Ma'mun Murod Al-Barbasy: Cendekiawan Muhammadiyah, Pejuang Politik Keadaban

(Sumber Gambar: dok, Suara Muhamamdiyah. Ma'mud Murod Al-Barbasy)

KULIAHALISLAM.COM - Ma’mun Murod Al-Barbasy, lahir di Brebes 13 Juni 1973. Menyelesaikan Pendidikan dasarnya di SD II Jagalempeni Brebes (selesai 1985) dan SMP II Jatibarang Brebes (1988), dan sore harinya berhasil menyelesaikan pendidikan agama di Madrasah Diniyah Awwaliyah dan Wustho. Pernah nyantri di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, sembari menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tambakberas Jombang (1991) dan Madrasah Al-Qur’an (MQ) Bahrul Ulum. Sementara pendidikan sarjananya (S1) diselesaikan pada Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (1995), dan Magister (S-2) diselesaikan pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (1999). Menyelesaikan Program Doktoral Ilmu Politik di Universitas Indonesia (2016). Selain sebagai Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ, juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan menjadi Dosen Tidak Tetap pada Program Studi Ilmu Politik FISIP UNAS, (Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta 2021-2025), Ketua Umum Koordinasi Nasional Forum Keluarga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (2023-2028).  Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta dikukuhkan sebagai Guru Besar di Bidang Ilmu Politik, Kamis (09/11/2023). Ma’mun menyampaikan orasi ilmiah bertajuk Dialektika Islam dan Pancasila: Dari Ideologi Menuju Aktualisasi. Ma’mun Murod ditetapkan sebagai Guru Besar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor: 37257/M/07/23. Ma’mun merupakan guru besar ke-20 yang dimiliki Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Sebagai kolumnis, tulisannya di antaranya pernah dimuat di Republika, Media Indonesia, Seputar Indonesia (Sindo), Jawa Pos, Indo Pos, Suara Pembaruan, Pelita, Suara Muhammadiyah, Duta Masyarakat, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Fajar Makassar, Radar Tegal, dan Radar Banten. Sementara karyanya dalam bentuk buku di antaranya: Islam dan Politik: Penyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara (Rajawali Press, 1999), yang merupakan Tesis; Abdurrahman Wahid: Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Editor bersama Kacung Marijan, Grasindo, 1999); Muhammadiyah dan NU: Mendayung Ukhuwah di Tengah Perbedaan (UMM Press, 2004); kontributor tulisan untuk buku Muhammadiyah Progressif: Manifesto Pemikiran Kaum Muda (JIMM–LESFI, 2008); Sejarah Kelahiran Partai Matahari Bangsa (Al-Wasat, 2008); bersama Hery Sucipto dan Mohammad Shoelhi menulis buku, Pergolakan Politik Timur Tengah: Kisah Kemenangan Rakyat Atas Tiran (Grafindo, 2011); Ambiguitas Politik Kaum Santri (Grafindo, 2012), yang merupakan Skripsi; Anas Urbaningrum dalam Sorotan Status Facebook: Tumbal Politik Cikeas (Surya Wacana, 2013); dalam waktu dekat akan terbit buku Desakralisasi Agama dan Demoralisasi Politik: Percikan Pemikiran dalam Status Facebook.

Karya Buku dan Publikasi

Murod, M. M. (2020). HIDUP ITU BERJUANG Kasman Singodimedjo 116 Tahun. Murod, M. M. (2020). Mengenang Sang Guru Politik Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Universitas Muhammadiyah Jakarta Press. Murod, M. M., Sulastri, E., & Gunanto, D. (2018). BUDAYA DAN NEGARA Refleksi Atas Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Suara Muhammadiyah.  Murod, M. M., Cahyono, M. R., & Sulastri, E. (2014). Murod, M. M. (2017). Muhammadiyah dan Politik: Dilema Antara Keep Close dan Keep Distance. Kontekstualita, 34(2), 99-125. Murod, M. M. (2020). Saatnya Ormas Kontrol Politik. Matan, 169. Murod, M. M. (2021). Politik Islam Era Jokowi Himpitan Islamopobia dan Oligarki Politik. Murod, M. M. (2017). Muhammadiyah dan Politik: Dilema Antara Keep Close dan Keep Distance. Kontekstualita, 34(2), 99-125. Murod, M. M. (2017). Politik Perda Syariah Dialektika Islam dan Pancasila di Indonesia. Al-Barbasy, M. M. M. (2016). Islam dan Negara: Perdebatan dalam Pembuatan Syariat Islam di Tasikmalaya. Murod, M. M. (2020). Mengenang Sang Guru Politik Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA. Universitas Muhammadiyah Jakarta Press. Murod, M. M., & Andriyani, L. (2015). POLA MARKETING POLITIK LEMBAGA SURVEI DAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA. MA'MUN, M. U. R. O. D. (1999). Negara dan Islam di Indonesia Suatu perbandingan Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid dan Amien Rais Tentang Hubungan Agama dan Negara (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Dalam hal organisasi, tercatat pernah menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UMM (1993-1994). Aktif juga di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari mulai Ketua Komisariat FISIP UMM (1992-1993), Ketua Bidang Kader PC IMM Malang (1993-1995), Ketua Bidang Hikmah DPD IMM Jatim (1995-1997) hingga Dewan Pimpinan Pusat (DPP, 2000-2002). Selepas itu aktif menjadi pengurus di Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PP PM). Diawali dengan menjadi anggota (2002-2004). Karena terjadi “penyegaran”, sejak 2004-2006 menjabat sebagai Sekretaris PP PM dan menjadi Ketua PPPM (2006-2010), dengan bekal sebagai formatur suara terbanyak hasil Muktamar Samarinda 2006.

Sementara di lingkup Muhammadiyah tercatat sebagai Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah (2005-2010), Sekretaris LHKP PW Muhammadiyah DKI Jakarta (2005-2010), dan Wakil Sekretaris LHKP PP. Muhammadiyah (2010-2015). Saat ini tercacat sebagai Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Cabang Jakarta. Pengalaman di lingkup politik praktis, di antaranya pernah menjadi pendiri, pengurus, ideolog, dan calon anggota legislatif Pimpinan Pusat Partai Matahari Bangsa (PMB) pada Pemilu 2009. Menjadi Sekretaris Departemen Penegakan Hukum sebelum akhirnya direposisi ke Sekretaris Departemen Agama DPP Partai Demokrat (2010-2015). Aktivitasnya di Partai Demokrat berakhir setelah dipecat pada tanggal 18 Maret 2013 tanpa penjelasan apapun. Hasil pernikahannya dengan Hikmah Maemy Pramesti telah dikaruniai tiga jagoan, yaitu Mumtaz ‘Azam El-Hamasy (13 tahun), Hakam Ahimsa Rantissi (8 tahun), dan Bassam Ahmed Asad (2,5 tahun).

Kemajemukan dan Toleransi Beragama

Heterogenitas sebuah bangsa atau negara seperti Indonesia, bisa menjadi modal sosial yang positif bagi terwujudnya kerukunan antarumat beragama. Namun sebaliknya, bisa juga heterogenitas justru menjadi sesuatu yang buruk dan menyeramkan bagi sebuah negara. Selain ditentukan oleh komponen masyarakat yang hidup di dalamnya, dalam banyak kasus negara juga mempunyai peran dalam memposisikan heterogenitas menjadi modal yang positif atau sebaliknya negatif bagi terciptanya kerukunan antarumat beragama.

Dalam Islam, kemajemukan adalah sebuah keniscayaan dan juga sunatullah. Bahkan kemajemukan menjadi pesan fundamental dalam Al-Qur’an. Tengok saja misalnya dalam QS. Al-Hujurat: 13 misalnya disebutkan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Pesan ayat ini tak lain bahwa penghargaan terhadap kemajemukan atau heterogenitas menjadi ukuran ketaqwaan seseorang kepada Allah. Mafhum mukhalafah ayat ini adalah, siapa pun orangnya yang tak menghargai kemajemukan, maka tak pantas menyebut atau menyandang predikat sebagai orang yang bertaqwa. Dengan mendasarkan pada ayat di atas, maka melawan kemajemukan adalah melawan sunatullah. Membanding kemajemukan, terlebih kemajemukan dalam kehidupan beragama yang terjadi di beberapa belahan negara lain, maka pluralitas keberagamaan yang terjadi di Indonesia lebih bersifat alamiah (natural). Ditilik dari sisi agama, mula pertama keberagamaan masyarakat yang kemudian disebut Indonesia sudah sangat majemuk. Semua agama hadir dan mendapat perlindungan dari negara. Sementara toleransi (tasamuh) secara sederhana dimengerti sebagai membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan. Dalam konteks beragama, tasamuh dimengerti menghargai dengan sabar untuk dapat saling mengizinkan dan memudahkan dalam menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.

Terdapat setidaknya empat prinsip fundamental dalam membangun toleransi antar-umat beragama. Pertama, tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama, baik secara halus maupun kasar. Kedua, manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut keyakinannya. Ketiga, tak berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan atau agama tertentu. Dan keempat, Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari permusuhan (Ali, 1986). Keempat prinsip ini merupakan tawaran dalam rangka memahami, menghormati, dan menghargai keyakinan agama seseorang untuk mencapai keharmonisan kerukunan antar-umat beragama. Berangkat dari pengertian di atas, maka ada kaitan erat antara kemajemukan (heterogenitas) dengan toleransi kehidupan beragama.

Hubungan antarumat beragama yang didasarkan pada toleransi akan melahirkan rasa persaudaraan yang penuh ketulusan dan kerjasama, yang pada gilirannya akan melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan pembangunan, serta menghilangkan kesenjangan sosial. Tak akan pernah berarti apapun kemajemukan tanpa adanya upaya serius untuk menegakkan prinsip-prinsip hidup yang toleran. Dalam konteks kehidupan beragama, toleransi antarumat beragama bisa dimengerti sebagai upaya untuk menyakini prinsip bahwa agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu yang berlangsung dalam suasana saling menghargai (respect) agama orang lain dan tidak boleh memaksakan orang lain untuk menganut agamanya. Selain itu, tidak juga dibolehkan untuk saling menjatuhkan, mengejek, dan mencela agama orang lain dengan alasan apapun.(Menggugat Peran dan Nalar Negara dalam Mewujudkan Toleransi Antar-Umat Beragama dan Pemberantasan Teroris. Dr. Ma’mun Murod Al Barbasy, M. Si. Hlm 45-47).

Muhammadiyah dan Politik

Muhammadiyah lahir tidak di konstruksi sebagai organisasi politik atau partai partai, tapi sebatas sebagai “gerakan politik”, tentu saja selain sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar. Konstruks sebagai “gerakan politik” tergambar dari langkah-langkah yang dilakukan Kiai Dahlan di awal-awal berdirinya, yang juga menjalin relasi politik dengan banyak pihak. Selama periode 1912-1926, Muhammadiyah tegas menyebut diri bukan sebagai organisasi politik. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa guratan-guratan wajah politik Muhammadiyah tampak begitu nyata. Tercatat, KH. Ahmad Dahlan termasuk sosok yang sangat dekat dengan Budi Utomo, Sarekat Islam, dekat pula dengan KH. Misbah (Komunis), dan termasuk dekat dengan kalangan Ahmadiyah. 22 Banyak aktivis Muhammadiyah, termasuk KH. Ahmad Dahlan sendiri yang aktif di organisasi lain, baik Sarekat Islam maupun Budi Utomo.23 Pada periode selanjutnya, KH. Mas Mansur bahkan terlibat dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII). Pada Tanwir Muhammadiyah tahun 1938, Muhammadiyah memutuskan untuk mengijinkan KH. Mas Mansur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah menjadi pimpinan PII.

Muhammadiyah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara ini tak terhingga, utamanya dalam bidang dakwah amar makruf nahi munkar, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Karenanya, semestinya posisikan “orang tua” bangsa ini dalam posisi yang selayaknya dalam kaitan relasinya dengan politik. Jangan memancing “orang tua” ini terlibat dalam politik dukung mendukung, apalagi hanya sekadar mendapatkan jabatan-jabatan politik. Memancing organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah untuk terjun dan terlibat dalam ranah politik, apalagi politik dalam pengertian “murahan” sekadar berebut kekuasaan, tentu sikap yang jauh dari elok dan buta akan sejarah (ahistoris).

Kalau elit politik negeri ini mampu memposisikan Muhammadiyah secara proporsional, Muhammadiyah juga akan memposisikan secara proporsional pula, semata sebatas sebagai ormas keagamaan yang selalu berorientasi pada politik kebangsaan dan menjauhkan dari dari orientasi politik partisan. Memposisikan Muhammadiyah secara proporsional setidaknya harus dilihat dalam dua hal. Pertama, yakinkan Muhammadiyah bahwa partai-partai politik maupun politisi yang ada di lembaga eksekutif maupun legislatif mampu menghasilkan produk politik berupa kebijakan-kebijakan politik yang sepenuhnya diperuntukan untuk kemaslahatan masyarakat. Faktanya, yang terjadi justru lebih sering produk kebijakan politik berlawanan secara diametral dengan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Kedua, dalam konteks kompetisi perebutan jabatan-jabatan politik, partai-partai politik juga harus mampu meyakinkan Muhammadiyah dengan menawarkan kandidat-kandidat politik yang senafas dengan misi dakwah Muhammadiyah, dan kepentingan masyarakat banyak. Jangan lukai perasaan Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya dengan misalnya memunculkan kandidat-kandidat politik kelas comberan yang tidak saja tak berguna bagi bangsa ini, tapi juga menjadi problem maker bagi bangsa ini.

Pejuang Politik Keadaban

Politik adalah bagaimana menghadirkan kebaikan atau kemaslahatan (tasharraful imam ‘alâ ra’iyyati manûtun bi al-maslahah). Maka siapapun yang masuk ranah politik semestinya misi utamanya adalah bagaimana menghadirkan maslahah tersebut. Karena pemahaman politik yang seperti ini, maka tidak ada alasan untuk marah, galau, dan sebagainya. Saya tidak akan pernah menghamba atau menjadikan politik sebagai Tuhan, yang membuat saya harus memuja muja, bergantung, berharap, dan takut (tidak mendapat apapun) dari politik, yang mengakibatkan tumpulnya daya kritis, dan inilah makna tauhid yang sesunggungnya. Politisi yang berpijak dari tauhid semestinya tidak perlu merasa takut dan khawatir kepada siapapun selagi tindakan yang diyakininya benar dan sejalan dengan prinsip-prinsip tauhid. Politisi yang kokoh tauhid-nya semestinya harus berani mengatakan “tidak” kepada tuhan-tuhan atau thaghut-thaghut –(Ketua umum partai, pejabat-pejabat politik, oligarki dan sebagainya)selain Allah, selagi berkatakan “tidak” yang dimaksud adalah penegasan akan penolakannya pada sesuatu yang bathil Saya pantas untuk marah, tersinggung atau galau ketika sudah berpura-pura baik, berpura-pura loyal, dan berpura-pura santun, namun tetap juga dipecat sebagai pengurus dan dicoret sebagai calon legislatif. Sementara saya tidak pernah melakukan itu semua, sehingga tidak ada alasan sedikit pun untuk tersinggung, marah atau galau.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال