Viralisme: Algoritma Membentuk Kita? Atau Kita yang Membentuknya?


Di era digital, fenomena viralisme menjadi hal biasa terdengar di telinga netizen. Tapi tahukah para netizen? bagaimana Sebuah tren, video, atau berita bisa dengan cepat menyebar ke seluruh dunia melalui media sosial. Budaya pun cepat berubah karena viralisme. Semisal bagi orang dulu, cewek cantik makan banyak itu memalukan kalau dilihat orang lain. Namun di era digital, justru mukbang dipertontonkan demi meraup gift dari penonton. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang hubungan antara individu dan masyarakat. Inti pertanyaannya, apakah masyarakat yang membentuk individu, atau individu yang membentuk masyarakat?

Durkheim: Masyarakat Membentuk Individu

Menurut paradigma sosiologi modern yang dikemukakan oleh Émile Durkheim, masyarakatlah yang membentuk individu. Durkheim berargumen bahwa kekuatan sosial, seperti norma dan nilai, memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku individu. Dalam konteks fenomena viralisme, Durkheim berpendapat bahwa algoritma media sosial dapat menciptakan tren dan norma sosial baru yang kemudian membentuk perilaku netizen.

Misalnya, ketika sebuah challange atau hashtag menjadi tren di media sosial, banyak netizen akan ikut-ikutan, entah kenapa? Seperti tersihir begitu saja. mungkin karena tekanan sosial ajakan teman atau keinginan, merasa tidak ingin ketinggalan, alias takut dibilang kudet. Dalam hal ini, melalui algoritma, masyarakat atau kelompok online memiliki kekuatan untuk membentuk perilaku dan tindakan individu.

Weber: Individu Membentuk Masyarakat

Sebaliknya, menurut paradigma sosiologi modern yang dikemukakan oleh Max Weber, individulah yang membentuk masyarakat. Weber berargumen bahwa individu adalah aktor yang aktif dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi struktur sosial. Dalam konteks fenomena viralisme, Weber berpendapat bahwa individu, seperti influencer, dapat menggunakan media sosial untuk membentuk tren dan norma sosial baru.

Misalnya, seorang influencer memiliki kemampuan untuk mempengaruhi banyak orang dalam hal preferensi produk, gaya hidup, atau pandangan tertentu. Para influencer ini mempunyai banyak followers dan pengaruh mereka sendiri yang kemudian dapat memengaruhi algoritma, tren, opini, dan perilaku netizen secara luas, bahkan hingga mendunia. Dalam hal ini, influencer, artis-artis, pejabat publik memiliki peran kunci dalam membentuk algoritma dinamika sosial di dalam masyarakat digital.

Algoritma Membentuk Kita? Atau Kita yang Membentuknya?

Kedua paradigma tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menjelaskan fenomena viralisme. Durkheim menekankan pengaruh masyarakat terhadap individu, sedangkan Weber menyoroti peran individu dalam membentuk masyarakat.

Dalam konteks kehidupan digital, fenomena viralisme dapat dilihat sebagai hasil interaksi antara netizen dan influencer. Netizen, melalui algoritma media sosial, dapat menciptakan tren dan norma sosial baru yang kemudian membentuk perilaku individu. Namun, jangan salah,  para content creator juga memiliki kemampuan untuk menggunakan media sosial untuk membentuk tren dan norma sosial baru.

 

Pada akhirnya, hubungan antara individu dan masyarakat dalam fenomena viralisme merupakan hubungan yang kompleks dan saling mempengaruhi. Kedua paradigma tersebut dapat memberikan perspektif yang berbeda untuk memahami fenomena ini.

Bagaimana menurutmu?

Fenomena viralisme merupakan fenomena sosial yang kompleks dan menarik untuk dikaji. Kedua paradigma sosiologi modern, Durkheim dan Weber, memberi kita 2 pendapat yang berbeda untuk memahami fenomena ini.

Durkheim bilang kita harus melihat vitalisme sebagai pengaruh masyarakat terhadap individu, sedangkan Weber menyarankan untuk melihat peran individu dalam membentuk masyarakat. Yang mana menurutmu? Anything goes?

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال