Menyikapi Hal Yang Membatalkan Puasa Kita Ikut Ulama Mana?

Jika ditanya bagaimana menyikapi perbedaan ulama berkaitan dengan hal-hal yang membatalkan puasa? Pendapat manakah yang dapat dijadikan pijakan? Dalam hal ini, Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa sebagian fuqaha memang terkadang terlalu berlebihan dalam mengembangkan hal-hal yang membatalkan puasa, sampai pada hal-hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan dan dipahami oleh sahabat-sahabat Nabi SAW.


Sebagian besar, hal-hal yang dapat membatalkan puasa yang telah diijtihadi oleh para ulama sesungguhnya tidak secara sharih ditegaskan dalam Alqur’an maupun Al Sunnah, melainkan merupakan hasil ijtihad yang boleh diterima dan juga ditolak. Jadi, hal-hal yang membatalkan puasa yang benar-benar disepakati ulama adalah makan, minum, senggama dan sesuatu yang semakna dengan makan, minum, dan senggama. Selain ketiga hal tersebut tentu saja masih diperselisihkan.

Itu sebabnya, pendapat yang menyatakan bahwa muntah, kentut dan berak dalam air, membersihkan telinga, bersiwak, mandi keramas, keluar darah dari gusi, berkumur-kumur, istinsyaq, dan lain-lain yang dapat membatalkan puasa adalah pendapat yang kurang sejalan dengan tujuan pensyariatan puasa yaitu mengekang hawa nafsu dan melawan rasa lapar, haus serta menghindar dari lawan jenis dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Dalam kitab Fiqih Ash-Shiyam dijelaskan:

لقد توسع الفقهاء رضي الله عنهم في أمر المفطرات توسعا ما أظنه خطر ببال احد من أصحابه الذين شاهدوا التنزيل وفهموا عن رسول الله فأحسنوا الفهم والتزموا فأحسنوا الإلتزام. والواقع : أن جل ما يقال في هذا المجال مما لم يدل عليه محكم قرآن ولا صحيح سنة ولا إجماع أمة إنما هي إجتهادات يؤخد منها ويترك وأراء بشر يجب أن تحاكم وترد إلى النصوص الأصلية والقواعد المرعية و المقاصد الكلية، والذي أميل إليه هنا: ألا يفطر الصائم إلا ما أجمع الفقهاء على التفطير به وذلك ما دل عليه محكم القرآن و صحيح السنة واتفق مع حكمة الشارع من الصيام وهو الحرمان من الشهوات وفطام النفس عن المألوفات. ( فقه الصيام ص ٧٩-٨١).

Artinya: “Yusuf Qardhawi berkata: “Sesungguhnya para Fuqaha telah memperluas dalam persoalan hal-hal yang membatalkan puasa hingga saya menduga bahwa itu semua tak pernah dipahami dan terbayangkan oleh para sahabat Nabi SAW, padahal para sahabatlah yang secara langsung menyaksikan turunnya Alqur’an dan memahaminya langsung dari Rasulullah SAW. Lalu mereka memperbaiki pemahamannya dan menetapkannya. Kemudian, mereka memperbagus lagi ketetapan itu. Sedangkan yang terjadi, sesungguhnya argumen dalam hal ini (hal-hal yang membatalkan puasa, seperti muntah, kentut, berak dalam air dan seterusnya) adalah tidak ditunjukkan langsung oleh nash Alqur’an ataupun sunnah yang shahih serta tidak pula didasarkan pada ijma’ umat Islam. Akan tetapi, hal itu merupakan produk ijtihad yang boleh dijadikan pegangan atau boleh ditinggalkan. Yang demikian adalah interpretasi manusia yang wajib anda kaji (hukumnya) dan wajib anda kembalikan ke nash-nash yang asli, kaidah-kaidah pemeliharaan, dan tujuan-tujuan umum syari’ah. Dalam persoalan ini, saya lebih condong tidak menganggap batal orang yang berpuasa. Kecuali pada hal-hal yang telah disepakati fuqaha dan hal ini adalah hal-hal yang telah didasarkan pada nash Alqur’an dan sunnah yang shahih. Saya sepakat pada eksistensi hikmah dari Syari’ dalam ibadah puasa, yaitu mengekang syahwat dan memisahkan jiwa dari hal yang tercela.” 

Wallahu a’lam bisshawaab.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.


Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال