitos memiliki kekuatan yang sangat ampuh untuk mengendalikan masyarakat. Tentu saja, mitos sering dimanfaatkan untuk tujuan politik dan periklanan.

Dalam sebuah esai berjudul “Mythologies”, Barthes menjelaskan secara gamblang bagaimana proses terciptanya mitos melalui pendekatan semiotik. "Mythologizing" atau "myth-making" atau mitosisasi/ memitoskan adalah usaha pembuatan tanda-tanda yang awalnya biasa-biasa saja. Lalu tiba-tiba tanda-tanda itu berlagak menjadi simbol yang penuh makna ideologis. Bagaimana misalnya, warna merah putih yang  biasa saja itu bisa menjadi simbol negara. Simbol yang sangat dihormati. Bahkan dalam tradisi ketentaraan kita, ritual membawa bendera merah putih dengan asal-asalan akan berakibat fatal dan penjara.

Disinilah kecerdikan  Barthes mampu mengawasi bahwa simbol yang tadinya hanyalah tanda lumrah itu, kini menjadi sebuah tanda yang tidak lagi netral. Ada kekuatan institusi dibalik simbol-simbol itu. institusi yang lihai mengatur dan menentukan maknanya. Dalam mitos kita bisa melihat adanya tanda-tanda dinamika kekuasaan dan hierarki sosial; sebuah cerminan adanya struktur dominasi di masyarakat.

Sehingga mitosisasi dalam pengertian ini adalah usaha memaknai suatu tanda lalu berusaha menerapkannya ke dalam simbol-simbol. Simbol bisa berbentuk benda-benda, bangunan bahkan gambar atau praktek ritual tertentu. Intinya adalah bagaimana sesuatu makna yang tadinya berbentuk ideal berubah wujud menjadi sesuatu yang material. Munculnya penyimbolan ini bukanlah tanpa alasan. Sebab  dalam kehidupan masyarakat awam, mereka tidak mampu menerima ide tersebut begitu saja. jangankan memahami, disuruh membayangkan ide yang abstrak itu saja sangat sulit. Nah, karena itulah diperlukan usaha mitosisasi, yakni membuat hasil pemaknaan menjadi simbol-simbol yang lebih konkret itu.  

Jika kita setuju dengan  pengertian mitosnya Barthes, tentu kita juga akan setuju pula bahwa Al-Qur’an juga dapat dianggap sebagai mitos. Terlepas dari pembahasan apakah Al-Qur’an itu dibuat oleh institusi sesiapapun, kemunculan Al-Qur’an adalah sebuah mitos yang bisa mengontrol hidup masyarakat. Kontrolnya telah terasa hingga 1400an tahun yang lalu sejak kemunculannya. Namun apakah Al-Qur’an sebagai mitos adalah sama dengan mitos-mitos lainnya? sama dengan mitos yang tujuaanya hanya untuk hegemoni duniawi? Tentu saja tidak. Namun sayang, pengertian mitos ini dimakan mentah-mentah oleh orang-orang yang berpikir pendek. Seolah pembuatan mitos hanya bertujuan politik dan ekonomi. Padahal pembuatan mitos juga dipraktekkan dalam rangka ketaatan spiritual seperti yang ditunjukkan para ulama kita terdahulu.

Dalam gerak sejarah, pengikut nabi Muhamad yang sejati akan selalu menggali makna orisinal Al-Qur’an. Jika kita ikuti kisah Kehidupan para ulama, kita bayangkan mereka sangat asyik dengan Al-Qur’an. Saking asyiknya, Al-Qur’an selalu menjadi ‘mainan’ sampai hari akhir hayatnya. Bukti bahwa Al-Qur’an tidak hanya sekedar cerita dari Muhammad. Namun Al-Qur’an adalah jalan hidup.  Itulah juga alasan mengapa setiap cerita dalam Al-Qur’an tidak sekedar dinikmati sendiri, namun juga mereka berusaha mengajarkan kenikmatan mainannya itu kepada murid-murid mereka di majelis-majelis ilmu. Kita tidak bisa begitu saja menuduh para ulama seperti apa yang dipahami orientalis melalui filsuf-filsuf mereka.

Sekali lagi, dengan modal keyakinan, akal dan penuh rasa takut, mereka tentu akan selalu berhati-hati dalam memitoskan Al-Qur’an. Bagaimana pemaknaan-pemaknaan mereka terhadap Al-Qur’an menjadi serangkaian syariat fiqih yang tidak sekedar ketat, namun bermanfaat dan mengena bagi kehidupan umat. Tidak hanya mengena dalam aspek spiritual dan juga sosial, tetapi juga ketaatan kepada Al-Qur’an. Mari kita lihat salah satu contoh mitos yang paling populer dari Al-Qur’an, yaitu ritual kurban di hari raya.

Para ulama masa lalu, secara hati-hati memaknai Kisah pengorbanan Ismail yang dilakukan oleh nabi Ibrahim a.s. Pemaknaan kisah tersebut sangat berarti dan mendalam bagi mereka. Sehingga atas dasar keyakinan dan penuh rasa takut, mereka ingin agar kisah ini juga mampu dimaknai oleh umat. Sehingga mereka wujudkan kisah dalam Al-Qur’an tersebut dalam simbol-simbol berbentuk hukum fiqih. Mulai dari waktu tata cara pelaksanaan ritualnya semua dirinci secara lengkap oleh para ulama fuqaha itu. syariat ritual inilah mitos, mitos yang mereka ciptakan tidaklah untuk unsur duniawi, tetapi mitos yang didasarkan kepada kepatuhan terhadap Al-Qur’an.

Hari-hari ini kita menyaksikan ada upaya-upaya untuk menghilangkan ritual tradisi ibadah kurban. Dengan berbagai alasan semacam logika efektif efisien, mereka membuat inovasi baru. Mereka masyarakat kaya, yang sok paling berperadaban akan meninggalkan ritual kurban. Mereka hanya tinggal  menulis cek saja, atau kirim uang lewat bitcoin, selanjutnya uang untuk membeli seekor hewan untuk disumbangkan kepada orang miskin. Tidak ada keterlibatan langsung dari pihak muslim yang berkurban dalam ritual ini. naudzubillahimindzalik. Jika inovasi jahat dalam agama ini terus berlanjut, sepertinya hanya soal waktu saja sebelum ritual kurban di negara-negara maju semacam di Amerika Utara akan ditinggalkan.

Padahal bukankah Al-Qur’an telah menginfokan kepada kita, bahwa Allah yang maha agung saja, secara gamblang menebus pengorbanan Ismail dengan zibhin ‘azeem (pengorbanan penting). Lalu saking pentingnya bentuk ritual ini, dimunculkanlah seekor domba jantan. Hewan itulah yang dikorbankan sebagai pengganti Ismail a.s. Di ayat berikutnya, Al-Qur’an juga menyatakan bahwa  ritual ini adalah tanda bagi umat manusia. Seolah ritual ini kita akan maknai bahwa ritual ini harus dilestarikan selama berabad-abad. Ritual ini akan menjadi simbol penting bagi umat manusia di masa seterusnya.

Pelestarian ini sebenarnya bukan sekedar untuk menunjukkan bahwa umat islam adalah umat paling peduli terhadap dunia sosial, namun juga ritual ini berfungsi sebagai simbol menyejarah. Simbol bahwa kisah ini adalah benar tentang pengorbanan Ismail dan bukan ishaq. Kisah yang sering diperdebatkan oleh kaum zionis yang selalu ingin menguasai dunia dengan legitimasi agama. Kaum egois yang tega membunuh secara kejam bangsa Palestina dan membodohi Arab sekitarnya. Kaum yang membunuh Isa dan  tidak mengakui Muhammad. Nabi Isa yang Allah tawarkan sebagai mediasi dan nabi Muhammad dengan Al-Qur’an yang juga mereka tolak. Tentu saja zionis ingin menyelisihi salah satu kisah penting ini. Sehingga, menghilangkan ritual ini berarti seolah sama saja dengan mengabaikan perintah Al-Qur’an. Menurut penulis, bahwa Al-Qur’an ingin ritual ini juga menjadi simbol legitimasi sejarah. Wallahualam.

Akhirnya, Mitos Al-Qur’an tidaklah sama seperti mitos lainnya. Dalam kitab-kitab turats itu, setiap proses mitosisasi Al-Qur’an dipikirkan dengan penuh rasa takut dan tanggung jawab oleh para ulama kita. Kita tidak bisa begitu saja secara sembarang menganggap bahwa usaha para ulama terdahulu adalah sekedar menggapai hegemoni duniawi. Kalau pun ingin curiga, tetap sah-sah saja memang. Namun hendaknya setiap kecurigaan tersebut disertai oleh epistemologi berpikir yang matang, jangan hanya sekedar mencari pencitraan saja. sekian.

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)


Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال